Ke Presiden Polemik Kepegawaian KPK Berujung

Sebulan sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) menggelar tes wawasan kebangsaan (TWK), salah seorang pegawai, Lakso Anindito berkirim surat elektronik kepada pimpinan pada Kamis, 4 Maret 2021. Dalam surat itu, pegawai yang sejak September 2020 menempuh pendidikan hukum perdagangan internasional di Universitas Lund, Swedia ini meminta agar pimpinan KPK mengedepankan prinsip keterbukaan informasi dan mengingatkan adanya potensi pelanggaran konstitusi dalam proses penyaringan pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN). “Saya sampaikan waktu saya berada di Swedia,” ucap Lakso kepada Jaring.id, Senin, 18 Agustus 2021.

Alih-alih mendapat jawaban dari pimpinan KPK, pada 5 April 2021 lalu, Lakso bersama beberapa pegawai yang sedang berada di luar negeri diminta untuk pulang ke Indonesia guna mengikuti TWK pada 9-12 April 2021. Namun Lakso tak dapat memenuhi panggilan pulang tersebut. Di samping tidak banyak bandara yang melayani penerbangan ke Indonesia, ia khawatir dengan penanganan pandemi Covid-19. Kalaupun memaksakan diri pulang, Lakso tidak yakin dapat mengikuti masa penyaringan tepat waktu. “Karena mesti melakukan karantina selama dua minggu,” kata dia.

Oleh sebab itu, Lakso meminta pimpinan KPK untuk menggelar TWK lewat daring bagi pegawai yang tengah berada di luar negeri, namun usul tersebut ditolak. Seluruh pegawai tetap diminta untuk segera pulang. “Tapi kondisinya tak memungkinkan,” ujarnya.

Tiga bulan berselang, Lakso baru kembali ke Indonesia setelah menuntaskan pendidikanya pada Juli 2021. Saat itu, ia berharap dapat segera mengimplementasikan ilmu yang ia dapat ke dalam pekerjaannya sehari-hari. Namun sejak kembali Lakso tidak lagi dapat bekerja maksimal. Status kepegawainnya di KPK pun tidak jelas. Namanya tidak tertera dalam 1200 lebih pegawai yang lolos TWK, maupun 75 orang yang tak lolos. “Hingga saat ini belum ada,” ucap Lakso.

TWK merupakan alat untuk menyaring pegawai KPK yang dapat menjadi pegawai negeri sipil. Penyaringan ini bertolok pada Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN. Dalam Pasal 5 butir 4 disebutkan bahwa KPK bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN) menggelar ujian untuk memastikan pemenuhan syarat menjadi pegawai Negara. Hasilnya pada 7 Mei 2021, Ketua KPK, Firli Bahuri menerbitkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Assesmen Tes Wawasan Kebangsaan. Sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tak memenuhi syarat menjadi aparatur sipil negara. Dari jumlah itu, 51 orang dinyatakan tak lagi bisa dibina, sehingga tak lagi bisa bergabung di KPK. Sementara 24 orang masih bisa dibina.


Baca juga: Mereka-reka TWK Pegawai KPK 


Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan 11 bentuk pelanggaran hak asasi manusia dalam proses asesmen tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK. Asesmen itu juga dinilai tidak punya landasan hukum yang jelas, serta berpotensi dijadikan dalil untuk menyingkirkan pegawai KPK tertentu.

Dalam laporan setebal 300 halaman tersebut, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik menyebutkan pelbagai hak yang dilanggar, antara lain terkait kebijakan, penyelenggaraan, tindakan atau perlakuan, baik ucapan maupun pernyataan dalam pelaksanaan TWK, di antaranya hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, serta hak untuk tidak didiskriminasi. Selain itu, hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak atas informasi, hak atas privasi, hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, serta hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.

Atas pelanggaran-pelanggaran tersebut, Komnas HAM meminta Presiden Joko Widodo mengambil alih seluruh proses penyelenggaraan asesmen TWK pegawai KPK. Presiden diminta memulihkan status kepegawaian puluhan orang dengan mengangkat menjadi ASN. Serta memulihkan nama baik pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat. “Poin utama menyangkut temuan fakta, simpulan dan rekomendasi yang kami sampaikan ke Bapak Presiden,” ujar Ahmad melalui keterangan pers, Senin, 16 Agustus 2021.

Sebelumnya, Komnas HAM menerima pengaduan dari perwakilan Wadah Pegawai KPK dan kuasa hukum pada 24 Mei 2021. Pengadu menduga adanya pelanggaran HAM dalam proses asesmen TWK. Guna menindaklanjuti laporan ini Komnas HAM mewawancari 23 pegawai KPK, baik yang berstatus tidak memenuhi syarat maupun pegawai yang dinyatakan lolos. Selain itu, Komnas HAM juga meminta keterangan kepada seluruh institusi yang terlibat dalam TWK tersebut, seperti KPK, BKN, Dinas Psikologi Angkatan Darat, Badan Intelijen Strategis (BAIS), Pusat Intelijen TNI Angkatan Darat, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN), hingga para ahli hukum tata negara, hukum administrasi negara dan ahli psikologi.

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik (kanan) dan Choirul Anam. Foto: Komnas HAM

Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam menilai proses alih status pegawai KPK menjadi ASN diduga kuat sebagai metode menyingkirkan pegawai yang sebelumnya kerap distigmatisasi atau dilabelisasi. Hal tersebut, menurut Anam, bagian dari pelanggaran hak asasi manusia.

“Tujuannya menyingkirkan atau menyaring pegawai dengan label dan stigma dimaksud mulai dari proses perencanaan dengan membentuk peraturan komisi, kerja sama dengan BKN, pembiayaan, penentuan metode, pihak yang terlibat dan asesor asesmen, hingga menyusun jadwal pelaksanaan. Penyelenggaraan yang tidak transparan, diskriminatif dan terselubung, serta dominasi pihak tertentu dalam penetapan hasil TMS dan MS,” kata Anam yang juga hadir dalam konferensi pers di kantor Komnas HAM.

Komnas HAM juga menemukan tidak adanya dasar hukum kerjasama antara KPK, BKN dengan pihak BAIS, Dinas Psikologi Angkatan Darat, BNPT dan BIN. “Apalagi secara substansi isi maupun substansi peraturan kepala BKN tidak sesuai rujukan yang digunakan dalam kerjasama pihak ketiga,” jelasnya.

Dalam proses penyelenggara asesmen TWK, Komnas HAM menilai BKN pun kurang hati-hati dan cermat menjalankan aturan hukum yang berlaku. Hal tersebut menimbulkan adanya pelanggaran kode perilaku asesor, seperti tidak adanya upaya atau penjelasan yang dapat membuktikan kebenaran informasi bahwa seluruh asesor yang terlibat dalam proses asesmen TWK telah mengikuti pelatihan dan tersertifikasi. “Asesor memaksakan sebuah pandangan tertentu, intimidatif dengan menggebrak meja dan pelecehan terhadap perempuan. Dengan demikian, kredibilitas asesor dapat dinilai tidak sesuai dengan peraturan hukum dan kode etik, serta bermuara pada tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia,” kata Anam.

Bahkan Komnas HAM menduga adanya tindakan terselubung dan illegal dalam pelaksanaan TWK, seperti melakukan profiling lapangan yang hanya ditujukan kepada beberapa pegawai. Penggunaan kop surat BKN oleh BAIS pun dinilai janggal oleh Komnas HAM. “Hal ini menjadi persoalan serius karena adanya keterlibatan sejumlah pihak dalam proses tersebut,” ucapnya.


Baca juga: Surut Gairah Usut Rasuah


Menanggapi temuan Komnas HAM, plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri menyatakan bahwa lembaganya menghormati hasil penyelidikan Komnas HAM. Kendati demikian, Ali menegaskan serangkain proses TWK telah sesuai dengan peraturan yang berlaku, serta mengikuti arahan presiden maupun putusan Mahkamah Konstitusi. “Di awal kami perlu sampaikan bahwa proses alih status pegawai KPK menjadi ASN bukan tanpa dasar, namun sebagai amanat peraturan perundang-undangan yang telah sah berlaku yakni UU Nomor 19 Tahun 2019, PP Nomor 41 Tahun 2020, dan Perkom Nomor 1 Tahun 2021,” katanya.

 

Maladministrasi Berlapis

Sebelum Komnas HAM merilis temuan, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pada akhir Juli lalu mengungkap adanya maladministrasi berlapis dalam TWK. Ombudsman berpendapat, KPK dan BKN telah melakukan penyimpangan prosedur. Pertama, membuat kontrak swakelola dengan tanggal mundur. Kedua, KPK dan BKN telah melaksanakan asesmen TWK yang dilakukan 9 Maret, sebelum adanya penandatanganan nota kesepahaman dan kontrak swakelola.


Baca juga: Karena Aturan Setitik, Rusak KPK Sebelanga


Atas dasar itu, ORI menilai hasil tes tidak bisa dijadikan dasar memberhentikan pegawai. Anggota Ombudsman, Robert Na Endi menyebut penyimpangan prosedur terjadi mulai dari pelaksaan rapat harmonisasi perumusan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021. “KPK melakukan maladministrasi berupa penyimpangan prosedur, yakni tidak menyebarluaskan informasi ihwal rancangan Peraturan KPK pada sistem informasi internal setelah dilakukan proses perubahan hingga 6 (enam) kali rapat harmonisasi terhadap rancangan Peraturan KPK tersebut,” jelas Robert dalam keterangan pers pada 21 Juli 2021 lalu.

Ombudsman juga menyatakan bahwa BKN tidak berkompeten melaksanakan asesmen TWK. Sebab BKN tidak memiliki alat ukur, instrumen dan asesor untuk melakukan asesmen tersebut. Tak hanya itu, Ombudsman juga menyoroti peran BKN yang hanya jadi pengamat jalannya tes TWK. Sementara asesmen terhadap pegawai KPK sepenuhnya dilakukan oleh Dinas Psikologi AD, BAIS, Pusat Intelijen TNI AD, BNPT dan BIN.

Selain itu, Ketua KPK Firli Bahuri juga dianggap tak patut ketika menerbitkan Surat Keputusan Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen TWK Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Sebagai lembaga negara yang masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif, pimpinan KPK dinyatakan telah menyimpang dari perintah Presiden Joko Widodo yang diucapkan pada 17 Mei 2021. “TWK tidak dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 (tujuh puluh lima) pegawai KPK yang dinyatakan TMS,” kata Robert.

Itu sebab, Ombudsman meminta agar KPK maupun BKN melaksanakan tindakan korektif. Menurut dia, pimpinan KPK perlu menggelar pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan. “Maka terhadap 75 pegawai KPK tersebut dialihkan statusnya menjadi pegawai ASN sebelum tanggal 30 Oktober 2021,” ujar dia. Sementara BKN diminta membedah dan menelaah aturan kepegawaian agar dapat membuat peta jalan, instrumen dan penyiapan asesor dalam pengalihan status pegawai menjadi ASN. “Ini dalam rangka perbaikan kebijakan dan administrasi kepegawaian di masa yang akan datang,” tambahnya.

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng meyampaikan laporan hasil pemeriksaan aduan pegawai KPK terkait pelanggaran administrasi TWK, Rabu, 21 Juli 2021. Foto: ORI

Namun, alih-alih melaksanakan tindakan korektif yang diminta ORI, kedua institusi yang dinilai melakukan maladministrasi, KPK dan BKN justru melawan argumentasi ORI. Pimpinan KPK melalui Nurul Gufron menegaskan bahwa KPK tidak akan menindaklanjuti temuan Ombudsman. “Kami menyatakan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan Ombudsman RI,” kata Ghufron dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Kamis, 5 Agustus 2021.

Mantan pengajar Universitas Negeri Jember ini berdalih bahwa lembaga yang ia pimpin independen, sehingga tidak berada di bawah lembaga apa pun, termasuk ORI. Sekalipun Pasal 3 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK menyebutkan bahwa komisi antirasuah masuk dalam rumpun eksekutif. “KPK Independen. Kami tidak ada di bawah institusi apa pun di Republik Indonesia ini. Jadi masalah mekanisme misalnya memberikan rekomendasi ke atasan KPK langit-langit ini. He-he-he. Lampu,” kata Ghufron berkelakar.

BKN juga melayangkan keberatan atas tindakan korektif Ombudsman. Wakil Ketua BKN, Supranawa Yusuf dalam keterangan persnya menyatakan bahwa saran ORI telah tertuang dalam rencana strategis BKN 2020-2024. “Tindakan korektif ORI sesungguhnya BKN telah punya programnya. Kami anggap ini bentuk dukungan,” ujar Supranama, Jumat 13 Agustus 2021.

Supranama menyesalkan keraguan ORI terhadap kompetensi BKN dalam menggelar TWK bagi pegawai KPK. Selama ini, menurutnya, BKN dipercaya oleh Negara untuk menjalankan penilaian kepegawaian ASN. Hal itu sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. “Mestinya tidak perlu diragukan lagi kewenangan BKN. Kami sangat kompeten dalam melaksanakan tes TWK,” tegasnya.

Sejumlah pegawai KPK saat berkunjung ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Jakarta. Foto: Wadah Pegawai KPK

Pada Senin, 16 Agustus lalu, sebanyak 518 pegawai KPK aktif memberikan sikap atas pengabaian temuan Ombudsman. Dalam rilis yang diterima Jaring.id, pegawai KPK meminta agar pimpinan KPK mengangkat puluhan pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk menjadi ASN. Pengangkatan tersebut berguna untuk menjaga komitmen KPK terhadap hukum, serta kepercayaan publik dan tidak mengingkari hak konstitusi pegawai. Itu sejalan dengan rekomendasi ORI, arahan Presiden Jokowi, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, serta amanat Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. “Ini momentum pimpinan membuktikan. Ini semata-mata agar KPK tetap menjaga nilai integritas dan memegang nilai-nilai KPK,” demikian pernyataan tertulis pegawai KPK.

Pimpinan KPK diminta untuk mengedepankan kepastian hukum, transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan kepada hak asasi manusia. “Sebab sesuai dengan sumpah jabatannya, Pimpinan KPK wajib mematuhi hukum. Jika Pimpinan KPK tidak mematuhi hukum, maka Pimpinan KPK telah melanggar sumpah jabatannya. Artinya, Pimpinan KPK sudah tidak pantas memimpin lembaga penegak hukum, karena tidak patuh hukum,” kata salah satu pegawai KPK, Oetman Tambunan dalam keterangan persnya, Jumat, 6 Agustus 2021.


Baca juga: Ketika Warga Tuntut Ganti Rugi Korupsi Bansos


Pegawai yang dinyatakan tidak lolos TWK ini menilai KPK di bawah Firli Bahuri tidak memahami konteks pelayanan publik yang dilaporkan pegawai ke ORI. Selama ini pimpinan hanya berkutat pada tugas dan wewenang KPK, tapi melupakan bahwa kerja-kerja tersebut merupakan bagian dari unsur pelayanan publik. “Seharusnya pimpinan KPK melihat pelayanan kepegawaian harus dikategorikan sebagai layanan publik. Tidak berkutat di pemikiran sempit tentang definisi dari layanan publik,” pungkasnya. (Abdus Somad)

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.