Orang-orang Sikka Terjerat Rantai Perdagangan Orang

PERSIDANGAN dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dalam kasus kematian warga Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) Yodimus Moan Kaka pada 2024 lalu membuka sisi gelap pengiriman pekerja ilegal ke perkebunan sawit di Kalimantan Timur. Tawaran kerja yang semestinya bisa mengubah kehidupan warga Sikka menjadi lebih sejahtera berubah menjadi eksploitasi yang mengakibatkan kematian.

 


Malam di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) hampir larut pada Kamis, 28 Maret 2024. Tiba-tiba pintu rumah Maria Herlina Mbani digedor seseorang. Meri—sapaan akrab perempuan usia 42 tahun, terperanjat sekalipun belum sepenuhnya terlelap malam itu. Kalau bukan kejadian penting tidak ada orang yang akan bertamu tengah malam. Di balik pintu pun tak mungkin sosok yang ia tunggu. “Malam itu saya lagi kepikiran suami yang sedang sakit di perantauan,” ucap Meri ketika ditemui di rumahnya, Selasa, 10 Desember 2024. Tapi Meri tahu di balik pintu bukan sosok yang ia tunggu.

Sembari menggendong putra bungsu yang masih berusia dua tahun, Meri membukakan pintu. Rupanya seorang tetangganya datang menyodorkan ponsel kepadanya. “Anakmu telepon dari Kalimantan,” kata tetangga yang kerap dipinjami telepon oleh Meri untuk menghubungi anaknya Aloysius Engkis Kurniawan (21), dan Yodimus Moan Kaka (40), suaminya.

Belum sempat Meri berucap, Engkis sudah keburu menangis. Suaranya terdengar parau dari ujung telepon. Ia memberitahu kalau bapaknya sudah tidak sadarkan diri. “Saya sudah coba bangunkan dari tadi, tetapi bapak tidak menyahut. Bapa sudah pergi,” ungkap Engkis menceritakan kembali peristiwa yang terjadi Maret 2024 lalu. Kata dia, bapaknya meninggal di mobil dalam perjalanan pulang menuju Pelabuhan Kota Balikpapan untuk kembali ke Maumere, Kabupaten Sikka.

Mendengar kabar itu tangis Meri pecah. Dari belakang terdengar suara tangis putra bungsunya yang semakin nyaring. “Suami saya meninggal di atas pangkuan anak saya,” kenangnya.

“Mau bilang dia sakit, tetapi sakit apa saya juga tidak tahu, karena dia sehat-sehat saja saat merantau ke Kalimantan,” ia menambahkan.

****

Suami Meri, Yodimus Moan Kaka—akrab dipanggil Jodi, adalah warga asal Desa Hoder, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Pada Maret 2024 lalu ia bersama warga Hoder lainnya, yakni Andi, Arifin, Engkis, ada juga Hendra, Gaubinto, Yoli, Hendra dan Rano direkrut oleh Yuvinus Solo melalui utusannya, yakni Pilius dan Senut untuk bekerja di perkebunan sawit milik PT Borneo Citra Persada Abadi (BCPA) di Lendian Liang Nayuq, Kecamatan Siluq Ngurai, Kabupaten Kutai Barat. Obrolan mengenai tawaran kerja itu, kata Meri, terjadi di rumahnya.

Mula-mula Meri mengaku tidak bisa tidak senang ada pekerjaan yang ditawarkan kepada suaminya. Ia pun tidak perlu banyak khawatir karena pekerjaan yang dituntut kepada suaminya pun bukan hal baru, yakni merawat kebun—pekerjaan yang juga sehari-hari dilakukannya. Karena itu, mudah bagi Meri membiarkan suami dan anaknya merantau sejauh 1500 kilometer lebih ke Kalimantan Timur.

Salah satu pertimbangan yang menguatkan Jodi pergi keluar pulau bukan semata-mata hanya pada pekerjaan dan upah, melainkan nama Yuvinus sendiri. Di Kabupaten Sikka, Yuvinus dikenal dengan nama Joker. Ia adalah politikus Partai Demokrat yang pernah menjadi Kepala Desa di Hebing, Kecamatan Mapitara. Setelah itu ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sikka periode 2024-2029 setempat lewat Dapil 3 yang meliputi Kecamatan Talibura, Waigete, Bola, Waiblama, Doreng dan Mapitara.

“Lalu saya izinkan dia pergi merantau,” ucap Meri.

Kalau segalanya berjalan sesuai rencana, pikirnya saat itu, Jodi akan mengirimkan uang sekira Rp3 juta tiap bulan. Jumlah yang cukup untuk makan sehari-hari dan menggelar syukuran komuni suci pertama bagi anak bungsu mereka dalam waktu dekat. “Kami itu susah sekali, bahkan untuk beli beras pun terkadang harus berhutang di kios,” ia menambahkan.

Jodi dan Meri adalah keluarga petani dengan lahan garapan tak seberapa luas. Guna mencukupi kebutuhan keluarganya Jodi mencari tambahan dengan mengojek. “Kata Jodi, jika sudah kerja satu dua bulan, dia akan kirim terlebih dahulu untuk beli beras. Dia tahu persis, ketika dia pergi ke Kalimantan, persediaan makanan kami di dapur sangat kurang. Beras saja tidak cukup untuk seminggu.”

Di waktu yang sama ketika bapaknya setuju, Pilius mengajak Engkis yang hari itu tengah berada di rumah. Jodi turut mendorong agar anaknya itu ikut ke Kalimantan. Ibunya pun setuju. Dia ingin anaknya punya pengalaman kerja sekalipun putus sekolah. Kata Meri, kali terakhir Engkis belajar di sekolah dasar kelas III. Waktu belajarnya yang pendek itu tak cukup membikin Engkis lancar membaca dan menulis. “Dari pada dia menganggur seperti kebanyakan pemuda di kampungnya, lebih baik ikut,” ucapnya.

Maria Herlina Mbani (kaos merah) tengah menggendong anaknya ditemani putra sulungnya (kanan). Foto: Maria Margaretha Holo

Jodi dan Engkis, bukan orang terakhir di Desa Hoder yang terbujuk oleh tawaran Pilius dan Senut. Andi yang tinggal persis di belakang rumah Jodi pun memutuskan untuk ikut merantau lantaran himpitan ekonomi keluarga. Seperti Jodi, sehari-hari Andi bekerja serabutan. “Saya bingung dengan hidup saya. Mama kondisinya seperti itu, sementara saya tidak punya pekerjaan. Ijazah saya SD. Kalau mau lamar kerja susah,” ungkap Andi via sambungan telepon pada 15 Januari 2025.

Itu sebab Andi langsung tertarik ketika ditawari gaji sebesar Rp3 juta oleh Pilius. Tak hanya upah bulanan, melainkan biaya transportasi ke Kalimantan, makan dan tempat tinggal pun turut ditanggung. “Siapa yang tidak tertarik? Itu cukup memenuhi kebutuhan saya dan mama,” tegasnya.

Bagi Jodi dan Andi, pemberian ongkos perjalanan dan uang makan selama bekerja di Kalimantan merupakan faktor penentu yang memudahkan mereka mengambil keputusan. “Tetapi tidak pernah sekalipun dia katakan mengurus surat ijin resmi perjalanan dari Nakertrans. Yang kebanyakan orang bilang harus ada prosedurnya kami benar-benar tidak tahu. Saya tidak sekolah, mana tahu soal itu,” ia menjelaskan.

“Dia hanya bilang nanti kumpul KTP saja,” tambahnya ketika ditanya mengenai syarat bekerja.

Sementara Petrus Arifin, 40 tahun, yang saat itu tengah bekerja sebagai buruh bangunan di Larantuka, Kabupaten Flores Timur langsung tergiur dengan tawaran gaji tinggi. Warga Desa Napun Galit, Kecamatan Doreng yang sehari-hari bekerja sebagai petani ini mengatakan bahwa hasil kebunnya tak lagi dapat diharapkan. “Padi dan jagung tidak ada hasil karena mengering dan dimakan ulat grayak. Makanya ketika Pilius mengajak kerja, saya sangat bersemangat,” ujarnya.

Pilius dan Senut bukan orang baru bagi Arifin. Dalam wawancara, Senin, 27 Januari 2025, ia mengaku kenal dengan utusan Joker tersebut. Itu sebab mudah baginya untuk mengiyakan ajakan untuk merantau ke Kalimantan Timur. “Saya kenal Joker. Joker biasa bawa (rekrut) orang kerja di Kalimantan. Orang-orang di kampung tahu hal itu.”

“Jadi saya percaya kalau keselamatan dan juga pekerjaan kami akan dijamin di Kalimantan karena Joker seorang mantan kepala desa dan anggota dewan. Dia pasti akan melindungi kami,” jelasnya.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, tepatnya pada 12 Maret 2024, mereka berempat akhirnya meninggalkan Sikka lewat Pelabuhan Lorens Say Maumere. Di sana mereka baru mengetahui bahwa ada sekira 70-an warga Sikka lainnya turut serta dalam rombongan. Oleh Pilius rombongan besar dipecah ke dalam beberapa kelompok. Mobil sewaan yang mengantar mereka ke pelabuhan pun berhenti sekira 50 meter dari gerbang pelabuhan. Tepatnya di samping taman doa Kristus Raja Kota Maumere. Pilius dan Senut kemudian memerintahkan agar mereka menyebar dan tidak jalan bergerombol. Sementara Joker berangkat dari Pelabuhan Larantuka, Flores Timur.

“Ternyata petugas tidak begitu detail memeriksa identitas kami. Kami lolos sampai di atas kapal.” Padahal, kata Arifin, tak sedikit dari mereka menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) orang lain. “Joker juga cerita bahwa dirinya sempat membayar polisi sebesar Rp5 Juta untuk memudahkan perjalanan dirinya dan pekerja yang direkrut,” kata Arifin.

Arifin dan puluhan pekerja lainnya tiba di Pelabuhan Semayang Kota Balikpapan, Kalimantan Timur pada Senin, 18 Maret 2024. “Kami berjumlah 70an orang yang termasuk dalam rombongan bersama Joker. Kami terbagi dalam empat bus yang membawa kami menuju satu tempat yang bernama Simpang Kalteng,” jelasnya. Namun bus yang ditumpangi Arifin terpisah dengan tiga bus lainnya.

“Kami menuju ke sebuah tempat bernama Kamp Baru.”

“Kami lalu dibagi lagi ke dalam beberapa kelompok. Dalam pembagian itu, sebenarnya beberapa teman saya dibagi dalam kelompok lain, tetapi saya mati-matian mempertahankan bahwa kami berdelapan satu kelompok saja.”

Arifin yang begitu bersemangat di awal perekrutan mulai panik dan menaruh curiga. “Sepertinya kami berangkat dengan jalur ilegal,” Arifin baru tersadar saat itu.

Kecurigaannya bertambah kuat ketika bertemu laki-laki tak dikenal bernama Isyanto atau Yanto. Pria yang katanya bertugas sebagai penunjuk arah ini tak banyak bercerita. Dari mulutnya hanya keluar kata-kata bernada peringatan. “Dia bilang kalau ada yang tanya kamu dari mana, bilang saja kalau kamu nyasar,” kata Yanto seperti diceritakan Arifin.

Pernyataan itu yang perlahan membikin Arifin sadar telah dikadali Joker. Ia tak menyangka bekas kepala desa itu tega menjerumuskan warganya sendiri dalam hubungan kerja tak jelas alias perdagangan orang. Pasal 1 (1) Undang-Undang 21 tahun 2007 mendefinisikan perdagangan orang atau perdagangan manusia adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Meski begitu, karena tak punya banyak pilihan, Arifin dan warga Sikka lain ikut kemana lelaki itu membawa mereka pergi. Tidak langsung ke lokasi. Mereka dibiarkan bermalam di sebuah tempat yang disebut sebagai penitipan anak. “Kami masih diberi makan di tempat itu.”

Hari berikutnya mereka kembali dipindahkan. Kali itu ke sebuah klinik. Mula-mula mereka berpikir akan diperiksa kesehatan sebelum mulai bekerja, tetapi rupanya hanya dititipkan sementara. “Saya sempat bertanya, apakah kami akan diperiksa kesehatan, mereka bilang tidak. Karena sebenarnya seorang karyawan pastinya tes kesehatan terlebih dahulu sebelum bekerja di perusahaan itu,” terang Andi.

“Saat berada di tempat itu sebenarnya kami sudah makan nasi basi, padahal perusahaan tidak jauh dari klinik tempat kami bermalam,” terang Andi.

Sejak saat itu, Joker, Pilius dan Senut tak lagi dapat dihubungi.

“Ya Tuhan, kami terjebak,” ungkap Arifin.

****

Kamp Baru yang disebut Joker hanya berupa pondok lusuh berdinding papan. Di dalamnya tak ada fasilitas apa-apa kecuali tempat untuk bernaung. Sekat yang membedakan mana dapur dan kamar tak ada. Pun dengan sumber air bersih. Yang ada hanya barisan rumput liar merangsek ke dalam pondok melalui celah-celah papan. “Tempat itu sudah lama sekali ditinggalkan. Kami harus bersihkan rayap dan juga rumput yang juga tumbuh di dalamnya,” tutur Arifin.

“Kami ditempatkan tanpa penerangan, air bersih, tanpa bahan makanan. Yang ada di tangan kami saat itu hanyalah peralatan kerja dengan air minum. Itu satu-satunya bekal yang kami bawa dari lokasi perusahaan,” tambahnya.

Pondokan itu terletak di tengah hamparan pohon sawit yang sudah diselimuti semak belukar. Lokasinya tak diketahui persis oleh Arifin. Tapi dari sana mereka sama sekali tak menjumpai pondokan lain, juga sosok yang bisa mereka tanya, sekaligus minta pertolongan. “Tempat itu sama seperti hutan,” kata dia.

Kendati begitu, rombongan warga asal Sikka ini memutuskan untuk tidak tinggal diam. Dengan cangkul dan parang mula-mula mereka membersihkan pondokan. Rumput tinggi di sekitarnya pun turut dibabati sembari menunggu jam istirahat makan siang. Namun hingga matahari lengser, makanan dan minuman yang ditunggu tak juga datang. “Padahal sebelumnya, menurut perekrut, makan minum akan ditanggung oleh perusahaan.”

Sialnya, saat itu mereka bekerja tanpa uang di saku. Perbekalan pun sudah habis selama perjalanan. Kalau pun ada uang saat itu mereka tak yakin dapat menukarnya dengan makanan. “Kami tetap bekerja.”

Tapi karena waktu kerja sehari hampir berlalu, satu per satu dari mereka pun mulai kelelahan. Air keruh dari parit ladang sawit akhirnya terpaksa mereka tenggak. “Kami tahu itu air kotor, apalagi kalau berada di sekitar kebun sawit mungkin sudah terkontaminasi dengan pestisida. Tetapi karena sudah haus dan lapar. Jadi kami minum saja,” kata dia.

Dalam keadaan lapar yang tak tertahan itu mereka akhirnya sepakat meninggalkan pondok menuju perusahaan. “Kalau tinggal terus sampai pagi kemungkinan besar kami tetap tidak diantarkan makanan,” ujar Arifin.

Petrus Arifin (paling kanan) bersama enam korban TPPO lainnya setelah peristiwa kematian Yodimus Moan Kaka. Di Kalimantan Timur, mereka sempat bekerja di perusahaan sawit sebagai penanam sawit baru sebelum akhirnya kembali ke Maumere.

Perjalanan mereka dimulai saat kebun sawit begitu gelap. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Jalan setapak yang sempat mereka lewati pun sama sekali tak terlihat malam itu. Penerangan satu-satunya yang ada di tangan mereka hanya lampu LED ponsel untuk menyinari sana sini. Menyinari permukaan tanah, pepohonan, dan langkah masing-masing. Seiring sinar ponsel berpindah arah, bayang-bayang yang tercipta memanjang, memendek, lalu menciut ketika diarahkan lebih dekat dengan tubuh. “Kami sebenarnya pasrah karena tidak tahu jalan itu arahnya ke mana. Kami hanya bermodal nekat dan doa,” ungkap Laurensius Raga Nong Ovi atau Andi.

Menurut pemuda berusia 28 tahun ini, Jodi dan rekan-rekannya masih terlihat sehat. Perjalanan malam sejauh belasan kilometer itu juga tak jarang dilalui dengan saling melemparkan canda satu sama lain. “Kami tidak melihat tanda-tanda Jodi sakit,” kata Andi.

“Meski saya sebenarnya menangis saat itu. Saya ingat mama yang berkebutuhan khusus dan tinggal sendiri di kampung. Saya bilang, Tuhan, apakah kami akan mati di sini? Kalau saya mati, mama di kampung siapa yang urus?”

Keadaan berubah setelah menempuh perjalanan malam sejauh puluhan kilometer. Saat itu waktu tanpa gerakan jarum jam berlalu di dalam kegelapan. “Badan mulai terasa letih dan kaki yang mulai nyeri, apalagi tidak makan.”

Di tengah perjalanan, mereka melihat sorot lampu truk membelah gelap dari kejauhan. Sontak tanpa pikir panjang, semuanya berlari kompak menghadang truk itu dengan harapan dapat menuju perusahaan lebih cepat. Tetapi ternyata tidak. Mereka hanya diantar ke sebuah lokasi, seperti perkampungan kecil yang ditinggali para pekerja sawit—kebanyakan dari mereka berasal dari NTT. Di sana mereka diberi makan mie instan sebelum beristirahat tidur.

Keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan menuju perusahaan. Lagi-lagi mereka harus berjalan kaki puluhan kilometer karena tidak ada kendaraan yang melintasi tempat itu. “Kami berpikir akan sampai ke lokasi perusahaan siang atau sore hari. Ternyata dari jam 07.00 WITA waktu perjalanan kami, hingga sore pun kami belum tiba di perusahaan,” kata Andi.

“Kami bertanya kepada orang-orang yang sempat berpapasan di jalan, kata mereka perusahaan masih jauh.”

Dalam perjalanan hari kedua, Jodi mulai mengeluhkan kaki dan tangannya sakit. Keluhannya pun sampai ke telinga Meri segera setelah ponselnya mendeteksi sinyal. Jodi meminta agar Meri menjual hewan ternak untuk ongkos pulang ke Maumere. “Saya mau pulang, tolong jual babi. Kalau laku, kirim uang kesini. Saya mau pakai untuk beli tiket dan beli obat. Di sini saya akan jual hp,” ungkap Jodi kepada Meri.

Padahal, kata Meri, babi tersebut merupakan satu-satunya harta keluarga yang akan disembelih pada saat syukuran Komuni Suci Pertama atau acara Sambut Baru anak perempuannya dalam tradisi Gereja Katolik. “Saya terpaksa jual. Esoknya saya langsung kirim.”

Sebelum uang kiriman tiba, kondisi kesehatan Jodi di Kaltim makin memburuk. Jalannya mulai gontai sempoyongan sebelum sampai rumah pekerja sawit lain yang berasal dari Maumere. Di sana, mereka diberi makan sekitar pukul delapan malam. “Tapi dia sudah pucat. Lemas dan tidak bisa jalan. Ke kamar kecil saja, saya dan Arifin pakai bopong,” ungkap Andi mengingat kejadian itu.

Di situ, “kami mulai cemas, karena di antara kami tidak punya uang sepeserpun untuk membeli obat.”

Oleh sebab itu, Andi meminta kepada pemilik rumah untuk diizinkan bermalam sembari menunggu Jodi pulih. “Saat itu Jodi menjual ponselnya untuk biaya berobat,” tutur Andi.

Sementara Arifin berusaha menghubungi Joker melalui pesan maupun panggilan telepon. Tapi anggota DPRD itu bergeming. Arifin akhirnya memilih langsung menemui pihak perusahaan. Mereka menyampaikan kekecewaan karena telah diabaikan oleh perusahaan selama bekerja di tengah kebun sawit.

“Tapi dari petugas perusahaan itu, kami tahu kalau kami bukan karyawan pemanen sawit, tetapi pekerja borongan,” ungkap Arifin.

Tak terima dengan jawaban itu, Arifin pun terlibat adu mulut dengan petugas itu. “Kami ini rekrutan dan jelas bahwa Joker menjanjikan kami sebagai karyawan untuk panen sawit, kenapa kami disuruh bersihkan rumput dan menempatkan kami ditempat yang tidak layak?”

“Apalagi kami tidak dikasih makan. Apakah itu wajar? Kami tidak bawa uang yang cukup karena kata Joker, makan minum akan ditanggung perusahaan,” tambahnya.

Keadaan semakin rumit ketika para pekerja meminta Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka dikembalikan. Alih-alih mengembalikan, petugas malah menahan kartu identitas tersebut. Padahal di tempat asing mereka membutuhkan KTP untuk mencari pekerjaan baru, maupun membawa Jodi ke klinik. “Perusahaan tidak memberikan KTP karena harus ada persetujuan dari Joker,” kata Arifin menirukan apa yang disampaikan petugas.

“Ketika saya mempertanyakan petugas itu malah menjawab, tanya saja ke orang yang merekrut kalian.”

Joker yang tahu Arifin meminta KTP-nya dikembalikan malah berpesan kepada petugas itu untuk mengembalikan uang sebesar Rp500 ribu yang digunakan untuk membayar tiket kapal dari Maumere ke Balikpapan.

Mendengar hal itu mereka terdiam tak percaya. Arifin dan kawan-kawannya tidak bisa menimpali karena mereka benar-benar tak memiliki uang sepeser pun. Satu-satunya jalan pulang ialah dengan bertahan dan bekerja di ladang sawit. “Mau tidak mau kami harus cari jalan karena kami butuh uang dan KTP untuk kembali ke Maumere.”

“Kami tanam anakan sawit. Satu anakan yang ditanam dihargai Rp6 ribu per pohon,” kata Arifin.

Tetapi kemudian keadaan Jodi semakin parah. Melihat itu, petugas akhirnya mengembalikan semua KTP yang sempat ditahan. “Ia sempat dirawat. Kemudian perawat dan perusahaan merekomendasikan agar Jodi dibawa ke rumah sakit umum di Kota Balikpapan, namun saat itu Jodi menolak,” kata Andi.

Menurut Engkis anak Jodi, “bagaimana pun keadaan bapak, dia mau pulang bertemu mama dan adik-adik di kampung. Kalaupun tidak selamat, yang penting sudah ada di sana bersama keluarga. Dia mau mama yang merawat dia saat sakit.”

Hal serupa diungkapkan Meri. “Dalam pembicaraan terakhir itu saya bujuk, kalau sakit berobat di Kalimantan saja, tetapi Jodi tetap menolak dan ingin kembali ke Maumere.”

Diantar mobil dari perusahaan, Jodi dan Engkis akhirnya memilih untuk kembali ke Maumere melalui pelabuhan yang sama. Dalam perjalanan itu nyawa Jodi tak tertolong. Ia meregang nyawa diatas pangkuan anaknya pada 28 Maret 2024.

“Engkis mengabari saya sewaktu mereka putar arah menuju rumah sakit. Mayat Jodi terpaksa dibawah ke sana untuk bertahan beberapa jam agar diurus kepulangannya ke Maumere.”

Pihak rumah sakit, kata dia, menawarkan Rp20 juta untuk mengurus jenazah Jodi hingga tiba di Maumere. “Tapi kami tidak bisa berbuat banyak. Saat itu Joker sempat menelpon agar kami semua turun ke Kota Balikpapan, tetapi bagaimana mungkin? kami tidak punya uang.

“Keluarga di Maumere pun pasrah karena biayanya besar. Jadi Jodi dikuburkan di Kalimantan sehari setelahnya karena keluarga tak punya cukup uang untuk membawa jenazahnya kembali,” tutupnya.

****

Air muka Meri tampak tak berkejap ketika kami temui di rumahnya. Jawabannya pun sering terlambat satu tarikan nafas ketika ditanya mengenai pusara suaminya di Kalimantan Timur. “Saya bingung mau jual apa lagi. Dalam sekejap tidak mungkin saya mendapatkan uang sebanyak itu,” kata Meri kesulitan menguasai fakta bahwa dirinya ditinggalkan Jodi.

Cukup lama Meri tidak berkata sepatah kata pun. Di situ kami merasakan celah yang tidak perlu kami perdalam buru-buru. Kami berpikir, barangkali Meri membutuhkan jeda untuk melanjutkan ceritanya.

Beberapa waktu berlalu sejak terakhir kami melihat jam akhirnya Meri mengatakan bahwa sudah berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi permintaan terakhir mendiang suaminya untuk pulang ke Maumere. “Katanya, bagaimanapun keadaannya, saya mau kembali ke Maumere,” begitu permintaan Jodi yang belum bisa Meri penuhi sampai kini.

Dalam wawancara itu Meri mengaku sangat marah kepada Joker. Anggota DPRD itu dianggap tak bertanggung jawab atas kematian suaminya sekalipun sudah dihubungi berkali-kali oleh keluarga Meri. “Setiap kali berbicara, Joker berjanji akan urus jenazah, akan tanggung uang, sekian-sekian, tapi tidak ada,” ungkap Meri.

Kali terakhir dihubungi, menurut Meri, Joker menjanjikan uang duka. “Nominal uang yang dia sebut itu berbeda-beda. Terakhir janji akan kirim Rp5 juta, tetapi tidak ada kejelasan sama sekali sampai ipar saya datang mengambil jenazah itu dan menguburkannya di Kalimantan. Tapi kemudian nomor hp-nya tidak lagi aktif.”

Itu sebab, keluarga Meri memutuskan untuk melaporkan Joker ke Kepolisian Resor Sikka. “Kami tahu yang paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah Joker. Dia yang merekrut tetapi tidak memperhatikan Jodi selama di Kalimantan Timur. Padahal dia datang ajak kerja di sana, lalu titipkan para korban ke orang asing bernama Yanto. Setelah itu lepas tangan sampai Jodi meninggal,” katanya geram.

 


Artikel berjudul “Orang-orang Sikka Terjerat Rantai Perdagangan Orang” ini adalah kisah pertama mengenai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) asal Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang ditulis oleh Maria Margaretha Holo atas dukungan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) di bawah Program Jurnalisme Aman. Tunggu bagian kedua dari cerita yang sama dalam beberapa hari ke depan. Selamat membaca!

Antiklimaks Pengusutan TPPO Orang-orang Sikka

Tim Relawan untuk Kemanusiaan–Flores (TRUK-F)—lembaga kemanusiaan milik kongregasi suster-suster Abdi Roh Kudus atau SSpS (Servarum Spiritus Sancti), mencatat ratusan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.