RATMAN masih mengingat jelas hari-hari kelam saat ia meringkuk di balik jeruji besi. Hampir tiga bulan ia dipenjara. Semua bermula dari vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kotabaru, Kalimantan Selatan. Ia dituduh bersalah mencemaran nama baik atas peristiwa yang telah terjadi tujuh tahun silam. Kala itu, pada 14 Maret 2018, Ratman berdiri bersama warga Pulau Laut lainnya, menyuarakan keresahan terhadap upaya penyerobotan lahan warga oleh PT Multi Agro Sarana Mandiri (PT MSAM) di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kotabaru dan Kalimantan Selatan.
“Saya orasi minta bantuan dewan agar menghentikan perusahaan. Omongan saya itu ada dasarnya. Karena masyarakat dizalimi. Perusahaan tidak ada komunikasi ke RT dan Desa,” ujar Ratman saat ditemui jurnalis yang tergabung dalam konsorsium Indonesia Leaks di Kotabaru akhir tahun lalu.
Sejak itu sampai sekarang ia tak menyangka orasi yang disampaikannya dapat berujung hukum. Baginya orasi itu bukan sekadar teriakan di tengah kerumunan—itu adalah jeritan hati, bentuk perlawanan terakhir atas ketidakberdayaan yang selama ini mereka rasakan. “Ketika itu, saya bilang begini, kami selaku masyarakat tidak terima diperlakukan seperti zaman penjajahan, bahkan melebihi seperti PKI,” ungkap Ratman.
Ratman dilaporkan dengan tuduhan melanggar Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini mengatur tentang pencemaran nama baik yang dilakukan secara langsung atau lisan. Ia juga diduga melanggar Pasal 311 ayat 1 KUHP mengatur tentang tindak pidana fitnah, yaitu perbuatan menuduh seseorang dengan maksud agar tuduhan tersebut diketahui umum.
Dalam kasus ini penyidik polisi melakukan pemeriksaan tak sampai dua bulan. Hakim yang diketuai Darwanto didampingi anggota hakim, Arini Laksmi Noviyandari dan Meir Elisabeth Batara Randa menjatuhkan pidana penjara 2 bulan 20 hari pada Rabu, 28 November 2018 setelah beracara selama enam bulan.
“Menyatakan terdakwa Ratman bin alm.Payuh telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencemaran dan pencemaran tertulis. Memerintahkan agar terdakwa segera ditahan,” begitu bunyi salinan putusan Nomor 193/Pid.B/2018/PN Ktb yang diperoleh tim Indonesia Leaks.
Di tahun yang sama dengan vonis Ratman, sejumlah warga Pulau Laut Tengah dan Utara sempat menggugat MSAM secara perdata ke pengadilan. PT Inhutani II, presiden, menteri KLHK, gubernur Kalimantan Selatan, dan Bupati menjadi turut tergugat. Namun, ketiga warga tersebut akhirnya memilih untuk menghentikan perlawanan dengan mencabut permohonan atas putusan PN Kotabaru tanggal 27 Februari 2019 Nomor 3/Pdt.G/2018/PN.Ktb.
“Sebenarnya hampir 50 orang sudah tandatangan mau perlawanan di pengadilan. Akhirnya hanya tiga orang saja yang maju. Beberapa orang, karena tekanan luar biasa, warga mundur semua,” ujar seorang warga Pulau Laut Utara yang mengetahui proses peradilan tersebut.
Pulau Laut terpisah dari daratan pulau Kalimantan. Ia berada di lepas pantai bagian tenggara Kalimantan Selatan. Luasnya 1.873 km persegi atau setara dengan 187.300 hektare (ha) dengan luas perkebunan kelapa sawit mencapai 156.554 hektar. Kini, di Pulau itu mayoritas lahan ditanami kelapa sawit.
Tim Indonesia Leaks pada akhir April 2024 lalu meninjau sejumlah lokasi yang diserobot oleh PT MSAM. Butuh waktu selama 3,5 jam menggunakan pesawat untuk menuju ke Kotabaru, kota terbesar di Pulau Laut. Sedangkan perjalanan darat dari Banjarmasin kurang lebih sekitar 8 jam. Setibanya di sana kami menemui sejumlah orang sembari melihat barisan pohon sawit. Salah seorang di antaranya menunjukan pohon sawit setinggi hampir 6 meter yang ditanam di lahan garapannya. Tak jauh dari situ terdapat pagar dan plang yang membedakan lahan warga dengan MSAM. Dalam liputan ini, tidak semua narasumber kami cantumkan identitasnya. Sebagian besar disamarkan mengingat potensi keamanan yang dapat mereka terima.
Akibat pembukaan lahan sawit tersebut banyak warga kehilangan mata pencahariannya. Padahal, sebagian besar warga Pulau Laut Barat hidup dari hasil menanam pohon karet. Sebelumnya, setiap satu hektar kebun karet bisa menghasilkan sekitar 2 kuintal per bulan. Jika dikonversi menjadi uang, rata-rata penghasilan mereka dari karet saja bisa mencapai minimal Rp2,1 juta per bulan. “Sekilogram karet itu Rp10.600. Itu baru dari karet,” kata Imron, salah satu warga Pulau Laut Barat yang tidak ingin diungkapkan nama aslinya.
Selain menjual karet, pemenuhan kebutuhan makan sehari-hari warga dipenuhi tanpa harus menukar makanan dengan uang. Mereka tinggal pergi ke danau dan memancing apabila hendak menyantap ikan. Sebagai hidangan pencuci mulut, buah-buahan dapat dipetik sendiri dari kebun. Bila mujur, mereka bisa menjual buah berlebih ke pasar. “Kalau kami mau makan nasi, tinggal jemur dan giling padi buyung. Mau makan padi bedagai, tinggal jemur. Kami tidak pusing beli beras. Tinggal memikirkan beli yang lain-lain,” ucapnya.
“Petani di sini sistemnya begini: setiap dia membuka lahan, dia ada tanam buah-buahan. Nangka, duren, cempedak, rambutan. Mereka memikir ke depan, satu-dua tahun kemudian bisa menikmati hasilnya,” ia menambahkan.
Kini warga Pulau Laut Barat tidak lagi bisa menanam padi sendiri dan menikmati ikan dari danau. “Sekarang kami beli beras hasil program pemerintah, yang paling murah, bukan beras dari hasil daerah sini. Rasanya pun jauh,” ujar Imron yang mesti kehilangan mata pencaharian akibat operasional perusahaan kelapa sawit, PT MSAM.
Begitu pula yang dikatakan Ansor–bukan nama sebenarnya, ia mengaku tak terima kebun yang telah dirawat bertahun-tahun diambil secara paksa. Sebab tanpa lahan, sulit bagi Ansor dan keluarganya bertahan hidup. Karenanya ia tak segan berkonflik dengan perusahaan untuk mempertahankan lahan. Salah satu aksi yang dilakukan warga ialah menangkap operator alat berat lantaran terbukti merusak perkebunan warga.
“Beramai-ramai kami tangkap operator alat beratnya, kami bawa ke polsek. Singkat cerita, kami sudah ditunggu di sana, oleh orang-orang perusahaan, termasuk manajer dan kapolsek juga. Terjadi perdebatan. Untungnya kami ada bukti. Kami yakin, benar bagi kami, nggak benar bagi mereka,” ceritanya.
Di samping memasang patok sebagai penanda lahan yang dikelola warga, mereka juga menghadang buldoser yang hendak merangsek merobohkan perkebunan sawit milik warga. Namun perusahaan tak pernah berhenti merangsek ke kebun warga. “Sedih lihat lahan hilang. Habis lahan kami.”
****
Penggusuran kebun milik warga Pulau Laut di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan oleh perusahaan sawit PT MSAM diduga sudah berlangsung sejak 2017. “Kami tidak bisa berladang lagi. Lahan yang ada digusur MSAM,” Imron berkeluh kesah.
Di atas tanah itu, sebelumnya, terdapat pohon karet dan pelbagai jenis buah. Kini tak ada lagi karet maupun buah. Yang ada hanya sawit di lahan sekitar 4 ha. Kondisi bertambah sulit lantaran ia tak bisa membuka kebun lain di sekitar lahan garapannya. “Lahan ke atasnya itu, lahan Inhutani. Masyarakat nggak boleh buka lahan di sana. Jadi kami kehilangan mata pencaharian di Pulau Laut ini,” ia menambahkan.
Lahan Inhutani yang disebut Imron merujuk pada akronim dari PT Eksploitasi dan Industri Hutan. Perusahaan adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia yang bergerak di bidang kehutanan, khususnya pengelolaan hutan dan industri hasil hutan. Di Pulau Laut Inhutani sedikitnya memiliki area konsesi seluas 24.695 ha untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan 48.720 ha untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Di lokasi yang sama, PT MSAM diduga menguasai lahan HGU perkebunan kelapa sawit seluas belasan ribu hektare.
Dalam dokumen riset Sawit Watch bersama Integrity Law berjudul “Kejahatan Korporasi dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam,” yang terbit pada 2023 mengungkap kejanggalan pengelolaan konsesi seluas 14.333 hektar antara PT Inhutani II dengan PT MSAM. HGU yang diberikan kepada MSAM diduga tumpang tindih dengan kawasan hutan. Selain itu, proses tersebut dilakukan tanpa didahului proses Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Luasan lahan yang dikuasai terbagi dalam dua izin yang dikeluarkan oleh bupati Kota Baru. Pertama berdasarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 188.45/135/ KUM/2012 pada 13 Maret 2012 yang memberikan konsesi kepada perusahaan seluas 11.500 hektar di Desa Semisir, Sungai Pasir, Salino, Kecamatan Pulau Laut Barat dan Desa Mekarpura, Kecamatan Pulau Laut Utara. Tiga tahun berselang, konsesi kedua diberikan berdasarkan Surat Keputusan Nomor 188.45/184/KUM/2015 seluas sekitar 9.372 hektar di desa yang sama.
Sementara berdasarkan penelusuran citra satelit dan dokumen yang dilakukan oleh Sawit Watch diketahui bahwa konsesi kedua lahan tumpang tindih dengan peta Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT Inhutani II. Itu sebab, organisasi lingkungan ini menilai izin perkebunan sawit MSAM bermasalah karena telah menerabas kawasan hutan IUPHHK-HA PT Inhutani II tanpa disertai pelepasan hutan terlebih dahulu.
“Izin lokasi PT MSAM berada dan tumpang tindih dengan areal kerja IUPHHK-HA PT Inhutani II,” ungkap Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo sebagaimana tertulis dalam laporan berjudul Kejahatan Korporasi Pengelolaan Sumber Daya Alam yang disusun Sawit Watch bersama Integrity Law Firm pada Februari 2023.
Kongsi antara Inhutani II dengan MSAM dalam pemberian lahan di atas tanah negara ini tertuang dalam Perjanjian Kerja Sama Perkebunan Inhutani II dengan PT MSAM tentang Optimalisasi Areal Penggunaan Lain Pada Areal Kerja IUPHHK-HA PT Inhutani II di Pulau Laut, Kalimantan Selatan Nomor PT Inhutani II: 673/DIREKSI/2017 dan Nomor: 001/PKS/MSAM-IHT2/VI/2017.
Perjanjian itu ditandatangani oleh Direktur Inhutani II Tjipta Purwita dan Direktur PT MSAM, Dody Hanggodo–kini Menteri Pekerjaan Umum, pada Kamis 19 Juni 2017. Merujuk dokumen perusahaan MSAM, Dody pernah tercatat sebagai pemilik saham MSAM dengan nilai kepemilikan saham sebesar Rp10.000.000 pada periode 2017-2020.
Dokumen yang diperoleh Indonesia Leaks tersebut memuat hak eksklusif yang tidak dapat dicabut kembali bagi pihak kedua. Isinya melakukan kegiatan perkebunan; memperoleh hasil kebun; dan menjual dan menerima hasil penjualan dari hasil kebun.
Dalam hal ini Inhutani juga sempat mengajukan permohonan addendum IUPHHK-HA kepada Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya melalui surat bernomor 723/P/SEK-PRUSH/2017. Surat itu berisi permohonan pengurangan area kerja seluas 40.950 ha.
Sebulan setelahnya, tepatnya pada 7 Agustus 2017, PT MSAM mengajukan hak atas tanah berupa HGU sejak 7 Agustus 2017 melalui surat bernomor 1056/MSAM/VII/2017 kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Setahun kemudian pada 4 September 2018, diterbitkan Keputusan Menteri Menteri ATR/BPN Nomor: 81/HGU/KEM-ATR/BPN/2018 tentang Pemberian HGU atas nama MSAM di Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalsel.
Tiga bulan berselang, pada 5 November 2018, Menteri LHK menerbitkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK 465/MENLHK/SETJEN/HPL.0/11/2018 tentang Perubahan Atas SK Menhut 193/2006. Keputusan ini yang kemudian membikin lahan IUPHHK-HA Inhutani semula seluas 40.950 hektar menjadi hanya 24.695 hektar. Artinya ada penyusutan sekurangnya 16.255 ha dari area kerja IUPHHK-HA PT Inhutani II.
Kasus dugaan tumpang tindih lahan antara MSAM dan Inhutani II ini pun bisa dilacak dari gugatan di pengadilan. Sekitar 2015 lalu, saat MSAM belum masuk ke dalam keluarga besar Jhonlin Group, mereka sempat menggugat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. MSAM meminta supaya majelis hakim memutus Menteri LHK menunda pelaksanaan dan mencabut SK.193/Menhut-II/2006 tanggal 24 Mei 2006 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT. Inhutani II Unit Pulau Laut di Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalsel.
Sengketa hukum antara MSAM dan Inhutani II itu berlangsung selama kurang lebih 2 tahun. Pada 15 Juni 2016, PTUN menolak gugatan MSAM. Kasus kemudian berlanjut ke tingkat banding. Di tingkat kedua tersebut, hakim hanya memperkuat putusan pengadilan tingkat pertama. MSAM sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), namun gugatan itu dicabut. Pada 9 Mei 2017 MA mengabulkan pencabutan kasasi MSAM.
Pada Selasa, 6 Mei 2025, Tim Indonesia Leaks mencoba menghubungi Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerjasama Luar Negeri Kementerian Kehutanan, Krisdianto dan Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni melalui pesan Whatsapp, namun belum ada tanggapan.
Kuasa hukum Sawit Watch, Musthakim Al Ghosaly menilai kerjasama antara Inhutani dan PT MSAM merupakan modus untuk memberikan lahan kepada MSAM melalui pengurusan HGU. “Terlihat dari skenario perjanjian memang ada semacam klausula arah kerjasama penerbitan HGU” kata Musthakim dalam wawancara daring, Senin, 5 Mei 2025.
Dengan begitu, menurut Musthakim, baik Inhutani maupun MSAM melakukan pelanggaran. Inhutani dianggap telah melanggar SK Menhut 193/2006 yang pada amar kelima putusan itu menyebutkan Pemegang IUPHHK pada Hutan Alam dilarang mengontrakkan atau menyerahkan sebagian atau seluruh kegiatan usahanya kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari menteri kehutanan.
Sementara MSAM melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.28/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 tentang tata cara pemberian, perluasan areal kerja dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem atau izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman industri pada hutan produksi. Perusahaan MSAM, kata Musthakim, mestinya mengurus pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu sebelum menggarap lahan tersebut menjadi perkebunan sawit.
“Tanpa ada surat keputusan dari Menteri Kehutanan mengenai perubahan status kawasan hutan, maka kegiatan di atas kawasan hutan merupakan tindakan ilegal karena tanpa izin,” ujarnya.
Tak hanya itu, ia menilai BPN juga turut melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) huruf a Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha. Klausul itu menyebutkan dalam hal tanah yang dimohon Hak Guna Usaha merupakan tanah Kawasan Hutan Negara, maka harus terlebih dahulu dilepaskan statusnya dari Kawasan Hutan Negara. “Kalau memberikan HGU di kawasan hutan harusnya dicabut dulu status kawasan hutannya. Ini HGU-nya keluar dulu baru ada pelepasan dan penciutan hutan,” kata pria yang berprofesi sebagai pengacara di firma Integrity law.
Permasalahan tumpang tindih lahan yang digunakan PT MSAM pada akhirnya ditemukan juga oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu di Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian bernomor 47/LHP/XVII/09/2019 tentang Perizinan Sertifikasi dan Implementasi Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan Serta Kesesuaiannya dengan Kebijakan dan Ketentuan Internasional pada 27 September 2019, BPK menemukan tumpang tindih penggunaan lahan antara Hak Guna Usaha PT MSAM dengan hutan produksi. Hanya saja luasan perkebunan yang masuk hutan produksi tercatat hanya seluas 41,99 hektar di Pulau Laut, Kotabaru, Kalimantan Selatan.

Penguasaan lahan dan tumpang tindih lahan MSAM dan Inhutani itu, menurut Sawit Watch berpotensi merugikan negara. Dalam hal ini Indonesia Leaks juga menemukan sejumlah dokumen kontrak jual beli hasil perkebunan, invoice, serta pinjaman uang yang diberikan PT MSAM kepada Inhutani II dalam catatan payment plan senilai Rp2 miliar dan Rp1 miliar yang tercatat sebagai uang muka pembagian hasil kerjasama.
“Tumpah tindih ini akan berdampak terdegradasinya ekosistem hutan alam tropis serta mengancam ruang-ruang wilayah kelola rakyat sebagai sumber penghidupan,” kata Direktur Sawit Watch Achmad Surambo.
Itu sebab, sejak dua tahun lalu, Sawit Watch melaporkan Inhutani serta MSAM ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 18 Januari 2022. MSAM dan Inhutani diduga melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 atau Pasal 12 huruf h Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Tetapi, tiga tahun berselang, tak pernah ada tindak lanjut dari KPK. “Proses penegakan hukum sangat terhambat. Sudah berkali lapor, advokasi banyak,” kata kuasa hukum Sawit Watch, Musthakim.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo saat dikonfirmasi tentang laporan Sawit Watch menyatakan masih dalam proses verifikasi dan validasi. “Update tindak lanjutnya hanya bisa disampaikan kepada pelapor,” kata Budi Prasetyo saat dihubungi melalui Whatsapp pada Senin, 6 Mei 2025.
Indonesia Leaks telah mencoba mengkonfirmasi temuan tersebut kepada Sekretaris Perusahaan Inhutani, Sofiuddin Nurmansyah pada Rabu, 29 April 2025. “Aku minta waktu untuk cek dulu, tapi kalau yang di luar Jawa aku minta waktu untuk pelajari dulu yang di Inhutani. Pulau Laut ya? Aku konfirmasi ke anak perusahaan,” kata Sofiuddin.
Tim juga telah menghubungi Kementerian Agraria Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional. Juru bicara Kementerian ATR/BPN Bagas Agung Wibowo menyampaikan akan melakukan koordinasi ke pimpinan terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan yang telah dilayangkan. ”Saya koordinasi internal dulu,” ujarnya melalui Whatsapp pada Senin, 6 Mei 2025. Belakangan kami diinformasikan bahwa surat permintaan wawancara menunggu disposisi. “Pimpinan sedang dinas ke daerah. Mohon dimaklumi.”
Begitu juga tim telah melakukan konfirmasi kepada MSAM melalui email pada 14 April, lalu berkirim surat pada 16 April, serta menghubungi melalui pesan whatsapp kepada bagian administrasi perusahaan, Leni Ernawati pada 14 dan 24 April. Ia sempat membalas namun pesan kemudian dihapus.
Sementara itu, Dody Hanggodo saat disinggung tentang MSAM dan perjanjian kerjasama antara MSAM dengan Inhutani mengaku tak tahu menahu tentang perusahaan Jhonlin Group itu. “Nggak mengerti saya. MSAM itu apa ya? Saya tidak tahu. Sepertinya nggak pas juga tanya di sini. Nggak hafal saya,” kata Dody yang kini bekerja sebagai Menteri Pekerjaan Umum.
Dalam laporan yang sama, Sawit Watch dan Integrity Law Firm pun mencatat adanya tindak kekerasan yang diduga dilakukan Kepolisian Indonesia. Di samping menjaga lahan milik perusahaan, polisi juga tak segan menyisir rumah warga yang masih menolak lahannya digunakan untuk perkebunan kelapa sawit PT MSAM. “Kepolisian seolah-olah seperti kuasa hukum perusahaan. Ajakan dialog oleh warga selalu diintervensi kepolisian,” ucap Rambo Sawit Watch.
Hal ini diakui sejumlah warga yang kami temui April tahun lalu. Menurut warga, polisi tampak selalu memberikan perlindungan kepada perusahaan ketika menggasak lahan warga. “Setiap penggusuran pasti dianggapnya darurat (mengerahkan pasukan). Ada sekitar 40 orang kira-kira, polisi lengkap. Pasti selalu ada mobil pengangkut tahanan. Kalau ada apa-apa tinggal masukin,” sesal salah seorang warga yang tidak ingin disebutkan namanya.
Keberpihakan polisi dalam sengketa warga dengan MSAM bukan tanpa alasan. Konsorsium media ini menerima dokumen perusahaan dengan keterangan payment plan mingguan yang ditandatangani oleh petinggi PT MSAM. Guna memverifikasi data terkait aliran dana dari PT MSAM ke kepolisian itu, tim lantas melakukan pemeriksaan, baik melalui konfirmasi ke pemerintah, pengecekan data open source, dan memastikan rekening asal dan tujuan lewat perangkat perbankan.
Tercatat, selama beroperasi di Pulau Laut periode Juli 2019 hingga April 2022 MSAM diduga telah menggelontorkan uang lebih kurang sekira Rp14.818.690.000. Uang miliaran Rupiah itu digunakan untuk berbagai operasi polisi, seperti penjaga keamanan masyarakat (PAM), bantuan keamanan operasi (BKO), akomodasi, konsumsi, dan premi non karyawan asal kepolisian.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) menilai aliran uang dari perusahaan sawit kepada kepolisian mengindikasikan adanya dugaan korupsi. Keberadaan polisi, menurut RFP, tidak untuk melayani perusahaan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Kalau itemnya sudah jelas untuk BKO, penerjunan pasukan Brimob, dan lain-lain. Kemungkinan korporasi secara sadar memberikan anggaran tersebut untuk mendapatkan akses keamanan langsung dari aparat kepolisian. Maka jelas sekali itu ada indikasi tindakan korupsi dan penyuapan,” ujar Dimas Bagus Arya, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), yang juga bagian dari Koalisi RFP, pada Senin, 3 Maret 2025.
RFP juga mengecam tindakan kepolisian yang menjadi fasilitator pembayaran ganti rugi antara perusahaan dengan warga terdampak. Menurut mereka, proses negosiasi yang dilakukan di kantor polisi akan memberikan efek intimidatif terhadap warga. Sebab pemilihan lokasi sangat menentukan. Sedangkan dalam hal ini, lokasi negosiasi dengan warga berada di area yang tidak netral dan memiliki relasi kuasa yang tidak setara.
“Polisi itu bukan pemberi jasa. Mereka lembaga untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Beda konteks dengan private security yang punya pricelist untuk tiap jasanya. Polisi ini satuan negara yang melayani kepentingan masyarakat. Artinya pelayanan publik yang polisi berikan tidak boleh mengutip biaya,” ujar Dimas.
Indonesia Leaks telah mencoba mengonfirmasi temuan ini kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Listyo Sigit melalui surat pada 16 April 2025. Tim juga telah mencoba menghubungi mantan ajudan pribadi Jokowi itu melalui telepon dan pesan Whatsapp, namun Listyo tidak memberikan jawaban hingga laporan ini tayang. Pun surat konfirmasi serupa dikirimkan pada 26 April 2025 ke kantor Jhonlin Group di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Namun hingga laporan ini terbit tak ada tanggapan.
Laporan Indonesia Leaks yang Anda baca dimulai sejak Mei 2023. Jaring.id bersama empat media lainnya yang tergabung dalam konsorsium Indonesia Leaks, yakni KBR.id, Independen.id, Suara.com, dan Project Multatuli, dibantu Trend Asia melakukan kerja-kerja jurnalistik, mulai dari verifikasi dokumen sampai mengonfirmasi ke sejumlah pihak sebelum menyuguhkannya kepada Anda. Terima kasih telah membaca.