Puluhan warga Desa Srimulyo, Piyungan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Senin, 12 April 2021 lalu memblokir akses masuk ke kawasan industri PT Yogyakarta Isti Pratama (YIP). Pemutusan arus lalu lintas dilakukan warga dengan menggali parit di jalan yang kerap dilalui truk pengangkut bahan olahan kayu pabrik PT Indonesia Green Packaging International (IGP)—anak usaha dari PT YIP. Akibatnya sekitar 11 truk pengangkut barang olahan tak dapat keluar dan pabrik tidak bisa beroperasi.

Salah seorang warga yang juga Kepala Tata Usaha Desa Srimulyo, Sugeng Widodo mengatakan ada dua alasan yang mendorong warga melakukan pemblokiran. Pertama banjir saban musim penghujan sejak pabrik IGP berdiri di sekitar pemukiman warga, serta tunggakan sewa tanah desa selama tiga tahun oleh perusahaan. “Kami mau tutup pabrik,” kata Sugeng kepada tim kolaborasi liputan investigasi agraria, Selasa, 11 Mei 2021. Tim kolaborasi terdiri dari beberapa media, meliputi Jaring.id, Kompas.com, Suara.com, Project Multatuli dan Tirto.id.

Jauh sebelum pemblokiran jalan dilakukan, menurut Sugeng, pihak desa sudah berusaha menagih uang sewa dengan melayangkan surat sebanyak tiga kali. Isinya meminta perusahaan segera melunasi pembayaran sewa tanah serta pajak bumi dan bangunan (PBB) seluas 105 hektare. Perusahaan menunggak sewa lahan sebesar Rp 8 miliar sejak 2018 hingga 2020. Tanah yang dipakai perusahaan meliputi tanah kas desa sekitar 23 hektare, tanah pelungguh (untuk perangkat desa) 70 hektare dan tanah pengarem-arem (pensiunan perangkat desa) 10 hektare.

Direktur YIP, Eddy Margo Gozali justru berkelit ketimbang membayar sembari mengeluhkan pemblokiran warga tersebut kepada pemerintah daerah melalui pesan Whatsapp. Antara lain kepada Sekretaris Daerah Kabupaten Bantul, Helmi Jamharis. Kepada tim kolaborasi, Helmi mengakui menerima pesan berisi aduan tersebut sebelum meneruskan kepada Wakil Bupati Bantul, Joko Purnomo. “Saat itu, kami ada pertemuan,” kata Helmi, Jum’at 14 Mei 2021.

Pertemuan tersebut juga dihadiri Lurah Srimulyo, Wajiran dan kuasa hukum desa, Muhammad Yusron Rusdiono, serta Eddy. Dalam pertemuan itu seperti yang diceritakan ulang oleh Wajiran, Eddy sempat berkukuh tidak ingin membayar tunggakan uang sewa sebelum dilakukan perubahan nominal sewa per tahun dan pengukuran ulang luasan tanah kas desa. “Sebetulnya kalau YIP mengundurkan diri dari pengelolaan kawasan ini, ya lebih baik daripada masalah ini gantung. Nanti kan pasti ada perusahaan baru,” ujar Wajiran.

Belakangan Eddy menyanggupi melunasi uang sewa sesuai dengan hasil audit Inspektorat DIY pada 2020. Perusahaan hanya diminta membayar Rp 2,9 miliar. Pengiriman uang melalui rekening Bank Pembangunan Daerah (BPD) DIY dibuktikan dengan bukti transfer. Tapi, menurut Wajiran, uang pelunasan tak kunjung diterima. Dalam dokumen yang diterima tim kolaborasi, tercatat tidak ada transaksi dalam rekening desa. ”Tidak ada uang masuk sama sekali,” kata Wajiran yang saat itu langsung meminta perangkat desa membatalkan pembukaan blokir jalan.

Kawasan Industri Piyungan yang dikelola oleh PT YIP. Foto : Tim kolaborasi

Eddy akhirnya melunasi hutang lewat rekening Bank Mandiri pada 21 April 2021. “Saya juga sudah cukup mengalah. Biar ini segera selesai,” kata Wajiran.

 

Berujung Pasrah

PT IGP, anak usaha PT YIP terletak di Desa Srimulyo, Kabupaten Bantul. Akta perusahaan milik Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang diakses tim kolaborasi per 16 Maret 2021, diketahui bahwa PT YIP dimiliki oleh keluarga Ghozali. Pembagian saham meliputi Kasim Ghozali yang bertindak sebagai direktur utama dengan 30 ribu lembar saham, Eddy Margo Ghozali selaku direktur dengan kepemilikan 30 ribu saham, Rudy Ghozali selaku direktur dengan kepemilikan 30 ribu saham dan Sao Ling Ghozali selaku komisaris dengan kepemilikan 10 ribu saham.

Di DIY, Eddy mendirikan perusahaan pengolahan kerajinan kayu di bawah perusahaan PT IGP Internasional. Perusahaan tersebut sudah berdiri di Sleman, Bantul, Piyungan dan Klaten.

Mula-mula, Lurah Srimulyo, Wajiran menolak desanya dijadikan kawasan industri. Dalam visi misinya, tidak pernah terbersit untuk mewujudkan kawasan industri di sana. Karakteristik warga Srimulyo, menurut Wajiran, lebih mengedepankan pertanian, peternakan dan pariwisata. Hal itu didukung dengan kondisi geografis yang cenderung didominasi oleh lereng perbukitan dan hamparan persawahan. “Untuk kesejahteraan warga, saya yakin lewat pertanian dan peternakan,” kata Wajiran.

Tapi rencana tersebut berubah saat Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X menginginkan berdirinya kawasan industri di DIY. Pada 8 Desember 2000, sultan mengeluarkan Izin Gubernur Nomor 143/3440 tentang penetapan tanah Desa Srimulyo dan Sitimulyo seluas kurang lebih 100 hektare sebagai kawasan industri. Luasan lahan Desa Srimulyo yang disediakan untuk kegiatan usaha sebesar 65,8920 hektare, sisanya 57, 6580 hektare berada di Desa Sitimulyo. Kawasan industri di sana dikenal dengan sebutan kawasan industri Piyungan (KIP).

Berdasarkan keputusan gubernur tersebut, maka dilakukan perjanjian sewa menyewa lahan Kawasan Industri Piyungan dalam dua tahap. Berdasarkan dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Inspektorat DIY yang diperoleh tim kolaborasi dari pemerintah desa, dilakukan perjanjian sewa menyewa pertama antara perusahaan YIP dengan Pemdes Srimulyo pada 3 Februari 2015. Dalam dokumen perjanjian Nomor 01.B/SMY/II/2015 dan Nomor 014/YIP/II/2015-LGL disepakati tanah desa yang digunakan seluas 55,9037 hektare.

Beberapa hal yang disepakati dalam perjanjian adalah pihak YIP harus membayar uang sewa sebesar Rp 24 juta per hektare setiap tahunnya dalam jangka waktu 20 tahun dengan kenaikan lima persen tiap tahun. YIP juga harus mengajukan izin mendirikan bangunan (IMB), membayar biaya sertifikat, pajak bumi bangunan (PBB) dan retribusi di atas tanah yang disewa.

Perjanjian tahap dua dilakukan pada 29 Desember 2015. Sultan mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 84/IZ/2015 tentang Pemberian Izin kepada Pemerintah Desa Srimulyo menyewakan tanah kas desa seluas 49,2262 hektare kepada YIP untuk kawasan industri. Pihak desa kemudian menindaklanjuti dengan perjanjian sewa menyewa tanah desa tahap kedua bernomor 07/SM/II/2016 dan 002/YIP/II/2016 tertanggal 9 Februari 2016.

Wajiran menduga penunjukan desanya sebagai kawasan industri tidak terlepas dari luasan tanah di daerahnya yang masih terbilang luas. Apalagi tanah desa yang asal usulnya diberikan dengan hak anggaduh—berdasarkan ketentuan kolonial Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918, tetapi sudah dihapus Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria—diklaim sebagai tanah kasultanan berdasarkan Pasal 8 ayat 1 huruf a Perda Keistimewaan DIY Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pertanahan. Tanah desa yang dimaksud Pasal 33 ayat 2 meliputi tanah kas desa (untuk menunjang pemerintahan desa), pelungguh (dikelola perangkat desa), pengarem-arem (dikelola pensiunan perangkat desa) dan tanah untuk kepentingan umum. “Gubernur sudah memutuskan. Tanah itu kan langsung jadi otoritasnya. Lebih gampang, tanpa pembebasan,” ujarnya.

Wajiran mengaku pasrah dengan keputusan sultan. Hanya saja ia khawatir warganya tak lagi dapat menyewa tanah desa untuk pertanian maupun peternakan. ”Mereka (warga pengguna lahan pertanian dan peternakan di tanah desa) akan digusur. Ini pilihan susah,” keluh dia.

Sebaliknya putusan tersebut disambut sejumlah investor untuk mengelola kawasan industri yang diperkirakan seluas 16 kali Pulau Bidadari di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. YIP yang dinahkodai Eddy Margo Ghozali diduga kerap menggelar pertemuan dengan Pemerintah Bantul yang dihadiri keluarga Sri Sultan HB X. Sumber tim kolaborasi di Pemerintah Kabupaten Bantul menyampaikan rapat lebih banyak mengulas bagaimana pengelolaan tanah desa.

Keluarga Sultan HB X yang meliputi anak dan salah satu menantunya, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Wironegoro diduga turut mendorong agar sultan memilih perusahaan yang bergerak di bidang olahan kayu itu. “Mereka pabrik skala perusahaan besar. Tapi saya tidak tahu pasti apakah (anak dan menantu) turut memback up (YIP),” ujar sumber itu, Senin 10 Mei 2021.

Wironegoro tidak membantah telah membawa YIP untuk berinvestasi di Yogyakarta. Wiro, sapaan akrabnya mengaku sejak 15 tahun lalu telah merancang kawasan industri di Piyungan dengan konsep industri berbasis alam, wisata dan masyarakat. Konsep tersebut kemudian dibawa ke hadapan sultan. Menurut Wiro, Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadinigrat itu setuju dan menyukai gagasan tersebut dengan catatan perusahaan harus peduli lingkungan dan menghargai budaya masyarakat DIY. “Kemudian menunjuk satu partner yang saya setujui. Akhirnya, perusahaan YIP yang mengelola kawasan industri Piyungan,” ungkap Wiro dalam wawancara daring, Jum’at 2 Juli 2021.

Baca juga: Main Coret Atas Nama Kesultanan

Pangeran yang bertugas sebagai Pengageng II Tepas Parentah Hageng atau bagian yang mengurus kepangkatan dan jabatan abdi dalem keraton itu mengungkapkan rencana penggabungan kawasan industri Piyungan dengan wisata. Pengembangan industrinya, menurut Wiro, tidak akan merusak alam yang mengelilingi kawasan industri. “Bukit-bukit tidak dipapras. Jadi alam tidak diganggu, sehingga di situ tetep ada pertanian, perkebunan. Nantinya akan dijadikan sebagai tempat kunjungan wisata yang berbasis ekologi dan berbasis kreatifitas,” kata Wiro.

Baru tiga tahun menjalankan usaha, YIP menunggak sewa tanah desa sejak 2018, 2019 dan 2020, serta diduga tak membayar PBB dengan total senilai Rp 8 miliar berdasarkan perjanjian yang telah disepakati dengan desa. Menurut Wajiran, perusahaan tak memenuhi kewajibannya karena beberapa hal, seperti infrastruktur penunjang pabrik berupa jalan yang belum tersedia. Selain itu, perusahaan mengeluhkan ketersediaan air dan listrik. “Tiga tahun pertama lancar, setelah itu belum dibayar,” kata Wajiran.

Penghentian pembeyaran sewa tanah ini dilakukan YIP sejak Surat Keputusan Gubernur Nomor 68/KEP/2018 tentang Perubahan atas Surat Izin Gubernur DIY Nomor 143/3340 tentang Penggunaan Tanah Kas Desa seluas 56 hektare terbit pada 14 Februari 2018. Sembilan belas hari setelahnya, Sultan kembali mengeluarkan keputusan dengan mengubah peruntukan ruang dengan merevisi izin pemanfaatan tanah desa melalui Keputusan Gubernur Nomor 25/IZ/2018 tentang Perubahan atas Surat Izin Gubernur DIY Nomor 84/IZ/2015 tentang Pemberian Izin kepada Pemerintah Desa Srimulyo untuk Menyewakan Tanah Kas Desa kepada PT YIP untuk kawasan industri. Keputusan itu membuat lahan yang harusnya digunakan industri di Srimulyo seluas 49,226 hektare menyusut menjadi 37 hektare.

Pada waktu yang sama, Sultan mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 26/IZ/2018 tentang pemberian izin kepada Pemerintah Desa Srimulyo menyewakan tanah kas desa kepada YIP untuk kawasan wisata seluas 10,5943 hektare. “Pak gubernur sudah ambil keputusan. Rekomendasi dari raja, yang mutusin juga dari gubernur,” kata Wajiran.

Perubahan izin ini kemudian dijadikan dasar bagi YIP untuk tidak membayar sewa dan PBB. Berdasar hasil audit Inspektorat DIY, Eddy tak mau membayar sebelum ada pengubahan pembayaran (addendum) berdasarkan keputusan gubernur tersebut.

Dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) Inspektorat DIY yang rampung pada Oktober 2020 lalu terdapat lima catatan dalam sengketa penyewaan tanah desa. Pertama, penentuan harga sewa sudah dilakukan secara musyawarah antara pihak desa dengan YIP serta Pemerintah Bantul berdasarkan Izin Gubernur Nomor 143/3340 Tahun 2020 tentang surat izin penggunaan tanah kas desa. Kedua, kewajiban pemerintah desa untuk mengosongkan lahan sejak 2015 sampai 2020 belum sepenuhnya dilaksanakan. Ketiga, adanya kewajiban yang belum dilaksanakan YIP pada perjanjian I dan perjanjian II. Dalam hitungan inspektorat, jumlah sewa terutang tanpa pengosongan lahan sebesar Rp 4,4 miliar. Namun karena ada kelebihan bayar YIP pada 2015-2018 sebesar Rp 1,9 miliar, sehingga jumlah kekurangan pembayaran perusahaan sebesar Rp 2,5 miliar dan PBB sebesar Rp 481 juta.

Keempat, karena belum ada pembayaran sewa lahan kawasan industri dan pembayaran PBB, pihak desa mengeluarkan surat peringatan 1, 2 dan 3 atas perjanjian tahap I dan perjanjian tahap II. Atas dasar itu, pihak desa mengambil lahan secara sepihak. Kelima, Pemda Bantul belum sepenuhnya menyediakan infrastruktur yang mendukung kawasan industri Piyungan sesuai dengan Surat Gubernur Nomor 143/3440. “Kami selama melakukan pemeriksaan, berusaha objektif. Kami tidak berani menguntungkan salah satu pihak. Kami berusaha independen betul,” kata Kepala Inspektorat DIY, Wiyos Santoso di kantornya, 26 April 2021.

Menurut Wiyos, Inspektorat sebetulnya tidak ingin ikut campur dalam urusan yang terjadi di kawasan industri Piyungan. Tapi Gubernur DIY memerintahkan pihaknya untuk melakukan pemeriksaan. “Karena itu ranahnya perusahaan dan pemerintah desa,” ujarnya.

Dalam LHP Inspektorat DIY, Eddy menuturkan dua alasan tidak membayar biaya sewa tanah. Pertama ialah terbitnya tiga keputusan gubernur. Menurut Eddy, sebagaimana dikutip dalam laporan LHP, perlu ada addendum perjanjian sewa menyewa sebagai dasar hukum perjanjian sewa menyewa agar pembayaran kewajiban tahunan sesuai obyek tanah yang diukur. Kedua, tidak membayar sejak Februari 2018 dengan pertimbangan hanya menggunakan lahan seluas 6,1344 hektare atau sekitar 0,1 persen dari lahan yang disewa.

Meski begitu, Eddy enggan berkomentar banyak perihal sengketa tanah desa di Piyungan. Pesan singkat melalui Whatsapp telah dilayangkan berulang kali kepada Eddy maupun kepada humas YIP, Kirnadi tidak terjawab. Dalam pesan singkat yang dilayangkan pada 5 Juni 2021, Eddy menyatakan belum bisa memberikan informasi karena koordinasi pembahasan persoalan dengan Srimulyo masih berproses di Pemda Bantul. Proses surat-menyurat untuk meminta konfirmasi juga telah dilakukan dua kali. Surat pertama diantarkan ke YIP dan diterima bagian keamanan, Retno pada 18 Agustus 2021. Surat kedua diberikan pada 4 September 2021, tetapi Koordinator Lapangan YIP, Widodo menolak dengan alasan belum ada kejelasan waktu wawancara. “Nanti saya sampaikan dulu kepada timnya Pak Eddy,” kata Widodo.

Sementara saat ditemui di kantor Bupati Bantul pada 21 Mei 2021 Eddy irit bicara. “Kami berharap semuanya bisa lancar. Saya butuh bantuan, pokoknya saya minta doanya,” ujarnya singkat.

 

Penyelesaian Sengketa

Polemik pemerintah desa dengan YIP sampai ke meja sultan pada pertengahan 2020. Sultan memanggil Sekretaris Daerah DIY, Inspektorat DIY, Pemerintah Bantul, perwakilan Pemdes Srimulyo dan pihak YIP. Peserta rapat yang turut hadir ialah Sekretaris Desa Srimulyo, Nurjayanto.

Baca juga: Asal-usul Tanah Perlu Dikroscek

Dalam rapat tersebut gubernur menyampaikan tiga hal, pertama ialah klarifikasi bahwa kesultanan tidak terlibat dalam konflik di Piyungan. Kedua, meminta kasus sengketa lahan tidak diarahkan ke meja hukum. Terakhir, meminta inspektorat untuk melakukan audit atas pemenuhan hak dan kewajiban desa dan perusahaan. “Sultan dan keluarga beliau, katanya tidak terlibat dalam keberadaan kawasan Industri yang ada YIP di sana. Maksudnya apa menyampaikan itu, kami juga tak begitu tahu,” kata Nurjayanto, saat ditemui di ruangannya, Senin 10 Mei 2021.

Dalam catatan desa, rapat penyelesaian konflik itu digelar hingga puluhan kali, tetapi tak menemukan titik temu. Sementara anak kedua Sultan, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condrokirono selaku Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura atau Sekretaris Negara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat disebut pernah hadir dalam beberapa kesempatan rapat.

Wironegoro tidak membantah adanya keterlibatan kesultanan dalam pengembangan kawasan industri Piyungan. Perihal rapat-rapat yang dihadiri keluarga keraton, menurut Wiro, merupakan cara keraton memantau aktivitas industri. “Kami melakukan pendampingan kultural agar semuanya berjalan sesuai kaidah untuk menciptakan harmoni, kesuksesan, kesejahteraan masyarakat. Kami memantau,” papar dia. Namun ia membantah dirinya maupun keluarga keraton menerima saham dari perusahaan YIP. Wiro menyatakan keraton tidak beroleh keuntungan selama industri tersebut beroperasi. “Saya tidak mempunyai saham satu persen pun di perusahaan itu. Saya dengan suka rela,” kata Wiro.

Salah satu bentuk pengawasan keraton terlihat ketika Staf Tepas Panitikismo Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Suryo Satrianto hadir di lokasi calon jalan baru yang akan menjadi akses kawasan industri Piyungan bersama pihak Pemkab Bantul dan YIP pada 25 Mei 2021. Dia mewakili anak sulung Sultan, GKR Mangkubumi yang batal hadir untuk melakukan pengecekan tanah kasultanan (sultan ground/SG) seluas 2.300 meter persegi yang digunakan untuk akses jalan. Saat itu, Suryo belum mengetahui pasti status tanah yang dipakai terkait tanah desa atau bukan.

“Kalau pun itu tanah desa, kan bagian dari SG juga (karena asal usul dari hak anggaduh keraton), harusnya ada izin kami. Jadi keputusan ada izin atau tidaknya kan ada di beliau (Mangkubumi). Jadi kami masih menunggu,” kata Suryo saat ditemui di Pasar Kebon Empring, Bantul, 25 Mei 2021.

Sementara itu, Gubernur DIY, Sri Sultan HB menyatakan bahwa penyelesaian persoalan itu tetap dilakukan Pemkab Bantul, bukan gubernur. “Masalahnya mereka yang mendapatkan izin sama kelurahan belum bisa menyelesaikan masalah sewa tanah, sehingga saya fasilitasi,” kata Sultan saat ditemui di Kepatihan Yogyakarta, 4 Agustus 2021.

 

Tak Hanya di Piyungan

Lahan seluas 77.900 meter persegi tanah desa dimanfaatkan PT Taman Wisata Jogja untuk wisata air Jogja Bay di Maguwoharjo, Kapanewon Depok, Sleman. Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan permohonan izin Nomor 35/IZ/2-14 tekait pemanfaatan tanah desa pada 5 September 2014.

Tampilan citra satelit Jogja Bay. (Dokumentasi Jogja Bay)

Proses izin lingkungan ke Dinas Lingkungan Hidup Sleman diurus oleh KPH Purbodinigrat. Dalam salinan dokumen nomor 660/643 tentang Permohonan Izin PT Taman Wisata untuk kegiatan taman wisata air Jogjabay Waterpark yang diperoleh tim kolaborasi disebutkan, menantu atau suami dari anak ketiga sultan, GKR Maduretno itu mulai mengurus permohonan izin lingkungan pada 8 Juni 2015. Sejak pengumuman itu, Dinas Lingkungan Hidup hanya butuh waktu satu pekan untuk mengeluarkan izin lingkungan pada 12 Juni 2015.

KPH Purbodiningrat enggan bicara saat tim kolaborasi konfirmasi perihal izin lingkungan. Tim kolaborasi sudah menghubungi Purbodiningrat melalui telepon dan pesan singkat hingga Rabu, 15 September 2021, namun tidak ada tanggapan.

Sementara itu, Kepala Bidang Tata Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup Sleman, Sugeng Riyanto menyatakan tidak tahu-menahu perihal perizinan saat itu. Menurut dia, penerbitan izin lingkungan semestinya membutuhkan proses yang panjang karena meliputi beberapa tahapan. “Tahapan amdal saja harus pasang pengumuman dulu, konsultasi publik, persetujuan kerangka acuan, lalu pengajuan permohonan izin lingkungan,” kata Sugeng saat dikonfirmasi pada 4 Agustus 2021.

Berdasarkan dokumen AHU per 16 Maret 2021, GKR Condrokirono tercatat sebagai komisaris PT Taman Wisata Jogja. Kasi Pemerintahan Desa Maguwoharjo, Danang Wahyu menduga keterlibatan keluarga keraton adalah bagian dari menjaga kepemilikan keraton atas usaha yang dijalankan di Maguwoharjo. “Kepemilikan atas nama keluarga keraton sering gonta-ganti,” ungkap Danang pada 7 Mei 2021.

Ada beberapa hal yang ditekankan dalam perjanjian sewa-menyewa antara pemerintah desa dengan Taman Wisata Jogja. Pertama, pihak perusahaan membayar Rp 650 juta per tahun dengan kenaikan nominal lima persen per tahun. Kedua, perusahaan harus melakukan sertifikasi tanah desa tiga tahun setelah lahan dipakai. Namun perjanjian itu dilanggar perusahaan. Menurut Danang, perusahaan tak pernah melakukan sertifikasi tanah maupun meminta pengurangan biaya sewa. “Tahun kemarin belum bisa bayar karena corona. Seharusnya, jika tiga bulan enggak ada laporan, sewa sudah dihentikan,” kata Danang.

Condrokirono menolak bicara terkait perannya sebagai komisaris. Ia meminta tim kolaborasi untuk menghubungi Direktur Jogja Bay, Cahyo Indarto. “Itu bukan atas nama keraton, jangan salah,” ujar dia melalui pesan Whatsapp, Kamis, 2 September 2021.

Sementara itu, Direktur PT Taman Wisata Jogja, Cahyo Indarto membenarkan bahwa semua proses izin lingkungan dijalankan bukan atas nama keraton. “Saya enggak tahu yang itu. Soalnya yang mengurus izin teman-teman sendiri,” kata Cahyo kepada tim kolaborasi, Jumat 3 September 2021.

Walaupun demikian, selaku pengelola Jogja Bay, dia tak membantah Condrokirono duduk di kursi komisaris di wahana air terbesar di Sleman itu. “Ya tentu saja ada. Kalau saya, Mbak Condrokirono ini kan sudah banyak pegang perusahaan. Jadi ketika beliau jadi komisaris, saya juga merasa arahan-arahan beliau ini sangat bagus. Apalagi di dunia pariwisata, beliau sangat paham. Di Yogyakarta kan gerakannya (perekonomian) lebih banyak di sektor pariwisata,” papar Cahyo.

Pertimbangan memilih Condrokirono, menurut Wahyu, tak telepas dari kompetensinya dalam bidang marketing dan manajemen bisnis. Cahyo membantah pemilihan keluarga keraton sebagai upaya untuk mempermudah proses operasional maupun perizinan pemanfaatan tanah desa. “Ya meskipun putri Sultan, tapi beliau tidak mau diistimewakan dalam urusan bisnis. Tetap jalan sesuai prosedur. Justru sering mengingatkan kalau kami tidak boleh untuk menyalahi prosedur,” ujar Cahyo.

Upaya memanfaatkan tanah desa untuk pengembangan bisnis juga terjadi di Desa Sinduadi, Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman. Beberapa pemilik saham Perusahaan Garuda Mitra Sejati (GMS) yang mengelola Jogja City Mall disinyalir keluarga keraton. Sebagaimana disebutkan dalam dokumen AHU yang diakses per 21 Maret 2021, keluarga keraton tersebut meliputi adik kandung Sultan HB X, yaitu almarhum Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto sebesar Rp 32 miliar sebagai komisaris utama, juga dua anaknya yakni Raden Mas (RM) Bambang Prastari dan Raden Ajeng (RA) Lupitasari masing-masing sebesar Rp 11 miliar dan tanpa disebutkan jabatannya dalam dokumen AHU. Semasa hidup, Hadiwinoto bertugas di Tepas Panitikismo yang bertanggungjawab untuk mengurusi tanah-tanah kesultanan di DIY.

Luas tanah desa yang disewa GMS, menurut Lurah Sinduadi, Senen Haryanto seluas 900 meter persegi dari total luasan 45.000 meter persegi. Dari luasan lahan itu, GMS hanya membayar sebesar Rp 25 juta per tahun. “Tanah desa yang dipakai sedikit,” ujarnya Selasa, 6 April 2021.

Sementara Direktur Utama PT GMS Soekeno tidak merespons permintaan wawancara dari tim kolaborasi sejak 15 Juli 2021 hingga saat ini. Permintaan wawancara melalui pesan WA, telepon dan surat tertanggal 18 Agustus 2021 dan 4 September 2021 juga sudah disampaikan. Pun Bambang Prastari dan Lupitasari juga tak merespons saat dihubungi melalui surat dan dirrect message lewat akun Instagram.

Public Relationship JCM, Febrianita Chandara enggan menyebutkan luas area tanah kas desa yang digunakan untuk bangunan JCM. Alasannya, penjelasan tersebut terkait kebijakan perusahaan yang tidak boleh diketahui publik. “Untuk pemanfaatan tanah kas desa yang kami gunakan itu untuk area resapan air terbuka dan area resapan air,” imbuh Febrianita saat dihubungi melalui Whatsapp pada 2 Agustus 2021.

 

Harus Seizin Kesultanan

Kepala Bidang Penatausahaan dan Pengendalian Pertanahan Kundha Niti Mandala serta Tata Sasana alias Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) DIY, Agus Triono Junaedi menegaskan dalam proses pemanfaatan tanah kesultanan, baik warga, pemerintah desa, maupun pihak ketiga harus meminta izin kepada Tepas Panitikismo. Sementara proses administrasinya melalui Dispertaru DIY. “Harus ada izin dari kasultanan untuk mendapatkan kekancingan,” kata Agus ditemui di kantornya, Jumat 21 Mei 2021.

Sri Sultan HB X (kiri) saat ditemui tim kolaborasi usai memberikan bantuan kepada para lurah dan koperasi di halaman Kepatihan Kantor Gubernur DIY, Rabu, 4 Agustus 2021

Kekancingan merupakan bukti penyewaan yang dikeluarkan pihak Panitikismo. Di dalamnya ada perjanjian sewa-menyewa sekaligus nominal yang harus dibayarkan oleh pihak yang ingin memanfaatkan tanah kasultanan. Sementara tanah desa yang dahulunya berstatus hak anggaduh juga termasuk tanah kasultanan berdasarkan Perdais Pertanahan. Menurut Agus, prosedur mendapatkan kekancingan tanah desa dimulai dari mengurus administrasi ke desa, kemudian mengurus izin ke Dispertaru Daerah untuk mendapatkan rekomendasi pemanfaatan tanah desa atas izin bupati. “Ketika kasultanan mengizinkan, maka secara langsung Gubernur DIY juga akan menyetujui,” kata Agus.

Sejauh ini, Agus mengaku belum pernah mengurus kekancingan tanah desa, melainkan kekancingan untuk tanah kasultanan (SG) lainnya. Agus mencontohkan biaya kekancingan atas pemanfaatan tanah kasultanan (SG) yang dikelola pihak lain. Pada 2016 pemerintah DIY pernah menyewa lahan kasultanan untuk keperluan pembangunan Pelabuhan Adikarto di Kulonprogo, Pelabuhan Saden di Gunungkidul, Makam Giripeni, dan Embung Tamansari. Total uang yang harus dikeluarkan Pemerintah DIY untuk kekancingan saat itu sebesar Rp 100 juta untuk empat lokasi selama jangka waktu 10 tahun. “Kami bayarnya ada yang transfer, ada yang tunai,” ungkap Agus.

Sementara Staf Panitikismo Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Suryo Satrianto menyatakan tidak ada kekancingan untuk penyewa tanah desa. Namun untuk memanfaatkan tanah desa berdasarkan Pergub 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Kas Desa harus mendapatkan izin gubernur. “Pegangan penyewa (tanah desa) adalah izin gubernur. Untuk keluar izin gubernur perlu rekomendasi dari kasultanan. Jadi kekancingan untuk tanah desa, saya pikir belum pernah kami keluarkan,” papar Suryo.

Berdasarkan Bab Ketentuan Peralihan Perdais Pertanahan pada Pasal 64 ayat (1) disebutkan, dalam hal serat kekancingan sebagai hak anggaduh dan sertifikasi tanah desa belum diterbitkan, izin penggunaan tanah desa ditetapkan oleh gubernur.

Mantan Ketua DPW Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DIY periode 2015-2019, Nazaruddin menilai pemanfaatan tanah desa sarat konflik kepentingan. Kata dia, tindakan tersebut bertentangan dengan UU Keistimewaan. Pada Pasal 16 dijelaskan Gubernur dan Wakil Gubernur dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan kepada diri sendiri, anggota keluarga, atau kroni, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasi warga negara atau golongan masyarakat tertentu. “Sekarang ini digunakan untuk komersial,” kata Nazaruddin saat ditemui tim kolaborasi, Senin 15 Mei 2021.

Senada dengan Nazaruddin, Wakil Ketua DPRD DIY, Suharwanto juga menegaskan bahwa ada tiga hal yang ditekankan dalam UU Keistimewaan dalam pemanfaatan tanah kasultanan. Meliputi untuk pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang tertuang dalam Pasal 32 UUK. “Arah penggunaanya telah diatur,” kata Suharwanto.

Menurutnya, ada indikasi penyimpangan aturan UUK dan perdais. Ketua Fraksi PAN di DPRD DIY ini meminta Pemerintah DIY perlu melakukan pengawasan dengan ketat agar akuntabel dan terbuka terkait pemanfaatan tanah desa. Pihak DPRD, menurut Suharwanto, juga tidak tinggal diam dengan sikap kasultanan. “Kami akan melakukan pengawasan. Masyarakat juga harus ikut mengawasi,” ujarnya.

Sementara KPH Wironegoro membantah UUK memberikan kemudahan bagi keluarga keraton untuk mengelola tanah desa. Menurut dia, tidak ada keistimewaan yang diperoleh keraton untuk membangun apa saja di tanah-tanah yang dimiliki keraton. “Tidak ada previlage. Segala sesuatunya, kami memang tidak ada istilah keinginan untuk dimudahkan, itu tidak. Semuanya sesuai mengikuti aturan,” ujar Wiro.

Putri kedua Sultan, GKR Condrokirono menjelaskan, usai Hadiwinoto wafat digantikan oleh GKR Mangkubumi selaku Penghageng Tepas Panitikismo yang mengurus pertanahan keraton.  “Lebih baik wawancara beliau saja sekalian memberi tahu masyarakat,” kata Condrokirono melalui pesan singkat Whatsapp saat dikonfirmasi tim kolaborasi terkait pemanfaatan tanah desa di DIY setelah menjadi hak milik keraton.

Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi yang juga menjabat sebagai Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Parwabudaya atau penjaga inti kebudayaan keraton saat dihubungi tim kolaborasi melalui telepon dan pesan pendek whatsapp sejak 24 Juni 2021, tetapi belum merespons permintaan wawancara. Melalui pegawai panitikismo, Nadia, GKR Mangkubumi menjanjikan untuk wawancara melalui daring. Namun hingga tulisan ini tayang, putri pertama Sultan HB X tak juga memberikan tanggapan. “Kebetulan ini dawuhnya untuk wawancara Zoom. Jadi mohon maaf kalau mau ketemu langsung saya tidak berani bantu,” ujarnya.

Sri Sultan HB X mengaku tak pernah melibatkan anak-anak maupun keluarganya untuk berbisnis di atas tanah desa. “Ora (tidak) mungkin keluargaku, anak-anakku, enggak ada (keterlibatannya). Itu nyatut berarti. Tidak ada. Itu semua (yang menuding) cari duit supaya dipercaya. Anak saya tidak ada yang bisnis,” kata Sultan.

Sultan juga menegaskan, meskipun banyak pengusaha yang menemuinya, tetapi tak ada pembagian keuntungan untuk dia dan keluarganya. “Enggak (ada), sopo wae (siapa saja) kalau ketemu sama saya. Tapi kan tidak ada share (bagi keuntungan). Lihat notaris, ora ming krungu-krungu (jangan cuma dengar-dengar). Saya bukan pengusaha, enggak pernah akan ada anak-anak maupun saya punya share dengan orang lain,” kata Sultan lagi.


Naskah pertama dari tiga artikel ini merupakan kerja bersama Jaring.id bersama beberapa media lain, antara lain Kompas.com, Suara.com, Project Multatuli dan Tirto.id.

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.