ATR/BPN: Asal-usul Tanah Kesultanan Perlu Dikroscek

Sembilan tahun sejak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta berlaku, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Puro Pakualam mulai menginventarisir tanah bekas kerajaan. Menurut Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPN, Suyus Windayan luas lahan kesultanan diperkirakan mencapai 11,2 persen dari seluruh wilayah DIY. Namun, pengalihan kuasa atas tanah-tanah tersebut tak mudah. Sebab tidak sedikit bidang tanah yang sudah beralih milik dan menjadi aset desa.

Penyertifikatan ini sebelumnya merujuk Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang menegaskan tidak ada lagi tanah swapraja (feudal), sehingga seluruh tanah bekas kerajaan masuk sebagai aset negara. Undang-undang itu kemudian dipertegas dengan Perda DIY Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UUPA di DIY yang menghapus Rijkblad 1918, sekaligus menghapus ketentuan tanah yang dikelola oleh kasultanan seperti diatur dalam UU Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 1950.

Peneliti Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA), Kus Sri Antoro saat diwawancara Jaring.id, Tirto.id, Suara.com, Kompas.com dan Project Multatuli pada 27 Januari 2021 menyebut UUPA telah melepaskan kepemilikan kasultanan dan kadipaten terhadap tanah. Meski begitu, melalui Perda Keistimewaan DIY Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat hendak menjadikan tanah-tanah desa, yang semula dikuasai negara kembali menjadi tanah milik kesultanan. Pasal 38 huruf c isinya tentang tanah desa yang telah disertifikatkan dengan status hak pakai, harus dilakukan penyesuaian status hak pakai di atas tanah kasultanan atau tanah kadipaten sesuai asal-usul tanah desa.

Aturan ini yang mengakibatkan desa sejak 2017 tidak lagi dapat mensertifikatkan tanah-tanah desanya. Sementara sertifikat yang sudah kadung diberikan ditarik. Bahkan, temuan tim kolaborasi menunjukkan adanya pencoretan sertifikat yang semula tertulis “Tanah Negara bekas hak adat persil xxx, xxx.” Kemudian frasa “Negara dan bekas” dicoret, sehingga terbaca “Tanah hak adat persil xxx, xxx.”

Menurut Kus, kesultanan saat ini berbeda dengan kesultanan yang dibentuk Perjanjian Giyanti 1755. Kesultanan masa Giyanti berstatus badan hukum swapraja, sedangkan yang sekarang berstatus badan hukum warisan budaya dan lahir ketika pengesahan UU Keistimewaan pada 31 Agustus 2012, sehingga klaim tanah-tanah desa oleh kesultanan berdasarkan asal usul hak anggaduh menurut Rijksblad dipertanyakan. “Apakah lembaga ini identitasnya sama, subjek hukum sama dengan kasultanan yang dulu? Menurut saya tidak. Artinya lembaga ini berbeda dengan dahulu,” ujar Kus.

Guna mengetahui kedudukan hukum atas tanah-tanah tersebut, tim kolaborasi memawancarai pihak Kementerian ATR/BPN. Kami diterima oleh Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Suyus Windayana; Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang, Dwi Purnama; Direktur Pengukuran dan Pemetaan Kadastral, Tri Wibisono dan Sekretaris Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (Sesditjen PHPT), Suwito. Beberapa dari pejabat tersebut pernah bekerja di BPN wilayah DIY.


Bagaimana tanggapan Kementerian ATR/BPN dengan adanya sertifikasi tanah desa atas nama kasultanan dan kadipaten?

Kami memberlakukan aturan yang ditetapkan UUD. Tanah kasultanan dan kadipaten buat kami di pemerintahan pusat tidak harus diperdebatkan. Jogja memang daerah khusus buat saya. Beberapa hal harus diberikan toleransi. Kalau perlu ada perubahan, tidak menutup ada perubahan. Kalau mau ditingkatkan menjadi hak khusus, kami bisa tingkatkan.

Bukankah Sultan HB IX sudah menyerahkan tanah-tanah desa kepada desa sesuai UUPA? Mengapa kementerian mengizinkan?

Sebetulnya tidak ada maksud kasultanan mengambil tanah. Ini sifatnya pengakuan tanah saja yang ada kaitannya dengan UU Keistimewaan. Ini hanya pencatatan saja, bahwa itu menjadi tanah kasultanan. Tidak ada maksud mengambil.

Dwi Purnama: Saya menambahkan apa yang disampaikan Pak Dirjen. Pada dasarnya dengan terbit UU Keistimewaan, maka kasultanan dan kadipaten merupakan badan hukum yang memiliki hak milik. Sebelum ada UU Keistimewaan, subjeknya belum diakui, tapi objeknya sudah diakui. Karena kasultanan dan kadipaten merupakan badan hukum yang memiliki hak milik, maka di-breakdown dengan Peraturan Daerah Istimewa nomor 1 tahun 2017 tentang pertanahan (Perdais Pertanahan). Disebutkan tanah desa yang sudah bersertifikat atas nama desa dan asal usulnya merupakan tanah kasultanan dan kadipaten, serta wajib disesuaikan menjadi tanah hak milik kasultanan dan kadipaten. Kami melakukan diskusi dengan ahli pertanahan UGM untuk menyusun naskah akademik. Setelah itu, kami sampaikan kepada kasultanan dan kadipaten, serta praktisi hukum di DIY. Setelah disetujui, kami mengajukan ke Kementerian ATR/BPN untuk menindaklanjuti amanah UU Keistimewaan dan Perdais Pertanahan. Lalu keluar petunjuk teknis penatausahaan tanah-tanah Kasultanan dan Kadipaten di DIY.

Dalam juknis itu dibentuk tim verifikasi untuk inventarisasi tanah kasultanan dan kadipaten. Ketika asal usulnya diketahui milik kasultanan dan kadipaten (dengan hak anggaduh) secara otomatis akan menjadi hak milik kerajaan. Jika terkait dengan tanah berasal dari pembebasan tanah menggunakan anggaran pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat pusat, maka tidak akan masuk kategori tanah kasultanan maupun kadipaten.

Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Suyus Windayana (tengah); Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang, Dwi Purnama (kiri) dan Direktur Pengukuran dan Pemetaan Kadastral, Tri Wibisono (Kanan)

Apa dasar kementerian menerbitkan juknis?

Sebetulnya ini perihal tata cara saja. Ini administrasi pencatatan yang ada dalam peraturan kementerian. Saya pikir kalau ini dianggap harus membuat aturan hukum lebih kuat, kami bisa buatkan. Tapi sepanjang ada aset desa, tata cara sudah ada. Kami masukkan ke dalam juknis, karena teknis tata usaha saja.

Ada upaya meminta peraturan menteri (permen), tetapi yang keluar justru juknis. Bagaimana itu terjadi?

Dasar yang kami gunakan adalah UU Keistimewaan lalu Perdais Pertanahan. Kementerian memandang diperlukan juknis saja untuk administrasi pertanahan. Teknisnya, biro hukum yang memberikan juknis yang harus diterbitkan.

Dwi Purnama: Sebenarnya kami punya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang  pendaftaran tanah. Kami juga punya SOP pendaftaran tanah yang sudah ada di sana. Namun untuk tanah kasultanan dan kadipaten dilakukan penegasan dan konversi pengakuan.

Suyus Windayana: Kalau perlu ada permen yang baru, kami siapkan. Kebetulan yang sudah diatur tinggal implementasinya. Dalam diskusi selanjutnya ada mekanisme yang belum diatur akan kami buatkan.

Yang mengusulkan pembuatan permen siapa?

Itu dari kami di Kanwil BPN DIY, lalu di kementerian diskusikan dengan kementerian, biro hukum, dan staf khusus. Akhirnya terbit juknis sebagaimana yang ada.

Subjek pemegang haknya ada dua, yakni pemerintah desa dan kasultanan. Apakah negara atau pemerintah memperbolehkan penerbitan dua subjek hak?

Boleh. Itu seolah dua subjek dengan hak berbeda itu tentu dibolehkan. Itu memberitahu kepada orang di bawahnya itu ada hak milik. Karena kasultanan itu memiliki subjek hak, jadi dia boleh.

Tri Wibisono: Memang selama ini kan tanah hak milik belum dicantumkan di sertifikat tanah desa. Jika tanah yang dilekati hak pakai digunakan tanah desa, maka di bawahnya itu ada tanah kasultanan. Bagaimana memunculkan hak miliknya, inilah yang dilakukan tim inventarisasi sehingga penyesuaian itu digunakan hak pakai atas pemerintah desa di atas hak milik kasultanan. Ada tanda hak miliknya. Bagi tanah desa yang belum bersertifikat tanah kasultanan, maka akan diterbitkan atas nama kasultanan, baru ada hak pakai pemerintah desa.

Untuk saat ini, tanah kasultanan dan kadipaten dari luas 380 ribu hektare tinggal 11,2 persen saja. Semua hak milik masyarakat sudah dilepas dan sudah diberikan. Tinggal 11,2 persen ini perlu inventarisasi dan identifikasi agar sesuai dengan tata cara administrasinya. Caranya, sebagian besar adalah pengakuan. Namun terkadang buktinya tidak ada, inilah yang menjadi masalah. Kasultanan hanya menggunakan Rijksblad Nomor 16 Tahun 1918 yang menyatakan semua tanah di DIY adalah tanah kasultanan dan kadipaten.

Suyus Windayana: Intinya begini. Kami mencari format yang cocok. Kasultanan hanya 11,2 persen. Tidak terlalu banyak. Dan itu juga bukan hak perorangan. Kalau seperti di Inggris, negara harus membayar raja-raja. Jogja tidak menuntut seperti yang di Inggris. Dia hanya menuntut uang buat Jogja dan tanah-tanahnya diakui kembali seluas 11,2 persen saja. Buat saya fair-fair saja.

Jadi berapa hektare?

Tri Wibisono: berapa hektarenya belum kami hitung. Tapi kalau dari 300 ribu hektare tanah di DIY bisa dikatakan sekitar sekitar 33 ribu hektare itu milik kasultanan.

Dwi Purnama: Kepemilikan kasultanan itu sebatas dicatatkan. Belum diterbitkan sertifikat hak milik. Juknis dibuat supaya cepat menyelesaikan masalah.

Sejumlah desa di Sleman dan Bantul menolak program sertifikasi ini dengan alasan ada potensi kehilangan aset desa. Bagaimana tanggapan Kementerian ATR-BPN?

Juknis ini sekedar memberikan petunjuk administrasi. Sisi lain, jika permasalahan belum clear, maka pihak provinsi, kasultanan dan desa, harus melakukan inventarisasi tanah desa, harus tertib terlebih dahulu. Pada 2021 sudah ada program dengan target 2090 untuk tanah desa yang akan disesuaikan atas nama kasultanan dan kadipaten. Kalau ada permasalahan bisa jadi desa waktu beli. Namun sampai sekarang bukti pembelian tidak ada. Kami memberikan solusi kalau ada penolakan berarti masih ada masalah dalam tanah desa. Ini harus diluruskan. Kalau di kami, kami berikan jalan bagaimana tata usaha dan administrasinya. Saya yakin masih banyak yang harus diselesaikan kasultanan dan kadipaten dengan pihak desa. Sampai saat ini tanah kasultanan dan kadipaten belum ada bukti tertulis semua dideklarasi pada Rijksblad 16 itu.

Salah satu dokumen sertifikat baru adalah tanah Desa Sidoluhur. Pada kolom petunjuk ada tulisan “tanah negara bekas hak adat.” Namun tulisan “negara bekas” itu dicoret, seolah-olah menjadi tanah hak adat. Pencoretan itu diperbolehkan?

Tri Wibisono: Kami kalau melihat itu belum, mohon kami identifikasi itu, apa yang dicoret. Itu bisa jadi asal usul tanah negara itu dicoret. Di DIY kan sebetulnya tidak ada tanah negara, kecuali tanah itu diberikan kepada masyarakat, kemudian masyarakat melepaskan itu menjadi tanah negara.

Kami perlu identifikasi dulu kenapa itu dicoret. Bisa jadi ada tim inventarisasi, asal usulnya merupakan tanah kasultanan dan kadipaten sehingga dicoret dan disesuaikan. Itu mungkin bisa disampaikan agar jelas. Pada dasarnya kami ingin bantu di DIY. Jika ada masalah di desa bisa mudah administrasi.

Apa ada opsi lain sebelum memilih pencatatan nama kasultanan, misalnya pelepasan dulu baru ada pengajuan kasultanan?

Opsi itu sempat muncul. Kalau melihat kaidahnya, jika itu dilepas menjadi tanah negara dulu, maka menjadi rumit dan membuat tidak sederhana, murah, dan cepat. Maka dari itu, kami mencari terobosan apalagi tanah itu tidak berubah statusnya sebagai milik kasultanan. Itu pengakuan saja, toh di atasnya pemanfaatan tetap pemerintah desa.

Mengapa desa tidak diperbolehkan mengajukan sertifikasi tanah kas desa sejak 2017?

Tri Wibisono: Saya kok kurang mendengar hal seperti itu ya.

Dwi Purnama:  Kalau pemdes meyakini itu bukan tanah kasultanan atau kadipaten, pemerintah desa bisa membuktikannya, maka saya rasa tanah itu akan menjadi milik desa. Jadi sekarang permasalahan sebetulnya ada di pemerintahan, kasultanan/kadipaten, dan pemdes untuk mengkroscek data. Asalnya tanah itu dari mana? Apakah dari pembebasan dengan menggunakan APBD atau APBN? Ketika masih dari kasultanan, BPN tidak bisa melakukan sertifikasi atas nama pemerintah desa. Ini dilakukan agar tidak ada tumpang tindih. Kalau desa menjadi ragu atau sertifikasi tanah kas desa tidak jalan, ya tinggal identifikasi dan inventarisasi saja.

Jadi sertifikat lama dari tanah desa yang belum ada pencatatan itu sudah tak berlaku lagi?

Tri Wibisono: Tetap berlaku. Itu hanya penyesuaian saja melalui pencatatan. Yang awalnya “di atas tanah negara” menjadi “di atas hak milik tanah kasultanan”.

Ada dua sertifikat yg berlaku, tanpa pencatatan dan ada pencatatan atas nama kasultanan. Keduanya masih bisa digunakan?

Satu saja. Hanya saja yang satu itu diubah dalam kolom perubahan di dalam sertifikat itu. Lalu tulisan itu diganti menjadi “tanah hak pakai nomor sekian atas nama pemdes A di atas hak milik tanah kasultanan”. Sertifikatnya ya itu saja. Enggak ada sertifikat yang lain

Peralihan hak tanah harus berdasar ketetapan peradilan apa cukup kuat menggunakan dasar hukum juknis?

Tri Wibisono: Perlu dicermati dalam juknis itu bukan peralihan ya. UU Keistimewaan itu memberikan status kasultanan dan kadipaten itu badan hukum yang punya hak milik. Kepemilikannya tak bisa dialihkan dan beralih.

Dalam UUPA, tanah swapraja itu bekas kerajaan. Tapi untuk DIY itu tidak ada. Bukan tanah bekas swapraja. DIY itu tanah negeri. Nanti dilihat dalam Perda Nomor 5 Tahun 1954, kemudian diktum 4, bahwa tanah swapraja itu perlu ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaannya. Sampai sekarang belum ada. Maka dari itu, DIY tidak masuk dalam UUPA setelah diundangkan. Saya tekankan, tanah swapraja sebetulnya tidak ada (di DIY). DIY itu adanya tanah negeri.

Apakah kementerian sudah mengidentifikasi kasultanan itu badan hukum publik atau privat?

Tri Wibisono: Ini badan hukum khusus. Tidak ada publik atau privat. Perdebatan itu sudah diputuskan menjadi badan hukum khusus.

Sistem pertanahan di DIY berubah-ubah. Ada anggapan Kementerian ATR/BPN ini takut dengan kasultanan dan kadipaten. Bagaimana Anda menjawab itu?

Tri Wibisono: Enggak ada! Semua amanat undang-undang! Ini berdasar UU Nomor 13 Tahun 2012 yang memunculkan, bahwa kasultanan dan kadipaten itu badan hukum yang punya hak milik. Ini kan perlu diakomodir yang selama ini belum diakui. Kalau tidak diakomodir, BPN bisa disalahkan karena dianggap tidak menjalankan amanat UU.

Seharusnya dari UU itu, semua pihak memikirkan bagaimana PP-nya keluar. Tidak hanya BPN saja, termasuk menteri dalam negeri untuk mengatur tanah desa. Kebetulan BPN punya inisiatif lebih dahulu dengan membuat juknis. Kami bukan tidak tegas. Kami menindaklanjuti amanat undang-undang.


Demikian bagian akhir dari tiga liputan tim kolaborasi yang terdiri dari Jaring.id, Tirto.id, Kompas.com, Suara.com dan Project Multatuli. Artikel sebelumnya bisa Anda baca di tautan ini:

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.