Gelembung Dana Pengadaan Pelontar Gas Air Mata

Seorang pedagang pempek bernama Tony tidak bisa tidak kaget setelah mengetahui namanya tercantum dalam akta perusahaan PT Tri Manunggal Daya Cipta (TMDC). Perusahaan ini pernah memenangi pengadaan gas air mata untuk Kepolisian Indonesia pada 2022-2023 hampir sebesar Rp100 miliar.

Dalam dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang diperbarui 2022, nama Tony tertera sebagai komisaris PT TMDC. Dia tercatat memegang sebagai 11 ribu lembar saham setara Rp1,1 miliar. Sisa saham dimiliki direktur perusahaan, yakni Suwito Latifah dengan modal yang disetor Rp9,9 miliar.

Kendati demikian, Tony saat ditemui di kediamannya di kawasan Cipondoh, Kota Tangerang, Banten mengaku tidak tahu mengapa namanya tercatat sebagai pemilik perusahaan. Dia mengaku hanya berdagang makanan beku secara daring dari rumahnya.

“Kalau Bapak mau ngecek nama saya di online (bisnis daring miliknya) itu ada. Saya tidak terlibat apa-apa,” ujarnya saat ditemui sejumlah media yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI), yakni Jaring.id, Project Multatuli, Suara.com, Tempo, dan Narasi TV, bulan lalu. Peliputan ini kami lakukan sejak September 2024 lalu dengan pendekatan paper trail atau pelacakan dokumen yang terkait PT TMDC.

Pengadaan pelontar gas air mata pada 2022-2023 oleh PT TMDC sebelumnya dicurigai sejumlah organisasi masyarakat sipil (KMS) untuk reformasi kepolisian, di antaranya Indonesia Corruption Watch (ICW), mengalami penggelembungan harga hingga puluhan miliar. Oleh sebab itu, ICW melaporkan temuan tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal September 2024. PT TMDC diduga memperoleh anggaran besar dalam dua kali proyek pengadaan sebesar Rp99,78 miliar. Masing-masing Rp49,86 miliar pada 2022 dan Rp49,92 miliar pada 2023.

Guna menelusuri lebih jauh siapa sebetulnya yang berada di balik pengadaan itu, kami memulai dengan menelusuri pelbagai dokumen terkait PT TMDC. Perusahaan tersebut berdiri pada 1986 dengan modal Rp12,5 juta. Pada awal pendirian, pemegang saham perusahaan tercatat bernama Siti Romlah dengan kepemilikan 60 lembar saham senilai Rp6 juta. Sementara Chong Arnessen Bastian yang tercantum sebagai Direktur PT TMDC memiliki 55 lembar saham senilai Rp5,5 juta dan Ridwan Arifin Praha Surya selaku Komisaris PT TMDC tercatat memiliki 10 lembar saham senilai Rp1 juta. Baru pada Februari 2007, nama Siti Romlah tergeser oleh Suwito Latifah. Saat itu, Suwito tercatat sebagai Direktur PT TMDC dengan penguasaan sebesar 99 ribu lembar saham senilai Rp9,9 miliar.

Dengan informasi itu pula kami menyambangi sejumlah alamat yang tertera dalam akta perusahaan. Kali pertama tim jurnalis mengunjungi rumah Siti Romlah di wilayah Jakarta Selatan. Rini Kustiawati—anak Siti, adalah orang yang kami temui. Dalam pertemuan itu ia membenarkan adanya kedekatan ibunya dengan Suwito. “Dulu ibu emang rekanan Pak Suwito Latifah,” ungkap Rini.

Ibunya, menurut Rini, diajak oleh Suwito sebagai rekanan usaha. Suwito menginginkan agar Siti mencantumkan namanya sebagai pemilik saham di PT TMDC.  “Jadi setelah bapak meninggal tahun 1983, ibu diajak jadi rekanan. Tapi cuma namanya saja yang dipinjam. Setiap bulan ibu saya dapat, istilahnya honor dari Pak Suwito,” ungkapnya.

Setelah Siti Romlah meninggal pada 2014 lalu, Rini mengaku tak pernah berkomunikasi dengan Suwito. Ia juga tak tahu kegiatan usaha PT TMDC masih berjalan sampai saat ini. “Katanya dulu sih proyeknya pengadaan semacam baju-baju Polri. Terus apa lagi begitu, pokoknya banyak sih yang dipegang,” ujar Rini.

Namun, kata dia, hubungan keluarganya dengan Suwito maupun PT TMDC hanya melalui ibunya. Hubungan itu terjalin sejak Yaya Kuswaya—suami Siti, yang adalah anggota Polri berpangkat Letnan Kolonel atau AKBP meninggal pada 1983. Dari lima orang anak—empat di antaranya laki-laki, menurut Rini, tidak satu pun yang mengikuti jejak ayahnya menjadi polisi.

Sejak itu nama Siti raib dari akta perusahaan. Namanya digantikan oleh seseorang bernama Sonny Wibowo. Sampai berita ini terbit tim jurnalis telah berupaya melacak keberadaan Sonny, namun upaya tersebut belum membuahkan hasil. Sedangkan nama lain yang muncul dalam pusaran pengadaan gas air mata selain Suwito adalah Yosafat Sunaryanto dan Rivai Sinambela. Yosafat dan Rivai diketahui sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) saat proses pengadaan gas air mata dilakukan. Yosafat berposisi sebagai Kabag Inventaris Biro Peralatan Slog Polri, sedangkan Rivai membawahi Biro Pengadaan Barang/Jasa Polri.

Setelah dari kediaman Siti Romlah, tim jurnalis berupaya menemui Suwito di rumahnya yang terletak di Jalan Pluit Barat VIII, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Namun kami hanya mendapatkan rumah kosong. Sudah tiga tahun Suwito tak lagi tinggal di sana. Salah seorang tetangga yang kami temui menyebutkan bahwa Suwito telah pindah ke Pantai Indah Kapuk (PIK). Dari warga setempat pula kami mengetahui bahwa rumah tersebut kerap dikunjungi mobil berplat Polri, sekalipun Suwito bukan anggota polisi.

“Memang kadang-kadang dia sering datang dengan mobil berpelat polisi. Saya pernah melihat kalau itu,” ungkap warga setempat yang minta namanya disamarkan.

Mobil berpelat dinas Polri terparkir di rumah Direktur PT TMDC Suwito Latifah di Pluit Barat VIII, Penjaringan, Jakarta Utara pada 2018 berdasarkan hasil penelusuran Google Street View. [Dok. KJI]
Kunjungan polisi ke rumah Suwito juga terkonfirmasi dari hasil pemindaian Google Street View pada 2018. Saat itu terlihat mobil Pajero Sport hitam bernomor dinas Polri terparkir di depan rumah Suwito. Dari platform yang sama kami juga menemukan kendaraan ber plat nomor dinas Polri di PT TMDC.

Mobil Pajero Sport hitam berpelat nomor dinas Polri di Kantor PT TMDC pada 2018 berdasarkan hasil penelusuran Google Street View. [Dok. KJI]
Meski begitu, kami tak berhasil menemui Suwito dalam tiga kali upaya. Di samping menyambangi rumah, tim jurnalis juga mendatangi kantor PT TMDC di Jalan Muara Karang, Penjaringan, Jakarta Utara. “Perusahaan sudah tidak lagi beraktivitas dan Suwito Latifah tak pernah datang ke kantor,” ujar salah seorang pegawai. Ia menambahkan bahwa di dalam kantor saat itu hanya ada bosnya yang biasa dipanggil Cici Evi. Tim jurnalis telah meminta kesediaan Evi untuk wawancara, tapi ia menolak ditemui. Kami lantas menitipkan surat permohonan wawancara untuk Suwito.

****

Koordinator Pengelolaan Pengetahuan ICW, Wana Alamsyah menilai hasil penelusuran yang dilakukan tim jurnalis KJI memperkuat temuan lembaganya terkait dugaan korupsi pengadaan gas air mata Polri. Wana menduga pengadaan gas air mata ini sengaja disamarkan agar tidak mudah terdeteksi siapa yang melakukan praktik lancung tersebut. “Ini semakin jelas dengan bukti pernyataan anak Siti Romlah. Kalau Tony masih perdebatan. Karena bisa jadi dia dibuat atau dikondisikan untuk tidak mengaku dengan sejumlah insentif yang mungkin juga didapatkan Siti Romlah. Hanya, kita kan belum punya buktinya,” tutur Wana kepada KJI pekan lalu.

Sebelumnya, ICW menelusuri sekitar 45 paket pengadaan terkait gas air mata di Polri. Saat proses penelusuran, ICW menemukan adanya dugaan harga yang tidak masuk akal dalam pengadaan gas air mata pada 2022. Dalam dokumen pengadaan proyek tersebut tertulis adanya pembelian 187 paket pelontar gas air mata merek Byrna seharga Rp49,86 miliar.

Apabila dihitung secara sederhana, kata Wana, harga paket gas air mata ini terbilang amat mahal, sekitar Rp266,6 juta per unit. Padahal dalam katalog produk Byrna, harga satu unit pelontar gas air mata dengan tipe yang sama hanya US$479,99 atau Rp6,92 juta per unit berdasarkan kurs dolar Amerika Serikat pada saat pengadaan itu berlangsung. Dengan penghitungan itu, pengadaan senjata pepper projectile launcher sebanyak 187 unit seharusnya hanya Rp1,294 miliar, bukan Rp49 miliar lebih. ICW menduga ada kelebihan harga sekitar Rp48 miliar dari pengadaan tersebut. “Berdampak pada potensi pemborosan dan dugaan kemahalan harga sekitar 30 kali lipat,” kata Wana.

Dalam hal ini ICW sebetulnya sudah bersurat kepada Polri agar membuka secara rinci dokumen pengadaan. Tetapi permohonan itu ditolak dengan dalih dokumen pengadaan termasuk dalam kategori informasi yang dikecualikan.

Tim jurnalis juga telah menghubungi Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko dan Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho untuk klarifikasi sekaligus meminta agar Polri membuka data detail terkait paket pengadaan pepper projectile launcher 2022-2023, namun keduanya tak menjawab.

Meski begitu, Mabes Polri sempat memberikan klarifikasi atas tudingan tersebut pada 14 Juli 2023. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan—saat ini menjabat sebagai Wakapolda Lampung, menyebut kesalahan input angka dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sebagai biang kerok dalam pengadaan pelontar gas air mata. Ia mengklaim bahwa Polri membeli sebanyak 1.857 unit pelontar gas air mata, bukan 187 unit 187. “Itu telah diperbaiki ya. Ini bisa dilihat di aplikasi LKPP,” terang Ramadhan ketika itu.

Ramadhan juga merinci penggunaan dana sebesar Rp49,86 miliar dalam konferensi pers di Mabes Polri. Menurutnya, anggaran puluhan miliar itu dibelanjakan untuk membeli 1.857 senjata pepper projectile launcher tipe Byrna LE Launcher-Universal Kit seharga Rp17,56 miliar. Artinya, satu unit senjata pelumpuh massal itu dihargai Rp9,4 juta. Sisanya, sekitar Rp32,29 miliar digunakan untuk membeli alat pendukung berupa 2 unit extra magazine, kantong, holder, 55 unit amunisi bubuk lada, dan 55 unit amunisi bubuk lada dan gas air mata. Alat pendukung ini bermerek sama, yakni Byrna 10 CT 12 gram CO2 cartridges+oiler cartridges, Byrna 7-round magazine, Byrna Pepper and Max Projectiles, serta holster dan magazine pouch. “Tidak ada kelebihan pembayaran atas kegiatan pengadaan tersebut. Seluruh pekerjaan telah selesai dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 2022,” tegas Ramadhan.

Dengan begitu, harga yang disebutkan Polri sebetulnya masih selisih dengan harga produk yang didapatkan ICW melalui laman resmi Byrna Technologies. Wana mengungkapkan bahwa harga beli produk dengan spesifikasi yang disebutkan Mabes Polri masih terbilang mahal. Misal saja untuk harga Byrna LE Launcher-Universal Kit, dalam katalog resmi Byrna, harga asli produk ini hanya $479,99 setara Rp6,9 juta jika dikonversi ke Rupiah dengan kurs Februari 2022. Itu artinya masih ada selisih harga lebih mahal sebesar Rp2,5 juta dari harga yang diklaim Polisi per unit Rp9,4 juta.

Dalam hitungan ICW seharusnya anggaran yang diperlukan untuk membeli perangkat gas air mata hanya sekitar Rp38,97 miliar. Angka sebesar itu pun sudah mempertimbangkan komponen biaya tambahan, seperti administrasi 5 persen, ongkos kirim 5 persen, dan keuntungan 10 persen. “Jadi patut diduga pengadaan pepper projectile launcher tahun anggaran 2022 yang telah dilaksanakan oleh Polri terindikasi mark-up dengan kerugian negara sekitar Rp10,81 miliar,” terang Wana.

Penghitungan ICW dengan metode yang sama juga menemukan indikasi kelebihan harga sekitar Rp15,62 miliar dalam pengadaan alat yang sama pada 2023. Total unit pengadaan ketika itu sebanyak 1.564 unit, dengan asumsi harga satuan sesuai dalam website Byrna, ICW menghitung harga yang dikeluarkan Polri seharusnya hanya Rp34,29 miliar bukan Rp49,92 miliar. “Perhitungan keuntungan secara melawan hukum yang dirasakan oleh terlapor I (Suwito) setidak-tidaknya berjumlah Rp26,45 miliar,” terang ICW dalam laporannya kepada KPK.

Dalam hal ini, tim jurnalis KJI juga telah berupaya menghubungi Bryna Technologies guna memastikan harga jual produk dengan cara berkirim surat melalui e-mail. Eksekutif Vice President bidang Pemasaran Bryna, Etienne Roux menjawab pendek dengan meminta agar informasi tentang pengadaan maupun pembelian alat gas air mata ditanyakan kepada perusahaan PT TMDC. ”Please contact our distributor PT Tri Manunggal Daya Cipta Jakarta, Indonesia,” tulis Etienne pada Jumat, 1 Juni 2024.


Liputan ini merupakan hasil kolaborasi media yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI), terdiri dari Jaring.id, Suara.com, Liputan 6, Tempo, Narasi, dan Project Multatuli.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.