Kebun Sawit Malaysia Merembas Hutan Belitung  

Sunadi—bukan nama sebenarnya, tergemap. Air mukanya tak lagi tenang saat melihat papan penanda kawasan hutan di sekitar perkebunan sawit PT Steelindo Wahana Perkasa (SWP) dan PT Parit Sembada—anak usaha Kuala Lumpur Kepong Berhard (KLK)—lenyap, Kamis, 22 September 2022. Padahal saat itu, baru lepas dua hari terpasang di Desa Buding, Kelapa Kampit, Belitung Timur.

”Kami tidak tahu siapa yang bongkar. Pihak kehutanan atau perusahaan,” ucap mantan pekerja PT SWP setelah 10 menit mencari bekas jejak pencopotan papan perbatasan. Ia hanya mendapati kayu yang sebelumnya digunakan sebagai penyangga.

Penanda berbahan papan yang memisahkan lahan sawit dengan kawasan hutan sebelumnya sengaja dipasang Polisi Hutan bersama dengan Dinas Lingkungan Hidup Belitung Timur. Patok tersebut ditanam di titik koordinat S-2°45, 404, E107° 59, 936. Ini merupakan buntut dari penolakan warga terhadap perpanjangan hak guna lahan (HGU) dua perusahaan itu sejak 2017.  ”Ini kan hutan negara,” katanya sembari menunjukkan batas kawasan hutan yang seharusnya tidak ditanami sawit kepada Jaring.id dan Katadata, Selasa, 20 Desember 2022.

Di Belitung, perusahaan raksasa asal Malaysia ini memiliki beberapa anak usaha perkebunan sawit yang tersebar di Belitung Timur dan Tanjung Pandan. Dalam laporan perusahaan 2020 disebutkan total luasan lahan KLK di Indonesia hampir mencapai 114 ribu hektar. Dari sana perusahaan yang memiliki aktivitas produksi dari hulu ke hilir ini dapat menghasilkan 597.961 metrik ton CPO. Sedangkan pasarnya meliputi negara-negara di Asia dan Eropa, seperti Cina, India, Pakistan, Belanda dan Inggris.

Sebagian kecil lahan dari ratusan ribu hektar itulah yang ditandai sebagai kawasan hutan lindung. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.1940/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/4/2017, lahan sawit SWP dan PS masuk ke dalam hutan lindung Gunung Sepang. Sementara titik lain tersebar dari Desa Buding sampai perbatasan kebun Parit Sembada dan Steelindo.

Jaring.id sempat meniti tapal batas kawasan hutan lindung di Belitung selama seminggu. Dari sana kami mendapati sedikitnya 30 titik kawasan hutan yang sudah tertanami sawit. Jumlah luasan hutan lindung yang digunakan hampir mencapai 500 hektar. Terdiri dari Hutan Lindung Gunung Sepang seluas 388, 11 hektar, Teluk Pring-Bukit Nayo 92 hektar, dan Kik Karak mencapai 7,6 hektar.

Dalam amatan Jaring.id, kawasan hutan yang telah ditanami sawit terpisah jalur distribusi berupa tanah. Rentetan pohon sawit setinggi lima meter diperkirakan sudah berusia 15 tahun. Beberapa pekerja pun tampak memelihara sawit dari sisi jalan dengan cara memotong pelepah, sekaligus menaburkan pupuk. Tanpa menggunakan GPS, kita tidak akan bisa menemukan batas antara hutan dan perkebunan sawit. Medan jalan seakan menjadi pembatas antara keduanya. Hutan lindung berada di satu sisi, sementara sisi lainnya berupa kebun kelapa sawit.

”Tapi sekarang sudah dilepaskan. Dikembalikan ke Negara oleh PT PS dan PT SWP,” kata Kepala Desa Buding, Mardani saat ditemui di kantor Desa Buding pada, Rabu, 24 Desember 2022.

Warga Desa Buding, menurut Mardani, saat ini hanya bisa menunggu keputusan pemerintah terkait dengan pemanfaatan lahan sawit yang sudah kadung ditanami. Ia berharap perkebunan di atas kawasan hutan tersebut bisa dikelola oleh masyarakat. Kalau tidak, maka warga berkeras menolak perpanjangan HGU Steelindo dan Parit Sembada. ”Kami menunggu aturan dari pemerintah daerah. Mereka lagi koordinasi dengan provinsi mau diapakan dan digunakan untuk apa,” ujarnya.

 

Penolakan Masyarakat

Dua tahun lalu, Asosiasi Perangkat Desa Indonesia (APDESI) melaporkan dugaan perambahan hutan kepada Polisi Resort Beltim dengan Nomor Laporan LP B/369/II/2021. APDESI menduga perusahaan sawit asal Malaysia telah melanggar Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pengrusakan Hutan Lindung.

Penolakan warga terhadap perpanjangan HGU perusahaan di Desa Mayang, Kelapa Kampit, Senin, 26 Desember 2022. Foto: Jaring.id

Dalam proses pemeriksaan, Kepolisian menemukan sejumlah dugaan pelanggaran. Dua diantaranya terkait perambahan kawasan hutan tanpa mengantongi Izin Penggunaan Pemanfaatan Kawasan Hutan, serta pemanfaatan plasma.

AKBP Taufik ialah Kapolres Belitung Timur yang saat itu menangani kasus. Ia mengaku telah meminta perusahaan agar tidak melakukan aktivitas. ”Pada Desember kami minta perusahan stop (aktivitas). Suruh berhenti karena status quo,” ujarnya saat ditemui di rumah dinasnya, Kamis, 15 Desember 2022.

Namun, kata dia, perusahaan sempat bergeming. Akhirnya polisi melanjutkan proses dengan menjatuhkan sanksi administratif. Taufik menduga perusahaan melanggar Undang-Undang Cipta Kerja terkait dengan pemanfaatan kawasan hutan. Selain itu, polisi juga menilai perusahaan menyalahi UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Koperasi. ”Kami sanksi administratif cuma kan belum mau melakukan. Jadi tidak ada upaya membenahi diri,” kata Taufik.

Hingga saat ini, Kepolisian masih mendalami proses penyelidikan dan penyidikan kasus perambahan kawasan hutan. ”Saya akan tetap sampaikan ke pengganti saya,” kata Taufik yang saat ini telah dimutasi ke Polres Bangka.

Juru Bicara PT Steelindo Wahana Perkasa cum PT Parit Sembada, Ikhsan Nurhadi tak membantah adanya tumpang tindih antara hak guna usaha (HGU) dengan kawasan hutan. “Itu hanya sedikit dan berada di ujung. Itu yang tidak dipanen. Kami ragu apakah itu masuk HGU kita atau tidak. Kami sedang telusuri,” katanya saat ditemui di kantornya, Kamis, 24 Desember 2022.

Meski begitu, perusahaan menolak disalahkan dalam dugaan perambahan hutan. ”Bukan kami masuk ke kawasan hutan, tapi kawasan hutan bergeser ke hak guna usaha kami,” ia menegaskan. Demi kepastian hukum, baik PT SWP, maupun PT Parit Sembada tengah mengajukan klaim ke Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH). Kalau tidak mendapatkan solusi, maka pihak perusahaan akan mengajukan gugatan hukum. “Karena yang berhak menentukan persidangan. Kalau ada putusan inkrah yang memutuskan titik itu bukan HGU kita, maka kita lepas,” ungkapnya.

Selama belum ada keputusan tetap, Ikhsan berharap tidak ada pihak, baik pemerintah maupun warga yang mengklaim perkebunan sawit sebagai kawasan hutan. “Itu sempat dipasang, lalu kami jelaskan sedang proses klaim. Kami prosesnya melalui BPKH. Kami koordinasi dengan BPKH dan suratnya ditembuskan ke provinsi. HGU kita sedang ajukan klaim. Lalu dicabut lagi, dan lahan itu sedang proses pengajuan klaim,” jelasnya.

Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Kementerian ATR/BPN, Husaini mempersilahkan pihak perusahaan melayangkan gugatan hukum atas keputusan pemerintah. ”Silakan saja digugat. Itu malah bagus,” ujar Anjani saat ditemui di kantor ATR/BPN, Senin, 26 Desember 2022.

Pemerintah melalui Surat Keputusan Nomor 5/HGU/KEM-ATR/BPN/I/2023 tentang Perpanjangan Hak Guna Usaha PT Steelindo Wahana Perkasa Atas Tanah di Kabupaten Belitung Timur, Bangka Belitung menegaskan bahwa ratusan hectare lahan PT SWP terindikasi masuk kawasan hutan. Terdiri dari 487 hektar yang terbagi dalam 388 hektar beririsan dengan Hutan Lindung Gunung Sepang, lalu 92 hektar masuk Hutan Lindung Teluk Pring-Bukit Nayo, dan seluas 7,6 hektar beririsan dengan hutan Lindung Gunung Kik Karak.

Penetapan tersebut berdasarkan Surat Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan XIII, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 18 November 2020. Surat bernomor S.501/BPKH.XII-3/2020, menyebutkan bahwa Peta Lampiran Berita Acara Tata Batas Definitif Kawasan Hutan Lindung Gunung Sepang pada 17 Maret 1990 disahkan pada 24 Februari 1990. Hutan lindung di daerah ini ditetapkan seluas 173 hektar. Sedangkan lampiran peta definitif Hutan Lindung Teluk Prong Bukit Nayo pada 20 Maret 1995 seluas 111 hektar. Sementara izin HGU awal PT SWP baru terbit pada 1998.

 

Punah Satwa Akibat Sawit

Kepulauan Bangka Belitung merupakan pulau besar yang menjadi penghubung antara Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Selain memiliki industri logam, pulau seluas lebih dari 4.800 kilometer persegi ini memiliki kekayaan flora dan fauna, baik di daratan maupun perairan. Pulau ini juga menjadi habitat satwa dilindungi, seperti mentilin atau Tarsius Bangka, kukang, dan binturong. Namun, sejak timah pulau ini dieksploitasi sampai pembukaan lahan menjadi kebun sawit, hewan khas Belitung tersebut tak lagi banyak ditemui.

Pada Rabu malam, 28 Desember 2022, Jaring.id sempat mencari keberadaan mentilin mulai dari perbatasan lahan sawit sampai Hutan Lindung Gunung Sepang. Berjarak sekitar 79 kilometer dari perkebunan Steelindo Wahana Perkasa dan Parit Sembada, tim berada di Kawasan Hutan Peramun seluas 115 hektar. Hutan hujan tersebut memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah, namun perjalanan itu tak membuahkan hasil. Hanya tampak sekawanan monyet ekor panjang yang bergelantung dan sesekali mencari makan.

Sunadi yang sudah tinggal selama 54 tahun di Desa Buding, Kelapa Kampit, Belitung Timur pun mengaku sudah jarang melihat hewan endemik. Padahal dulu, ia sering menjumpai Tarsius Bangka. ”Sekarang kalau cari susah, tapi kalau kebetulan mungkin ketemu,” katanya.

Mentilin ialah satwa nokturnal bermata bulat. Mamalia terkecil ini hanya mudah ditemui pada malam hari sekitar Pukul 19.00-22.00 WIB . Sepanjang ia membuka mata, tampak selalu melotot. Bahkan ukuran matanya itu hampir sebesar keseluruhan otaknya. Bola matanya berdiameter sekitar 16 milimeter. Ia dikenal dengan nama ilmiah Cephalopachus bancanus atau Horsfield’s Tarsier, merupakan primata dari keluarga Tarsiidae. Ia adalah fauna identitas Provinsi Bangka Belitung, berdasarkan keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 522.53-958/2010.

Jauh sebelum perkebunan sawit dibuka, menurutnya, satwa asli Belitung tersebut kerap hilir mudik tak jauh dari desanya. Selain karena memiliki bendungan alami dan dialiri aliran sungai, bahan makanan tarsius, seperti jangkrik, serangga, nyamuk, hingga ulat pun terbilang melimpah. ”Sekarang sudah jadi lahan sawit, kebun sawit. Itu yang bikin cepat punah dan sulit ditemukan binatangnya,” kata dia.

Mardani, Kepala Desa Buding mengamini. Salah satu desa tua di Belitung ini kerap dijadikan tempat berkumpul satwa. Bahkan karena populasinya cukup banyak, satwa tersebut kerap diburu warga untuk disajikan sebagai konsumsi acara adat. ”Satwa masih bisa ditemukan di hutan kawasan lindung, tapi jaraknya bisa 15 kilometer dari desa,” katanya.

Tarsius Bancanus, salah satu satwa endemik asli Bangka Belitung di Hutan Parumaan, Belitung, (28/12). Foto: Jaring.id

Menurut Lembaga Konservasi Dunia (IUCN) populasi Tarsius tak pernah diketahui. Hal itu membikin IUCN menempatkan mentilin sebagai satwa endemik yang masuk daftar merah dengan status terancam punah. Oleh CITES, tarsius juga dimasukkan dalam daftar Apendiks II. Sedangkan Indonesia melindungi hewan endemik melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.

Sementara dalam riset yang dirilis Pusat Studi Primata Institute Pertanian Bogor (IPB) dinyatakan bahwa pada 2007 keberadaan Tarsius Belitung tak lebih dari 19-46 ekor per kilometer persegi.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Belitung, Junaidi menyebut penurunan populasi tarsius diakibatkan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, pertambangan, dan perburuan. “Umumnya bukaan lahan perkebunan,” ujarnya saat ditemui di kantornya, Desember 2022.

“Untuk perlindungan kami lakukan sosialisasi ke masyarakat dan perusahaan terkait dengan satwa dilindungi,” ia menambahkan.

Menyadari ancaman kepunahan tersebut, masyarakat Desa Buding mendesak agar perusahaan sawit tidak lagi merambah hutan, serta melakukan penghijauan kembali kawasan hutan. ”Kami lindungi kami sampaikan kepada desa maupun sekitar Desa Buding untuk menjaga. Kami ada kegiatan kegiatan hutan desa ada membuat penangkaran satwa dilindungi seperti rusa, kijang, dan tarsius,” ujar Mardani.

Untuk menyelamatkan satwa endemik tarsius yang tersisa, pendiri kelompok masyarakat hutan Parumaan, Adong menyatakan bahwa masyarakat sudah mengajukan izin pemanfaatan kawasan konservasi dan wisata alam pada 2013 ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Izin kemudian dikeluarkan pada 2014. Salah satu yang coba dilakukan untuk menjaga kelestarian Tarsius ialah membagi zonasi menjadi 4 zona.

Zonasi 1-3 diperuntukan untuk pengamatan tarsius dan satwa liar untuk keperluan edukasi dan wisata. Sementara zonasi 4 diperuntukan untuk penelitian. Saat mengunjungi salah satu zona, Jaring.id mengamati secara langsung keberadaan tarsius pada malam hari. Sekitar 1 jam menunggu, tarsius muncul di antara ranting pohon. Ia tak banyak bergerak. “Kami masih lepas liar di alam,” kata Adong.

Bagi Adong dan masyarakat Desa Peramun, keberadaan tarsius dan hutan mampu memberikan nilai ekonomi dan kelestarian hutan. Nilai ekonomi, didapat dari minat wisata yang ingin mempelajari satwa langka yang tersisa di Belitung. Tak hanya itu, masyarakat di sekitar hutan juga dapat membuka kantin yang menjual aneka penganan.

Sementara hutan, kata Andong, perlu dijaga agar masyarakat masih dapat menikmati udara dan air. Selain itu, kawasan hutan Belitung juga terkenal dengan batuan granit, dan menjadi tempat dari 147 jenis pohon. Mulai dari kayu ulin, hingga pohon yang dimanfaatkan untuk obat. Selain itu, ada juga 15 jenis ikan, satu di antaranya Ikan Sembubu yang menyerupai Kerapu, tapi berukuran lebih kecil dan hidup di sungai. Ikan tersebut masuk kategori ikan langka. Hutan Belitung juga menjadi rumah bagi 24 burung, 2 primata, dan 8 jenis ular. “Hutan ialah identitas kami sebagai tempat hidup dan berkehidupan,” pungkasnya.

 


 

Tulisan berjudul “Kebun Sawit Merembas Hutan Belitung” ini adalah bagian pertama dari 4 artikel mengenai tumpang tindih lahan sawit di Belitung. Jaring.id berkolaborasi dengan Katadata.co.id, dan Malaysiakini.com menerbitkan peliputan ini berkat dukungan dari The Rainforest Journalism Fund (RJF), Pulitzer Center. Simak cerita selanjutnya, esok.

Jejak Alat Sadap Israel di Indonesia

Perangkat keras berlabel Cisco Router dan Dell Server yang dikirim oleh Q Cyber Technologies Sarl, Luksemburg—induk usaha pembuat perangkat lunak penyadapan bernama Pegasus, NSO Group,

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.