DPR Setuju Amnesti Saiful Mahdi

Tangis Dian Rubianti tak terbendung saat mengetahui permohonan amnesti yang diajukan suaminya, Saiful Mahdi disetujui Presiden Joko Widodo. “September menjadi tanggal yang sedih dan memilukan karena bersamaan dengan hari pendidikan,” kata Dian menyikapi pemberian amnesti melalui konferensi pers daring, Rabu, 6 Oktober 2021.

Saiful ialah salah satu korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) ini dipenjara di Lapas Kelas IIA Banda Aceh pada 2 September 2021 setelah bolak balik pengadilan dan kasasinya ditolak Mahkamah Agung (MA). Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan vonis tiga bulan penjara pada 21 April 2020 lantaran mengkritik proses penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Unsyiah. Saiful dianggap melanggar pasal pencemaran nama dalam UU ITE.

Sebulan lebih sejak Saiful ditahan pada Kamis, 2 September 2021, Presiden Jokowi akhirnya mendengar permintaan keluarga dosen ini dengan memberikan amnesti kepada Saiful. Persetujuan itu bahkan sudah diterima Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak 29 September 2021 lalu. “Kemenkopolhukam bergerak cepat. Saya tidak menduga akan mendapat dukungan publik besar. Saya berhutang pada publik,” ujar Dian.

Baca juga: Beri Saiful Mahdi Amnesti

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menyatakan bahwa proses pengajuan amnesti ke presiden berlangsung cepat. Pengajuan itu diproses setelah Mahfud berbicara dengan Dian. “Alhamdulillah kita bekerja cepat. Karena setelah dialog saya dengan istri Saiful Mahdi dan para pengacaranya tanggal 21 September. Besoknya saya rapat dengan pimpinan Kemenkumham dan pimpinan Kejaksaan Agung. Lalu pada 24 September saya lapor ke presiden dan bapak presiden setuju untuk memberikan amnesti,” ujar Mahfud kepada pers di Jakarta pada Selasa 5 Oktober 2021.

Dalam prosesnya, menurut Mahfud, mengacu pada Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, presiden harus mendengarkan sikap dari anggota dewan sebelum memutuskan pemberian amnesti. Jika tidak ada hambatan, Saiful Mahdi dapat menghirup udara bebas sebelum masa tahanannya habis pada Desember nanti. “Sekarang kita tinggal menunggu tanggapan DPR, Yang pasti, dari sisi pemerintah, prosesnya sudah selesai” kata Mahfud MD.

Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi ini menegaskan bahwa pemberian amnesti merupakan komitmen pemerintah untuk tidak terlalu mudah menghukum seseorang dengan menggunakan UU ITE. “Kita ingin restorative justice. Kasus ini hanya mengkritik bukan personal. Karena itu, menurut saya layak dapat amnesti. Makanya kita perjuangkan,” tambahnya.

Sementara itu, hari ini, Kamis, 7 Oktober 2021, DPR menyetujui pemberian amnesti kepada terpidana kasus pencemaran nama baik, Saiful Mahdi. Amnesti tersebut disetujui dalam Rapat Paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar. “Sehubungan dengan keterbatasan waktu, urgensi surat tersebut dan mengingat DPR akan memasuki masa reses, saya meminta persetujuan dalam rapat paripurna ini. Terhadap permintaan pertimbangan presiden kepada DPR RI tersebut, apakah permintaan amnesti tersebut sebagaimana surat presiden dapat kita setujui?” tanya Muhaimin.

Seluruh anggota yang hadir pun menjawab setuju, sehingga Muhaimin mengetok palu. Ia mengatakan akan segera memberikan jawaban tertulis kepada presiden. Presiden Jokowi selanjutnya dapat menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) pemberian amnesti kepada Saiful Mahdi.

Amnesti yang disetujui Presiden Jokowi dan DPR, bagi Dian, tak sekadar surat pengampunan melainkan bukti perjuangan mempertahankan nilai-nilai yang dipegang oleh Saiful dan keluarganya sejak kasus ini bergulir. “Amnesti ini punya arti penting, yakni semangat perjuangan atas nama rakyat. Jika amnesti ini diberikan penegakan hukum dan pemerintah tidak membiarkan kebenaran dibungkam. Saiful Mahdi bukan kriminal,” kata Dian.

Meski bersyukur atas amnesti presiden, menurutnya, pengampuan saja tidak cukup bagi para korban UU ITE. Ia mengaku tidak ingin pasal-pasal yang sama menjerat keluarga lain. Oleh sebab itu, pemerintah maupun DPR perlu segera merevisi pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE. “Semoga suara saya dan korban UU ITE bisa didengar orang dewan dan bisa revisi untuk menegakkan rasa keadilan. Perjuangan masih panjang insyaallah kalau kita berjuang untuk kebenaran kita akan menang,” ungkapnya.

Baca juga: Empat Tahun Menunggu Kepastian Hukum

Pengamat hukum tata negara Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin menilai pemberian amnesti kepada Saiful berarti banyak bagi kebebasan akademik. “Ini bukan soal berapa hari dipidana, bukan soal itu. Ini soal kebebasan akademik,” kata Zainal Arifin, Rabu 6 Oktober 2021.

Menurutnya, kritik yang dilontarkan Saiful tak terlepas dari kebebasan akademik, sehingga presiden maupun DPR perlu berlaku adil. Apalagi tidak, maka kasus-kasus lain yang akan mencederai kebebasan akademik akan sulit dihindari. “Namanya kebebasan akademik harus dijaga, politik hukum ketatanegaraan harus dijaga, presiden sangat mungkin melakukan itu kebebasan akademik mimbar kebebasan berekspresi,” ujarnya.

Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Profesor Sulistyowati Irianto sependapat dengan Zainal. Kata dia, pemidanaan terhadap dosen merupakan tindakan yang bertentangan dengan kebebasan akademik dan esensi dari keberadaan universitas yang mengedepankan semangat pengetahuan. “Kejadian Pak Saiful menunjukkan kebebasan akademik belum menjadi spirit,” ujar Sulistyowati saat menyampaikan dukungan kepada Saiful melalui daring, Rabu 6 Oktober 2021.

Ia menilai apa yang disampaikan Saiful dalam ruang percakapan daring di grup Whatsaap merupakan hal yang wajar. Pasalnya ketika universitas menerima dosen PNS yang tidak kompeten, maka yang dirugikan bukan hanya kampus, tetapi juga negara. “Ini menjadi perhatian besar dari Sabang sampai Merauke terutama di universitas agar tidak mengulangi lagi,” ujarnya.

 

Amnesti Bukti UU ITE Bermasalah

Ketua Paguyuban Korban UU ITE, Muhammad Arsyad mencatat penambahan kasus terkait UU ITE sejak pemerintah menerapkan SKB tentang pedoman kriteria implementasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Kasus Stella Monica masih dalam proses persidangan,” ujar Arsyad merujuk kasus yang menimpa konsumen klinik kecantikan di Surabaya. Stella diduga melakukan pencemaran nama baik karena mengeluhkan kondisi wajahnya di media sosial setelah melakukan perawatan kulit.

Baca juga: Tak Terkira Parahnya Dampak UU ITE

Hingga 2020 lalu, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat sebanyak 768 perkara kasus UU ITE. Kebanyakan dari korban ialah warga biasa, ibu rumah tangga, akademisi, aktivis dan jurnalis. “Meski UU ITE pernah direvisi pada 2016 tapi dampaknya masih banyak, DPR mesti tinjau ulang lebih besar dengan menghapus pasal-pasal bermasalah d UU ITE,” katanya.

Sedangkan 70% dari pelapor merupakan kalangan pejabat publik (38%), kalangan profesi (27%) dan pengusaha (5%), sedang sisanya adalah sesama warga (29%) dan tidak jelas latarnya (1%). “Kami berharap DPR dan pemerintah membahas UU ini kami tidak ingin ada pak Saiful mahdi lainnya. Nanti sedikit-sedikit presiden mengeluarkan amnesti masalah ini akan tumbuh terus kalau pasal bermasalah masih ada,” tegas Arsyad.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pun mendesak pemerintah dan DPR segera menghapus pasal-pasal bermasalah yang mengancam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi yang masih tertera di RUU KUHP dan RUU ITE. AJI mencatat sedikitnya ada 8 pasal bermasalah, antara lain Pasal 27 ayat 3 tentang defamasi atau pencemaran nama baik. Pasal ini menjerat Pemimpin Redaksi Metro Aceh Bahrul Walidin pad 24 Agustus 2020 dan Tuah Aulia Fuadi, jurnalis Kontra.id di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara. Sementara Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian pernah menjerat jurnalis Banjarhits.id/Kumparan di Kalimantan Selatan, Diananta Sumedi. Ia divonis 3 bulan 15 hari penjara karena beritanya berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel.”

Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrim mengatakan, pasal bermasalah di UU ITE mengancam ruang gerak jurnalis karena menyangkut tindakan-tindakan seperti, menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum. “Semua tindakan itu merupakan karakter dari pekerjaan jurnalis, yaitu menginformasikan kepada khalayak luas,” kata Sasmito melalui keterangan tertulis pada Rabu, 6 Oktober 2021.

Oleh sebab itu, AJI mendesak agar DPR dan pemerintah transparan serta mendengar dan melibatkan masyarakat ketika melakukan pembahasan revisi UU ITE, maupun KUHP yang dapat mengancam proses demorkatisasi. “Pasal ini akan dengan mudah dipakai oleh orang yang tidak suka kepada jurnalis untuk memprosesnya secara hukum, dengan dalih yang mungkin tidak kuat dan gampang dicari,” ujarnya.

Baca juga: Sampai Presiden Anulir Jerat UU ITE

Pengamat hukum tata negara, Zainal Arifin mendorong agar pemerintah maupun anggota dewan mengevaluasi secara berkala undang-undang yang tidka relevan dan efektif, termasuk UU ITE. Sebab, kata dia, selama ini pemerintah dan parlemen tidak pernah melakukan evaluasi seluruh regulasi yang bermasalah. “Harus punya pola evaluasi UU yang tidak berjalan efektif. Di beberapa negara 2 tahun ada evaluasi apakah ada punya daya guna, daya ikat untuk mengatur masyarakat,” ujarnya.

Menurutnya evaluasi UU ITE sangat penting untuk memberikan rasa keadilan dan mencegah munculnya korban-korban baru. “Evaluasi undang-undang belum berjalan efektif. Itu kenapa kita perlu ubah politik hukum menjadi politik legislasi dengan mengubah UU ITE,” kata dia.

CITES Berburu Data Perdagangan Hiu Indonesia

Surat review of significant trade (RST) dari Sekretariat CITES—lembaga yang mengurusi konvensi perdagangan internasional spesies satwa dan tumbuhan liar terancam punah, dilayangkan ke Kementerian Lingkungan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.