Layar komputer jinjing milik Baiq Ratu Nurwahidah Vazira dihidupkan. Baterai di layar tersisa sekitar 10 persen. Artinya daya laptopnya cukup digunakan untuk berselancar sejenak ke ruang siber. Lalu ia mengetik “aupairworld.com” sebagai situs tujuan. Situs yang diklaim sebagai program pertukaran budaya tersebut menampilkan foto sejumlah warga Indonesia dan mereka yang berasal dari negara-negara di Asia. Sedetik kemudian Ratu mengklik kolom register agar bisa memuat fotonya sebagai au pair pada 2022 lalu.

”Saya langsung register karena mau ke luar negeri, tapi minim budget. Jadi saya coba au pair,” ujar Ratu saat diwawancarai Jaring.id dan Rappler.

Dalam bahasa Perancis, au pair artinya saling membantu. Jadi, siapa yang bekerja sebagai au pair harus bersedia membantu kegiatan rumah tangga, serta mengurus anak majikan atau biasa disebut host family. Sebagai imbalan mereka akan mendapatkan tempat tinggal dan makan gratis, serta memperoleh uang saku. Lewat situs berslogan simply, safely, and directly ini diketahui ada sebanyak 2 juta orang di 190 negara mendaftar menjadi au pair

Perempuan asal Lombok, Nusa Tenggara Barat ini mengaku sudah sejak lama memimpikan pergi ke benua biru. Bukan untuk melancong saja, tetapi ingin melanjutkan sekolah, bertukar budaya, juga bekerja.

Pada Oktober 2022 lalu Ratu mendapatkan host family yang akan menampung dia di Belanda. Mereka bertukar telepon, selanjutnya berkomunikasi melalui video call Whatsapp. Dalam perbincangan itu Ratu ditanya seputar kemampuan bahasa Inggris, pengalaman kerja, hingga proses administrasi. Sejak itu, Ratu bertekad untuk menyambangi ibu kota Belanda, Amsterdam. ”Tapi transportasinya bayar sendiri. Untuk mengurus visa juga kena sekitar Rp 2 juta,” ungkap lulusan Universitas Mataram.

Tak lama setelah perbincangan tersebut, Ratu berangkat dari Jakarta menuju Badhoevedorp, Kota Amsterdam, Belanda. Sesampainya disana ia dijemput oleh host family yang tidak mau ia beberkan identitasnya dengan alasan privasi. ”Hari pertama dan kedua belum kerja, diajak jalan-jalan dulu,” ungkapnya. Dalam dua hari itu ia sempat bertemu dengan Nanicare—sebuah perusahaan yang mengurus agen au pair di Belanda.

”Di Belanda katanya wajib pakai agensi. Kalau nggak pakai agensi bisa dianggap ilegal. Jadi host family memberikan kontak agensi yang dihubungi untuk pengurusan kontrak,” kara Ratu.

Dari agensi ini lah Ratu memperoleh dokumen yang isinya membahas kontrak kerja. Mulai dari waktu kerja selama 8 jam sehari, hingga upah atau biasa disebut pocket money sebesar 400 euro atau setara Rp6,8 juta per bulan. Dalam kontrak juga tertera klausul mengenai hari libur tahunan selama dua pekan. Sementara pekerjaanya utamanya di Belanda ialah mengurusi 2 anak pemilik rumah yang masing-masing berumur 4 tahun dan 2 bulan. ”Saya kerja dari jam 6 pagi. Jaga bayi dibantuin adik perempuan host family. Kerja sampai jam 5 sore sampai host family pulang kerja,” jelasnya.

Mula-mula Ratu merasa kerasan bekerja sebagai pengasuh anak. Namun, kondisi itu berubah selepas 2 pekan bekerja. Perubahan itu, menurut Ratu, diawali saat dia mengeluhkan jam kerja yang bisa mencapai lebih dari 12 jam sehari. ”Ada yang tidak sesuai kontrak. Ada misunderstanding. Host family mengira kerjanya itu dari pagi sampai sore. Host family mengira kalau jeda sholat dan makan tidak dihitung jam kerja,” kata Ratu.

Menurut Ratu, permasalahan mengenai jam kerja ini memuncak ketika host family melihat sang anak ditinggal Ratu yang tengah beribadah. Ia dianggap tak becus merawat hanya karena bayi usia dua bulan tersebut menangis. ”Mereka mulai menunjukkan perasaan mungkin anaknya nggak diurus. Karena pas host family pulang saya sedang shalat,” kata dia.

Setelah itu Ratu menghubungi pihak agensi. Mereka kemudian menghubungi host family untuk membicarakan ulang kontrak kerja. Sejak saat itu pula Ratu dianggap bak orang asing di rumah tersebut. ”Setelah itu jam kerjanya memang jadi lebih longgar, tapi sejak saat itu mereka mulai kelihatan tidak suka sama au pair. Suasananya sudah beda. Biasanya disapa setiap pagi, setelah itu nggak lagi,” ungkapnya.

Tak lama pemilik rumah memanggilnya. Mereka mempertanyakan tujuan Ratu mengikuti au pair. Dengan enteng Ratu menjawab untuk kegiatan pertukaran budaya, sesuai dengan slogan Au Pair World. Seminggu setelahnya, pihak agensi Nanicare berupaya memulangkan Ratu ke Indonesia. ”Saat itu saya malah dituduh mau melanjutkan kuliah dan tinggal di sana. Kepulangannya juga sangat tidak formal. Mereka ingin saya pulang. Intinya, dikasih waktu selama 1 minggu untuk siap-siap pulang. Akhirnya dipaksa pulang,” jelasnya.

Setibanya di Indonesia pada Februari 2023, pihak agensi sempat menghubungi Ratu untuk meminta salinan passpor. Namun pemerintahan itu tak digubris oleh Ratu. ”Aku nggak kasih. Sepertinya mereka mau blacklist saya dari au pair,” kata Ratu.

***

Ratu adalah satu dari sekitar 2.6137 au pair Indonesia yang tercatat di aupairworld.com. Sejak Oktober lalu kami sedikitnya mewawancarai puluhan au pair asal Indonesia. Mereka tinggal di sejumlah negara Eropa, seperti Prancis, Jerman, dan Inggris. Sebagian besar dari narasumber yang kami wawancarai memilih pergi ke Eropa guna mendapatkan pengalaman bekerja di luar negeri. Menurut mereka, tidak semua au pair berakhir tragis seperti dialami Ratu, juga Suri.

Ermina salah satu au pair yang tidak mengalami kisah pahit. Ia malah mengaku bersyukur bisa mendapatkan pengalaman bekerja di luar negeri lewat program pertukaran budaya. Sejak empat tahun lalu ia tinggal di Islandia. Dari program au pair pula ia bisa melanjutkan kuliah dengan kemurahan hati pemilik rumah. ”Selain itu mendapat income yang jumlahnya berbeda dengan gaji di Indonesia. Lumayan untuk kehidupan di Indonesia yang lebih dari cukup. Tidak enaknya, kita tidak bisa pulang ke Indonesia, tidak bisa vacancy,” ujar Ermina.

Sementara Dwi Rahayu yang sebelumnya mendaftar sebagai au pair lewat Yayasan Au Pair Indonesia Jerman (YAIJ) memilih mengurungkan niatnya. Bukan karena tidak ingin, tapi karena proses pengiriman au pair tak pasti.  ”Saya mundur,” kata Dwi kepada Jaring.id dan Rappler pada September 2023.

Dwi sedikitnya sudah merogoh uang sampai Rp17 juta untuk membiayai kelas Bahasa Jerman, sampai mendapatkan sertifikat A1/A2. Sertifikat A1 merupakan kredensial internasional bagi seseorang yang memiliki kemampuan dasar bahasa Jerman. Sementara pemegang sertifikat kemampuan Bahasa A2 dianggap mahir. Tanpa itu, Dwi tidak bisa bertolok ke Jerman. ”Itu tidak termasuk biaya ujian tes, visa, passport. Itu hanya les dan proses penyaluran,” jelasnya.

Selama mengikuti kelas menjadi au pair, perempuan kelahiran Jakarta ini diimingi-imingi pelbagai hal, seperti kemudahan mendapatkan keluarga asuh dan visa. ”Dicarikan host family-nya. Dibantu untuk proses visanya, juga dibantu untuk menulis motivation letter,” ujarnya. Namun, kata Dewi, visa yang ditunggu-tunggu tak kunjung terbit sekalipun ia sudah menuntaskan kelas bahasa. ”Banyak juga yang begitu, dan saat menanyakan perihal visa, tapi tiba-tiba saya dikeluarkan dari WAG,” ujarnya.

Tim kolaborasi telah menghubungi salah satu agen au pair di Indonesia, antara lain Yayasan Aupair Indonesia Jerman (YAIJ). Pihak YAIJ menjelaskan bahwa mereka telah berpengalaman selama 10 tahun sebagai agen penyalur untuk membantu ratusan pemuda-pemudi Indonesia untuk bisa kuliah/bekerja di Eropa.

YAIJ merupakan lembaga yang terdaftar resmi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan nomor register AHU-0083232.AH.01.11 dengan nama PT YAIJ Solusi International. Yayasan ini menjamin peserta lulus ujian GOETHE/IFI, mendapatkan Gas Family.Betrieb/Uni, serta menjamin keberangkatan ke Eropa. ”Mewujudkan itu YAIJ melakukan kerjasama dengan berbagai pihak luar,” tulis YAIJ dalam biografinya.

Pihak luar yang dimaksud ialah lembaga penyedia jasa keuangan, guru Bahasa Jerman, Prancis, bergabung dengan International Au Pair Association (IAPA) yang berbasis di Munich, Jerman, serta bekerja sama dengan kurang lebih 20 agen di Eropa.

Dalam penelusuran di keanggotaan IAPA, nama YAIJ terdaftar dengan status full membership. Dalam keterangan yang ditulis IAPA di laman websitenya dijelaskan setiap anggota diharuskan membayar sekitar 700-800 Euro atau setara dengan Rp11.762.947 – Rp13.433.368 per 25 Oktober 2023. Pembayaran dilakukan selama satu tahun sekali.

Keuntungan menjadi anggota IAPA ialah mendapat akses ke jaringan au pair internasional, hingga diakui sebagai agen berkualitas. Tim mencoba melakukan konfirmasi kepada YAIJ, namun hingga tulisan ini tayang tak ada balasan. Begitu pula ketika tim menyambangi kantornya di Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Kantor serupa rumah tersebut berlantai tiga. Masing-masing lantai ada yang berfungsi sebagai kantor administrasi, sedangkan yang lain disulap menjadi kelas bahasa asing. Saat itu, sedikitnya ada 7 orang yang sedang mengikuti kursus Bahasa Inggris. YAIJ membandrol biaya kepesertaan sekaligus ujian seleksi sebesar Rp500 ribu. Selain Jerman, YAIJ juga bisa mengirimkan seorang au pair ke Prancis. ”Kami menggaransi peserta au pair bisa ke luar negeri,” kata Dwi, seorang konsultan YAIJ.

Agen lain adalah aupair.com. Perusahaan ini tak berdomisili di Indonesia. Dalam situs aupair.com tertera alamat perusahaan berada di 50825 Köln, Jerman. Sementara di Amerika Serikat, perusahaan ini berada di 837 Whalley Avenue New Haven, CT 06515, USA. Mereka beroperasi melalui platform digital, au pair.com. Meski begitu, perusahaan yang telah berdiri sejak 1999 ini justru tak terdaftar sebagai anggota IAPA. Tim mencoba menghubungi pihak perusahaan, namun hingga tulisan ini tayang tak ada tanggapan.

Sementara, agen lain yang juga terlibat penyaluran orang Indonesia ke luar negeri ialah aupairworld.com. Perusahaan asal Jerman ini mengaku telah memberangkatkan ribuan orang Indonesia untuk memperoleh pekerjaan di luar negeri. Perusahaan ini menjajakan host family di aplikasi yang dibuat. Setiap host family dikenakan biaya sekitar 1000 Euro atau setara Rp 16.8 juta untuk bisa mendaftarkan diri. Dari aplikasi itu, para au pair dapat memilih keluarga asuh yang cocok. Perusahaan ini diduga meraup untung dari biaya pendaftaran sebesar 200.000 Euro atau sekitar 3.3 miliar lebih per tahun.

Penelusuran yang dilakukan melalui northdata.com, perusahaan ini dimiliki oleh Heike Fischer, Uwe Regenbogen, dan Regina Jakon melalui perusahaan JWS Immobilien GmbH. Perusahaan berdiri sejak 2012. Awalnya bergerak bidang penyaluran jasa au pair di seluruh dunia, namun pada 2015 perusahaan mendapatkan suntikan dana sebesar 30.000 Euro atau sekira Rp 5 miliar yang kemudian mengganti namanya menjadi Au pair world Gmbh. Dari suntikan dana itu, perusahaan disinyalir mengembangkan sektor bidang investasi.

”Penyediaan layanan dan penjualan produk kepada au pair, tuan rumah keluarga dan mereka yang tertarik dengan au pair dari penempatan atau  mediasi mandiri hingga akhir masa tinggal au pair. Objek dari  perusahaan juga mencakup investasi dari semua jenis yang dapat dibuat dari  aset sendiri,” tertulis di Northdata.

Keuntungan yang diperoleh Au Pair World dari bisnis ini berfluktuasi. Pada 2016 perusahaan memperoleh keuntungan sekitar 200.000 Euro atau bila di Rupiahkan setara 3,3 miliar. Dua tahun kemudian pada 2018 memperoleh hampir Rp7,7 miliar (453.023 Euro). Setahun setelahnya turun menjadi 253.777 Euro, setara dengan Rp4.3 miliar. Sedangkan pada 2020 menjadi 91.242 Euro, dan 2021 turun drastis menjadi minus 270,251 Euro atau Rp4.5 miliar.

Sementara aset keseluruhan perusahaan tercatat mengalami peningkatan. Pada 2015 totalnya mencapai 1,2 juta Euro, 1,2 juta Euro (2016), 779 ribu Euro (2017), 1,09  juta (2018), 900 ribu Euro (2019), 868 ribu Euro (2020), dan meningkat lagi menjadi 1,4 juta Euro pada 2021.

Tim sudah menghubungi aupair.com maupun aupairworld.com, namun hingga saat ini pihak perusahaan tak memberikan tanggapan. Tim telah mengirimkan surat eletronik melalui email dan menghubungi melalui telepon, namun tak direspon.

 


Cerita berjudul “Bermimpi Mujur dari Tanah Eropa” merupakan bagian kedua dari 4 artikel yang membahas problematika orang-orang Indonesia ketika menjadi au pair. Sebelummnya, kami menerbitkan Lara Au Pair dalam Penampungan Keluarga Asing.”

Atas dukungan Jurnalism Fund kami mengerjakan naskah ini pada pertengahan tahun lalu berkolaborasi dengan media Belanda, OneWorld.nl. Tulisan ini juga akan terbit di serbukindonesia.org dan media asal Filipina, Rappler.


Tim Kolaborasi

Penanggung Jawab: Kholikul Alim (Jaring.id)

Reporter: Abdus Somad, Sonya Andomo, Asmariyana (Indonesia); Sarah Haaij (Belanda)

Penyunting: Damar Fery Ardiyan (Jaring.id)

Ilustrasi: Ali (Jaring.id)

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.