Lara Au Pair dalam Penampungan Keluarga Asing

Orang Indonesia, termasuk yang berasal dari negara Asia lainnya, seperti Filipina terjebak dalam transaksi eksploitatif, mulai dari kerja tanpa upah layak, dan jam kerja yang teramat panjang selama mengikuti program au pair di negara Eropa. Belum lagi mereka harus bertahan dengan cacian dan tindak kekerasan. Jika beruntung, seorang au pair akan mendapatkan kursus bahasa negara tujuan, fasilitas transportasi, sampai dibiayai kuliah. 

Suri (26) tiba di Belanda melalui Bandara Schiphol Amsterdam pada akhir September 2022 lalu. Ketika itu di Belanda sudah masuk musim gugur. Cuacanya sejuk, sehingga dianggap waktu terbaik bagi pelancong. Namun tidak bagi Suri. Perempuan asli Temanggung, Jawa Tengah ini segera merasa kedinginan. Jaket tipis dengan celana panjang berbahan jeans yang ia kenakan dari Indonesia tak mampu menangkal udara sejuk bulan September itu. Badannya berangsur ngilu. Pun kepalanya berat pascaterbang melintasi zona waktu berbeda. Sedangkan di luar bandara, mobil jemputan yang dijanjikan keluarga angkatnya di Belanda tak kunjung datang.

“Saya menunggu hampir 10 jam di bandara tanpa menggunakan pakaian yang cukup hangat,” ungkap Suri mengingat kejadian lebih dari setahun lalu.

Setibanya di rumah ia diberi jaket. Bukan jaket baru melainkan jaket apak bekas milik au pair sebelumnya. “Saya orang kelima yang menjadi au pair di sana. Tiganya orang Filipina dan duanya saya dan orang Indonesia,” katanya.

Perempuan lulusan kampus negeri di Yogyakarta ini terbang ke Belanda lewat program pertukaran budaya atau biasa disebut au pair. Ia mendaftar melalui aupairworld.com—situs yang menjembatani kebutuhan orang Eropa akan pekerja migran dengan dalih pertukaran budaya, seperti pengasuh anak dan pembantu rumah tangga. Para host family dikenakan biaya sekitar 40 Euro perbulan untuk menjadi anggota aupairworld.com. Sementara di sisi lain, program au pair tersebut banyak dimanfaatkan orang-orang asal negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Selatan dengan iming-iming upah dan pemenuhan fasilitas lain, seperti pendidikan, biaya transportasi, dan tempat tinggal di Eropa.

Sederet kemungkinan itu yang juga membikin Suri tertarik mendaftarkan diri. Empat bulan setelahnya ia mendapatkan keluarga angkat atau biasa disebut host family berkebangsaan Maroko usai tiga kali wawancara jarak jauh. Dalam wawancara tersebut mula-mula Suri tidak diminta untuk membersihkan rumah, tapi berbeda setelah ia sampai di Belanda. “Saya bersih-bersih rumah dan menjaga tiga anak, padahal di kontrak tidak ada hal yang seperti itu,” jelasnya.

Tapi, dia tidak punya pilihan selain membersihkan seluruh bagian rumah dua lantai dengan enam kamar tidur. “Awalnya kegiatan bersih-bersih dibantu ibu angkat, namun setelah itu saya dipaksa untuk membersihkannya sendiri. Jika tidak, mereka akan berkata kasar dengan nada yang tinggi,” ungkap dia.

Perlakukan kasar keluarga angkatnya itu, menurut Suri, tidak dilakukan sekali dua kali. Bahkan Suri pernah dikeram di rumah oleh keluarga angkatnya. “Saya tidak diberi kunci rumah, bahkan ketika saya libur. Mereka mengatakan kalau saya tidak diperbolehkan untuk keluar rumah,” ucap Suri.

Kondisi tersebut makin parah karena selama Suri berada di dalam rumah kerap kali tidur dalam kondisi lapar. “Saya bekerja dari Pukul 12:00-18:00 sebagai pengasuh bayi. Selama itu tidak boleh makan. Makannya hanya boleh ketika dinner saja. Kadang kalau telat, juga nggak ada lagi makanan yang tersisa,” sebutnya.

“Pernah selama dua hari, saya hanya minum dan ngemil makanan anak-anak saja.”

Suri sebetulnya tidak tinggal diam dengan perlakukan keluarga angkatnya. Ia mengaku sudah memprotes dan melaporkan tindakan tersebut ke pihak agensi, yakni Au Pair Internasional di Amsterdam. Namun mereka tidak banyak membantu selain menyarankan agar berganti keluarga angkat. “Tidak ada tindakan tegas sama sekali dari agency,” jelasnya.

Padahal, Susi sudah membayar sebesar 34 Euro kepada salah satu agensi yang jumlahnya mencapai 174 unit di Belanda. Dalam hal ini Susi mengaku tidak bisa mengelak karena anggota aupairworld.com wajib terdaftar di agensi negara tujuan. Meski begitu, peraturan terkait agensi tersebut bisa berbeda di negara Eropa lainnya.

Dua bulan setelah didera perlakuan kasar, Suri akhirnya memberanikan diri mengkomunikasikan ihwal pemutusan kontrak pada akhir November 2022. “Saya nggak kuat. Selain hardikan, saya juga diawasi 24 jam dengan CCTV atau anggota keluarga yang sering masuk tanpa izin ke kamar saya, bahkan disaat saya tidur,” ucapnya terbata-bata.

Alih-alih introspeksi diri dan merelakan Suri pergi, keluarga angkatnya malah naik pitam sembari berucap kata-kata bernada umpatan. Mereka bahkan tak segan menuntut agar Suri mengembalikan seluruh uang yang sudah diberikan. Totalnya sekitar 1500 Euro atau lebih dari Rp 25 juta. “Termasuk uang yang saya temukan di dalam jaket, padahal mereka sudah mengizinkan saya untuk mengambilnya,” terangnya.

“Saya juga dipaksa menandatangani perjanjian pengembalian uang itu. Jika tidak, mereka mengancam akan melaporkan saya ke polisi,” kata Suri terisak sambil mengatakan bahwa ia tak banyak menggubris. Yang ada di kepalanya saat itu hanya bagaimana bisa angkat kaki dari rumah.

Beruntung pihak agensi membantu Suri keluar dan menampungnya selama sebulan di rumah aman sampai mendapatkan keluarga angkat baru. “Saya itu sebetulnya kebingungan menentukan bagaimana nasib kedepannya, tapi untungnya makan di sana ditanggung agensi,” jelasnya.

Suri kembali mendapatkan keluarga angkat setelah sebulan. Mereka tinggal di Breda—sebuah kota yang terletak di selatan Belanda. Mula-mula, Suri menganggap keluarga barunya hangat dan bersikap sangat baik. Ini karena segala kebutuhannya dipenuhi, mulai dari sarana transportasi berupa sepeda, kursus bahasa, kartu transportasi umum, hingga tunjangan liburan, seperti kartu museum. Bahkan uang saku yang ia terima tiap bulan sesuai dengan perjanjian kerja.

Kondisi berubah setelah ia bekerja selama sebulan. Pemilik rumah, katanya, tiba-tiba memotong uang sakunya lebih dari separuh. “Seharusnya saya memperoleh 350 EURO setiap bulannya, tapi saya hanya diberi 78 EURO per minggunya atau 304 EURO setiap bulan,” katanya. Pihak keluarga angkat mengklaim bahwa pemberian fasilitas dianggap terlalu berlebih oleh agensi.

“Saya saat itu diberi pilihan. Menerima seluruh fasilitas penunjang atau uang saku yang dinaikkan,” katanya. Suri tentu saja memilih opsi yang kedua. Sebab ia lebih perlu uang untuk membantu kebutuhan keluarganya di Temanggung, Jawa Tengah.

Di lain hari, Suri pernah dipaksa oleh keluarga angkatnya untuk mengenakan seragam serupa pengasuh bayi. Pakaian itu diberikan ketika keluarga tersebut hendak menghabiskan waktu liburan ke Dubai, Uni Emirat Arab. Suri yang semula menolak, lagi-lagi tak punya banyak pilihan selain mengenakan pakaian pengasuh. Belakangan ia dipanggil keluarga angkatnya dengan sebutan, “opas” atau pelayan. “Benar, tidak ada kekerasan yang saya peroleh. Tapi penghinaan tersebut membuat saya benar-benar hancur,” katanya.

Suri bukan satu-satunya au pair asal Indonesia yang mengaku mendapat perlakuan tidak menyenangkan di Belanda. Sofiabukan nama sebenarnya, juga mendapatkan perlakuan serupa saat tinggal bersama keluarga angkatnya di Den Haag. “Saya tidak fasih berbahasa Inggris. Namun karena salah satu keluarga angkat merupakan orang Indonesia, saya menerima tawaran menjadi au pair di sana,” katanya.

Meski begitu, selama enam bulan bekerja dia tidak pernah diberi uang saku oleh keluarga angkatnya. Padahal yang ia kerjakan terbilang banyak, mulai dari mencuci mobil, membersihkan rumah, hingga merawa dua lansia. Tak kurang dari 14 jam dihabiskan Sofia untuk menuntaskan seluruh pekerjaannya. “Sekarang satu-satunya keluarga bagi saya yaitu keluarga ini. Saya sudah lama ditinggalkan kedua orang tua. Meskipun tertekan, saya harus menjalaninya,” katanya lirih.

Pernah suatu kali terlintas dalam kepalanya untuk kabur meninggalkan rumah, tapi tak bisa. Keberadaanya selalu diketahui oleh keluarga angkatnya tersebut. “Kartu akses kereta langsung terhubung ke ibu angkat. Jadi dia bisa melacak saya lagi dimana. Jika ketahuan, langsung dijemput,” katanya.

Hingga pada akhirnya, dengan bantuan Suri, Sofia berhasil dijemput oleh agensi ke rumah itu. “Mendulang trauma dan sakit yang dalam rasanya,” ungkapnya tanpa mau berbicara lebih dalam wawancara yang dilakukan.

Sementara itu, salah seorang host family yang kami temui di Belanda, Hilde Bos—bukan nama sebenarnya, mengungkapkan bahwa persoalan sikap menjadi faktor utama yang mempengaruhi lama tidaknya au pair berada di kediamannya. “Memiliki keseimbangan itu cukup rumit bila ada seseorang di rumah. Beberapa di antaranya harus mengikuti aturan yang berlaku di rumah, sekalipun saya tidak memerintah mereka. Jadi ini benar-benar masalah kecocokan,” katanya pada Jumat, 22 September 2023.

Ia mengaku pernah mendapatkan pengalaman buruk dengan au pair. Di saat ia harus mengurus tiga anak, salah seorang au pair lebih banyak duduk di sofa sembari memegang ponsel. “Sementara kami memberi tahu anak-anak kami agar tidak melihat layar sebelum pukul 5.30. Dan dia datang dengan banyak sekali masalah serius, seperti diintimidasi sepanjang hidupnya. Hal itu tidak akan berhasil, sehingga bukan yang kami cari,” kata dia.

Seharusnya, menurut Hilde, hal seperti itu tidak perlu terjadi selama au pair dari pelbagai negara jujur dalam proses wawancara. Sebab ia sendiri pernah kecewa karena menerima kedatangan au pair yang tunarungu, sehingga mempersulit keluarganya ketika berkomunikasi. Tidak sedikit pula dari mereka yang melamar pekerjaan lain ketika tiba di negara tujuan. “Mereka punya niatan lain,” katanya. Padahal, kata Hilde, mereka tidak diperbolehkan melamar profesi lain selama mengikuti program au pair, baik enam maupun 1 tahun.

Sejak 2016 lalu sedikitnya sudah lebih dari 5 au pair dari pelbagai negara yang bekerja di rumah Hilde. Di mulai dari orang Indonesia, Argentina, Italia, Brasil, dan saat ini berasal dari Republik Ceko. Keluarga Hilde sedikitnya mengeluarkan uang sebanuak 340 EURO atau lebih dari Rp 5 juta perbulan, termasuk makan dan tempat tinggal. Bahkan Hilde memberikan OV Chipkaart—kartu yang digunakan untuk semua transportasi umum di Belanda. “Kami memberikan tambahan 25 EURO untuk hal-hal yang menyenangkan,” tambahnya.

 

Jalan Terjal Perlindungan Au Pair Indonesia

Kisah Suri dan Sofia hanya sepenggal dari cerita anak muda Indonesia yang mengikuti program pertukaran budaya atau au pair di Eropa, Amerika, Jepang, dan Australia. Pada laman aupairworld.com, sebanyak 26.267 orang berkebangsaan Indonesia melamar sebagai au pair. Sedangkan pada laman aupair.com, terdapat sekitar 81 orang warga Indonesia terdaftar sebagai au pair. Namun, jumlah au pair yang berangkat ke luar negeri belum bisa dipastikan.

Sejak Juni 2023 lalu, sedikitnya ada 30 lebih au pair yang Jaring.id dan Rappler hubungi. Dari mereka kami mendapatkan pelbagai cerita, baik senang maupun duka saat tinggal di rumah orang asing di Eropa. Alasan bahasa, pekerjaan, dan upah merupakan faktor penentu yang mendorong mereka menjadi au pair. Mereka mendaftar melalui dua situs paling populer, yakni aupairworld.com dan aupair.com. Selain diminati orang Indonesia, program au pair juga kerap menjadi sasaran warga asal negara Asia Tenggara, seperti Filipina, juga ada yang berasal dari Afrika Selatan, dan Amerika.

Berdasarkan data yang dimuat dalam laman Immigratie en-Naturalisatiedienst Ministerie van Justitie en Veiligheid (IND) Belanda, negara terbanyak pengirim au pair adalah Filipina. Jumlah Filipino yang menjadi au pair di Belanda saja mencapai 2430 orang dari 2018-2022. Diikuti Afrika Selatan sebanyak 1760 orang, kemudian sekitar 710 orang berasal dari Brasil. Sementara dua negara Asia Tenggara, Thailand dan Indonesia menyumbang sebanyak 290 dan 230 orang.

Dari jumlah itu Kementerian Luar Negeri mencatat sebanyak 338 orang yang menjadi au pair di Eropa sepanjang 2018-2023. Dari jumlah itu terdapat sejumlah kasus yang menimpa au pair, antara lain kerja paksa, kekerasan verbal, dan upah tidak dibayar, sampai kasus bunuh diri.  “Semua kasus dilaporkan terjadi di Eropa,” jelas Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) Judha Nugraha dalam wawancara di Kemenlu, Rabu, 30 November 2023.

“Itu hanya angka yang aktif melapor ke Kemenlu, sedangkan data yang tidak aktif, saya rasa akan jauh lebih besar. Kasus ini selalu sistemik. Contoh kasus TPPO, tahun lalu terdapat 752 kasus TPPO. Namun, kami yakin angka sebenarnya jauh lebih besar. Jadi banyak faktor yang membuat seseorang tidak melaporkan kasus mereka ketika di luar negeri,” ia menambahkan.

Oleh sebab itu, ia mendorong agar seluruh WNI yang berada di luar negeri untuk melaporkan diri. Jumlah yang tercatat sampai saat ini mencapai 2,2 juta orang, namun tidak diketahui berapa jumlah warga yang melancong lewat au pair. “Sesuai dengan UU, seharusnya setiap warga negara yang menetap di luar negeri lebih dari setahun itu wajib untuk melapor ke Kemenlu tanpa harus menunggu masalah. Sedangkan praktiknya tidak begitu,” katanya. Terlebih, menurut dia, bagi WNI yang pergi ke luar negeri menjadi au pair.

Hal ini dikarenakan belum ada regulasi yang spesifik mengatur program pertukaran budaya, termasuk mendefinisikan kegiatan au pair. “Menjadi au pair tujuannya untuk belajar bahasa dan kebudayaan negara yang dituju. Keluarga angkat disebut sebagai family member, sehingga tidak ada istilah pekerja dan pegawai di sana,” ia menjelaskan.

Namun pada prakteknya, menurut Judha, au pair yang diklaim sebagai pertukaran budaya tersebut mengadopsi sistem kerja serupa pekerja migran Indonesia (PMI). Oleh sebab itu, seharusnya au pair juga berhak memperoleh perlindungan pekerja migran sesuai hukum internasional. “Ketika masuk ke dalam rumah tangga, ada jam kerja, dan memperoleh upah, itu sudah domestic worker. Mereka berhak memperoleh perlindungan sebagai pekerja migrant sesuai dengan UN Intervension 1998 tentang perlindungan pekerja migrant,” kata dia.

Hanya saja, kata dia, belum ada pekerja migran yang tercatat ditempatkan di negara-negara Eropa. Ini karena syarat negara penempatan PMI, antara lain memiliki UU terkait pekerja migran, jaminan kerja, dan memiliki MoU tentang pekerja migran yang disepakati antara negara pengirim dan negara penerima. Sedangkan, program au pair yang berjalan selama ini tidak pernah melibatkan Indonesia. Artinya, program pertukaran budaya tersebut hanya dibuat dan disepakati oleh negara-negara tujuan tanpa melibatkan negara asal au pair. ”Sehingga ada pola migrasi yang tidak aman. Ketika ada kasus siapa yang akan tangani,” ujar Judha.

Padahal berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 menyebutkan PMI adalah setiap warga negara Indonesia (WNI) yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia (RI). “Kita membutuhkan keputusan secara nasional untuk mengategorikan au pair. Jika tidak, maka akan menimbulkan celah masalah nantinya,” jelas Judha.

Apabila au pair dikategorikan sebagai PMI dalam sektor domestik, maka yang membuat pengaturan keberangkatan ialah Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) di bawah Kementerian Ketenagakerjaan, bukan agensi maupun pendaftaran secara online melalui situs aupairworld.com dan aupair.com. “Dibutuhkan alur pengaturan yang baik jika au pair termasuk ke dalam kategori PMI,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, Kemenlu menyatakan akan berembuk dengan Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membahas kegiatan au pair. Materi yang dibahas meliputi penertiban agen, pencatatan dan pelaporan, serta tanggungjawab penanganan. ”Kami perlu bicara dengan lintas kementerian. Sebab belum ada aturan. Itu yang jadi celah. Siapa yang akan menangani pengaturannya,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid tak mengetahui kegiatan au pair. ”Saya tidak tahu soal au pair. Itu pertanyaan spesifik. Nanti ke bagian humas saja untuk menjelaskan datanya,” kata Hilmar saat ditemui di ruang kerjanya, Senin, 27 November 2023.

Sedangkan Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Anang Ristanto, hingga saat ini tak memberikan jawaban. Pun dengan Ketua Badan Perlindungan Pekerja Mingran (BP2MI), Benny Rhamdani dan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah tak merespon sekalipun sudah dihubungi melalui nomor telepon maupun surat.

Tak hanya di Indonesia, definisi tentang au pair sendiri saat ini tengah dikaji ulang oleh pemerintah Amerika Serikat. Departemen Luar Negeri AS meminta agar status au pair diperjelas dan diperbarui. “Perlu adanya beberapa pembaruan, seperti meningkatkan uang saku mingguan kepada au pair. Sejak 2009, uang saku mereka tidak pernah dinaikkan jumlahnya,” kata salah satu agensi yang dikutip dari Washingtonpost.com pada Kamis, 14 Desember 2023.

Wakil Presiden Agency terbesar di AS yaitu Senior Cultural Care Au Pair, Natalie Jordan mendorong pengubahan pertukaran budaya menjadi program tenaga kerja karena au pair bersifat transaksional. “Ini bersifat transaksional, ini semua tentang cara yang benar-benar tidak alami untuk berinteraksi dengan para anggota keluarga angkat,” katanya.

Proposal itu juga membahas agar dapat menaikkan biaya program, mengurangi jam kerja, dan mewajibkan setiap keluarga angkat lebih banyak membuat pelaporan tentang au pairnya masing-masing. “Dari yang awalnya 45 jam, menjadi 10 jam per minggunya,” tambahnya. Meski begitu, proposal tersebut masih menuai pro dan kontra. Sementara Departemen Luar Negeri AS menyebut akan mempertimbangkan seluruh komentar sebelum menentukan kebijakan.

 

Transaksi Unik Sebatas Bisnis

Tingginya permintaan au pair di negara-negara Eropa tak terlepas dari kebijakan yang menghapus pekerja migran bergaji rendah. Sedangkan permintaan akan perawat anak atau nanny, serta asisten rumah tangga di Eropa selalu bertambah. Terutama bagi orang tua pekerja yang memiliki anak maupun lansia. Kebutuhan akan pekerja domestik ini yang kemudian dimanfaatkan aupairworld.com dan aupair.com sejak 1998.

Hingga saat ini, dalam keterangan yang tertera di masing-masing situs menyebutkan lebih dari 13 ribu akun keluarga angkat yang mendaftar di situs aupairworld.com untuk 22 negara sejak 1999. Australia, Austria, Belgium, Canada, Denmark, Finland, dan France. Kemudian juga terdapat Germany, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Liechtenstein, Luxembourg, dan Netherlands. Selanjutnya New Zealand, Norway, Spain, Sweden, Switzerland, dan United Kingdom.

Sedangkan pada laman Aupair.com, terdapat sekitar 200 akun yang mendaftar sebagai host family di berbagai negara. Bahkan beberapa akun mencari au pair untuk tinggal di Indonesia, seperti di Yogyakarta dan Tangerang.

Kedua perusahaan menyediakan situs yang dapat menghubungkan antara keluarga di Eropa dengan pencari pekerjaan di Asia maupun Afrika. Para au pair yang berasal dari Indonesia kebanyakan memilih negara tujuan, seperti Belanda, Jerman, dan Amerika. Dengan rata-rata pendidikan terakhir S1 atau D3 yang berusia 20 tahunan. Salah satu syarat menjadi au pair harus menguasai bahasa negara tujuan yang ditandai dengan tes bahasa setingkat A1/A2.

Koordinator Indonesia Cultural Mediators Fairwork di Belanda, Wati Darwisyah menjelaskan bahwa transaksi yang dilakukan oleh host family, au pair, dan aplikator terbilang unik. Salah satu hal yang membedakan au pair dengan pekerja migran lain ialah visa yang bernama “au pair.” Visa ini didapatkan dari agensi-agensi di bawah International Naturalization Deutsche (IND)—sebuah lembaga yang mengurusi orang asing di Belanda. “Padahal mereka melakukan kegiatan yang hampir sama dengan buruh migran,” katanya.

Setiap keluarga yang ingin menampung au pair, menurut Wati,  wajib mendaftarkan diri ke agensi-agensi yang jumlahnya mencapai 20 di Belanda, antara lain Au Pair International B.V dan Au Pair Amsterdam. “Dengan membayar sekitar 30 EURO atau Rp5 juta,” kata dia.

Keluarga angkat juga akan menanggung biaya tiket pesawat bagi calon au pair ke negara tujuan, serta uang saku, kursus bahasa, moda transportasi dan lain sebagainya. Semua hal itu tertera dalam kontrak yang disepakati antara agensi, au pair, dan pemilik rumah. Meski begitu, tak sedikit kasus yang melanggar kontrak tertulis tersebut. “Agency melihat ini hanya sebatas bisnis saja,” ucapnya.

Sepanjang 2023 sedikitnya ada 4 orang au pair yang mengadu ke dirinya. Salah satu kasus yang paling banyak dilaporkan ialah terkait jam kerja, masalah uang saku, dan tindak kekerasan. “Memang tidak banyak yang mau melaporkan kasusnya. Bahkan setelah melapor, ada beberapa kasus yang tidak mau ditindaklanjuti,” jelasnya.

Namun ia meyakini bahwa masalah au pair di negara-negara Eropa bak fenomena gunung es di tengah laut. Tidak sedikit au pair yang tidak bisa melapor karena dihalang-halangi maupun diancam pemilik rumah. “Karena pada dasarnya, ketika seseorang memperoleh eksploitasi, mereka membutuhkan waktu dan keberanian untuk kemudian mencari pertolongan.”

Oleh sebab itu, Wati mendesak pemerintah negara asal au pair, seperti Indonesia segera membuat peraturan. Ini karena regulasi yang ada di negara tujuan tidak berlaku untuk melindungi au pair asal Indonesia.  Akibatnya, segala tindak kekerasan dan eksploitasi tidak akan ditindak lanjuti dengan baik.

“Biasanya agency Indonesia hanya merekrut satu atau dua orang saja di negara tujuan. Mereka hanya bertugas mengurusi surat izin tinggal para au pair saja,” katanya ketika diwawancarai, Sabtu, 23 Desember 2023 di Jakarta. Beberapa agensi Indonesia yang melakukan pola perlindungan tersebut, antara lain Bali Aupair di Bali, PT Cahaya Pendidikan International (Bright au Pair), dan Full Hope Aupair yang berlokasi di Sidoarjo, Jawa Timur.

Meski au pair disebut sebagai pertukaran budaya, Wati menilai, pola transaksi yang digunakan selama ini tidak mencerminkan semangat berbagi kebudayaan. Hal itu dapat dilihat dari ketiadaan regulasi mengenai pekerja migran dengan skill rendah di Eropa. “Kalau saya lihat ya, au pair ini memang dikarenakan banyaknya keluarga yang membutuhkan bantuan untuk merawat anak dan membantu pekerjaan rumah lainnya. Atau tempat penitipan anak yang penuh atau apapun alasannya,” jelasnya.

“Eropa memprioritaskan warga negaranya untuk bekerja. Jika tidak ada, maka baru warga negara yang bukan berasal dari Eropa yang akan dipekerjakan. Namun semua itu hanya untuk skill tinggi. Sampai sekarang tidak ada visa untuk skill rendah yang tersedia di Eropa,” jelasnya.

Hal itu berbeda dengan Malaysia, Arab Saudi, Hongkong, dan negara lainnya yang menerima pekerja migran. “Setidaknya mereka bersifat legal dan ada peraturannya,” jelasnya.

“Tapi pekerja migran yang sudah ada regulasinya saja, masih banyak masalah, apalagi yang tidak atau belum ada seperti au pair. Tentu akan menimbulkan masalah yang lebih besar,” Wati menambahkan.

Au pair menjadi pilihan alternatif karena tidak adanya lowongan untuk pekerja domestik dengan gaji rendah di negara-negara Uni Eropa. Semangatnya bukan pertukaran budaya, melainkan membantu pekerjaan rumah atau merawat bayi, terutama bagi orang tua yang keduanya bekerja.

“Bisa dikatakan pertukaran budaya itu lebih ke perbudakan gaya baru. Tidak ada regulasi yang jelas, hingga semangat au pair bukanlah semangat pertukaran budaya sebagaimana mestinya,” tutupnya.

 


Cerita berjudul Lara Au Pair dalam Penampungan Keluarga Asing” adalah bagian pertama dari 4 artikel yang membahas problematika orang-orang Indonesia ketika menjadi au pair. Atas dukungan Jurnalism Fund kami mengerjakan naskah ini dimulai pada pertengahan tahun lalu berkolaborasi dengan media asal Filipina, Rappler.

Atas dukungan Jurnalism Fund kami mengerjakan naskah ini pada pertengahan tahun lalu berkolaborasi dengan media Belanda, OneWorld.nl. Tulisan ini juga akan terbit di serbukindonesia.org dan media asal Filipina, Rappler.


Tim Kolaborasi

Penanggung Jawab: Kholikul Alim (Jaring.id)

Reporter: Abdus Somad, Sonya Andomo, Asmariyana (Indonesia); Sarah Haaij (Belanda)

Penyunting: Damar Fery Ardiyan (Jaring.id)

Ilustrasi: Ali (Jaring.id)

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.