Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, utamanya kekerasan di Papua dan Papua Barat sepanjang 2020 memburuk. Lembaga pemantau HAM Amnesty International mencatat sedikitnya 19 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang mengakibatkan 30 korban pada tahun lalu. Dari belasan kasus itu, 10 di antaranya diduga dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), 4 anggota Kepolisian Indonesia dan sisanya menyeret polisi dan tentara. Dengan penambahan kasus itu, maka jumlah total kasus pembunuhan di luar hukum sepanjang 2018-2021 mencapai 50 kasus dengan 84 korban.
Salah satu kasus kekerasan di Papua yang menjadi sorotan ialah pembunuhan tiga orang yang memiliki nama belakang Zanambani. Pertama ialah Pendeta Yeremia, Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Hitadipa di Intan Jaya pada 19 September 2020, serta Apinus dan Luther Zanambani pada 21 April 2020. Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat (Danpuspomad), Letjen Dodik Widjanarko memastikan bahwa kematian dua nama terakhir dilakukan oleh tentara. “Satuan Batalyon Para Raider 433 JS Kostrad saat melaksanakan sweeping. Dicurigai sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata atau KKB, selanjutnya dilakukan interogasi terhadap dua orang tersebut di Koramil Sugapa Kodim Paniai,” ungkap Dodik dalam keterangan pers yang disampaikan di Gedung Puspom AD Jakarta, Rabu, 23 Desember 2020.
Dalam proses interogasi itu lah tentara menyiksa keduanya hingga nyawa Apinus melayang. Sementara Luther kritis sebelum meregang nyawa saat hendak dibawa ke Komando Taktis (Kotis) Yonif PR 433 JS. “Di tengah perjalanan Luther Zanambani meninggal dunia,” ujar Dodik.
Untuk menghapus jejak kekerasan dan pembunuhan tersebut, anggota TNI lantas membakar tubuh Apinus dan Luther sebelum mengalirkan abunya ke Sungai Julai, Hitadipa. Dalam kasus ini, TNI sedikitnya telah memeriksa 19 prajurit TNI AD, termasuk keluarga Zanambani. Dari pemeriksaan tersebut Mapuspomad menetapkan 9 prajurit sebagai tersangka. Mereka adalah Mayor Inf ML dan Sertu FTP yang bertugas di Kodim Paniai. Sementara sisanya merupakan anggota Yonif Pararider 433 JS Kostrad yakni, Mayor Inf YAS, Lettu Inf JMTS, Serka B, Sertu OSK, Sertu MS, Serda PG dan Kopda MAY.
Meski begitu, menurut Peneliti Amnesty International Indonesia, Ari Pramuditya belum ada satu pun kasus yang divonis oleh Pengadilan Militer maupun Sipil. “Dari semua kasus yang terjadi 2020 belum ada satu kasus pun yang divonis Pengadilan Militer, maupun sipil. Dari 4 yang sedang diperoses hukum tiga kasus anggota TNI masih penyidikan Oditur Militer, satu kasus baru dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri,” kata Ari dalam konferensi pers daring mengenai Laporan Global Amnesty International 2020/2021, Rabu, 7 April 2021.
Pengacara HAM Papua, Gustaf Kawer menyebut konsentrasi pelanggaran HAM dan kekerasan di Papua saat ini berada di tiga daerah, yakni Nduga, Timika dan Intan Jaya. Menurutnya, sejak TNI menambah jumlah pasukannya di Intan Jaya, kekerasan baru terus terjadi di Distrik Hitadipa, Sugapa, Ugimba dan Wandai. “Jadi aneh kalau pasukannya bertambah malah konfliknya tinggi, sebenarnya kalau ditambah, konfliknya menurun. Jadi persoalan baru. Kehadiran aparat membuat masyarakat tidak nyaman,” ungkap Gustaf.
Itu sebab, Gustaf berharap Presiden Joko Widodo segera menarik seluruh pasukan yang berada di Papua. Warga Papua, kata dia, ingin penyelesaian kasus HAM secara komprehensif melalui dialog. Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan tragedi kekerasan di Papua yang terjadi di Paniai pada 7-8 Desember 2014 sebagai pelanggaran HAM berat. Dalam peristiwa lima tahun silam itu, Komnas HAM mencatat empat orang tewas terkena peluru panas dan luka tusuk. Sementara itu, 21 orang lainnya luka-luka lantaran dianiaya. Di samping itu ada kasus Abepura yang terjadi pada 7 Desember 2000 dan Wasior setahun berselang.
Selain pembunuhan di luar hukum, kebebasan berekspresi warga Papua selama ini juga dikekang. Mereka kerap dijerat oleh pasal terkait makar, yakni Pasal 106 dan 110 KUHP. Dalam catatan Amnesty, hingga awal April 2021 masih ada 31 warga yang ditahan karena menyampaikan ekspresi politik secara damai. Karenanya Amnesty mendesak pemerintah untuk segera membebaskan mereka tanpa syarat. “Dalam bayangan aparat Negara, Papua ini wilayah berbahaya terhadap keamanan negara,” ungkap Ari.
Dalam laporan Indeks Demokrasi 2020 versi The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia hanya berada para peringkat ke-64 dengan skor 6.3. Peringkat Indonesia ini tidak beranjak dari tahun sebelumnya, namun skor yang dikantongi menurun dari yang sebelumnya 6.48. Sementara itu, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) versi Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019 lalu menempatkan Papua Barat sebagai provinsi paling buruk dengan skor 57.62 poin, menurun dari tahun sebelumnya 58.29 poin. Sedangkan provinsi Papua hanya lebih baik sekitar 5 poin dari Papua Barat, yakni 62.25 poin. Tiga hal yang menentukan perolehan IDI ialah pemenuhan kebebasan sipil, hak-hak politik dan lembaga demokrasi.
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP), Latifah Anum Siregar menyatakan skor EIU yang diperoleh Indonesia saat ini merupakan angka terendah dalam kurun waktu 14 tahun. “Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat,” tulis Anum ketika memberi paparan mengenai demokratisasi di Indonesia.
Anum mengaku tidak heran dengan merosotnya skor indeks demokrasi Indonesia. Sebab sampai saat ini, pemerintah kerap menggunakan sejumlah strategi untuk merampas kebebasan berekspresi warga Papua. Antara lain memaksakan izin kepolisian untuk berdemonstrasi, membatasi akses internet dan media sosial melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sepanjang 2020, tercatat ada empat kasus gangguan akses digital. Mula-mula terjadi pada 15-22 Juli di Nduga, Maybrat, Papua Barat, lalu pada 15 Agustus, 7 Oktober dan 1 Desember terjadi bandwith throttling di Papua dan Manokwari. “Kedua alasan pandemi Covid-19. Tahun lalu beberapa aksi dilarang dengan alasan dilarang berkumpul. Bahkan muncul Maklumat Kapolda (Nomor I/XI/2020) yang salah satu poinnya mengatakan dilarang berkumpul karena pandemi,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto menilai pandemi Covid-19 menjadi titik di mana para aparatur hukum memperlihatkan upaya eksesif untuk membungkam kebebasan berekspresi, baik dengan UU ITE atau regulasi-regulasi lain yang menyusul, antara lain Telegram Kapolri No.ST/1100/IV/HUK.7.1.2020. Dengan ini, polisi melaksanakan patroli siber untuk mengawasi percakapan publik di ruang siber.
Pada 2020, ada 4790 laporan yang diselidiki Dittipidsiber. Mayoritas atau sekitar 32 persen dikategorikan sebagai pelaku pencemaran nama baik. “Ini tentu saja kontradiktif sekali dengan banyak kebijakan, kita ingat kebijakan pemerintah di awal-awal pandemi, melepaskan banyak orang dari penjara untuk menghindari transmisi atau penyebaran Covid-19, tapi justru banyak orang dijerat dengan UU ITE,” ungkapnya.