Judul: Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi Indonesia
Penulis: George Junus Aditjondro
Penerbit: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan
Tahun: 2004
Demokrasi tidak serta-merta menghilangkan korupsi. Adakalanya kekuatan ekonomi dan politik dalam negara demokratis justru bahu-membahu untuk melanggengkan kekuasaan dengan menggerogoti keuangan Negara dengan mengorbankan kepentingan publik.
George Junus Aditjondoro, aktivis cum akademisi, berusaha menunjukkan hal tersebut. Runtuhnya Orde Baru, yang diikuti dengan demokratisasi, nyatanya tidak selaras dengan hilangnya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Dengan menggunakan konsep oligarki, penulis menelisik bentuk korupsi sistemik yang terjadi di Indonesia. Dalam korupsi sistemik praktik suap (bribery) hanya merupakan lapis terluar. Lapis dalam yang melibatkan praktik nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan acapkali justru luput dari perhatian masyarakat, aktivis anti korupsi, dan jurnalis.
Cara meneliti lapis dalam korupsi sistemik tersebut dipaparkan dengan sederhana dalam buku ini. Mulai dari ucapan selamat dan duka cita yang dimuat media massa hingga penggunaan database yang dimiliki oleh konsultan bisnis bisa digunakan dalam penyelidikan korupsi sistemik.
Di sela-sela bahasan, George juga menyisipkan beberapa kasus korupsi sistemik yang terjadi di Indonesia sejak pemerintahan Soeharto hingga Megawati. Hal tersebut mempermudah pembaca untuk memahami langkah-langkah teknis investigasi yang dipaparkan.
Buku ini pertama kali ditulis 13 tahun lalu dan mengalami sedikit revisi dua tahun kemudian. Banyak hal berubah, seperti munculnya mekanisme pemilihan langsung, baik di tingkat nasional, provinsi, hingga Kota/Kabupaten. Selain itu, hampir seluruh kasus yang dijabarkan dalam buku ini lingkupnya nasional. Lalu, apakah masih relevan membaca buku ini dengan segala keterbatasan pembahasan dan perubahan yang sudah terjadi?
Satu hal bisa kita jadikan alasan untuk membaca buku ini adalah masih tingginya ongkos politik di Indonesia. Hal tersebut berpotensi mendorong para pemegang kekuasaan politik di level nasional maupun lokal untuk mengumpulkan pundi-pundi guna pemenuhan dana tersebut dengan menyalahgunakan kekuasaannya.
Inilah yang disebut penulis sebagai korupsi politik yakni ketika politikus atau pejabat lainnya menggunakan kedudukan istimewa mereka untuk mengakses sumebrdaya (dalam bentuk apapun) secara ilegal untuk menguntungkan mereka atau pihak lainnya (hal 22). Lebih jauh, hal tersebut bakal berimbas pada konflik kepentingan yang ujung-ujungnya mengorbankan kepentingan publik.
Menjelang Pilkada serentak, buku ini semakin penting untuk dibaca karena terdapat 173 calon kepala daerah petahana. Lebih jauh, terdapat 27 Kabupaten/Kota yang kepala daerah petahanannya kembali berpasangan dalam Pilkada. Fenomena tersebut merupakan potensi korupsi politik yang harus diwaspadai.
Terkait hal tersebut, buku ini bisa menjadi panduan sederhana bagi wartawan, aktivis anti-korupsi, dan masyarakat awam untuk mengendus praktik korupsi sistemik. Setidaknya, setelah itu kita bisa mencegah terjadinya kembar siam penguasa politik dan ekonomi yang menggerogoti keuangan daerah serta mengorbankan kepentingan publik.