Mahkamah Konstitusi (MK) mengubur peluang mengembalikan posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang independen. Dari tujuh permohonan uji formil terhadap Undang-Undang KPK hasil revisi, tidak ada satu pun permohonan yang diterima mahkamah pada Selasa, 4 Mei 2021.
Salah satu permohonan yang ditolak mahkamah ialah uji formil dilayangkan sejumlah pegiat antikorupsi, seperti mantan pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Laode Muhammad Syarif. Mereka menilai revisi UU KPK tidak memenuhi rambu-rambu pembentukan undang-undang. Antara lain tidak melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pembahasan yang tidak transparan dan tidak melibatkan publik, rapat paripurna DPR yang tidak kuorum, hingga tidak ditandatanganinya UU KPK oleh Presiden Joko Widodo. “Jadi ditolaknya uji formil yang kami sampaikan itu dengan alasan yang betul-betul dibuat-dibuat,” ungkap Laode dalam diskusi daring yang digelar oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jantera, Kamis, 6 Mei 2021.
Laode mengaku kecewa dengan argumentasi hakim MK, kecuali Wahiddudin Adams yang menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion). “Beliau adalah contoh hakim yang imparsial. Hakim yang betul mau mendengarkan, mau menimbang ini benar atau tidak. Bukan hanya yang disampaikan dalam persidangan sudah dianggap kebenaran,” katanya.
Sedangkan mayoritas hakim MK, menurutnya, tidak menggali lebih jauh kebenaran terhadap rambu-rambu pembentukan undang-undang, baik kepada pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun pemohon. “Ketika hakim yang menilai dari kasus judicial review yang disampaikan, maka dia harus juga menggali kebenaran materil yang disampaikan para pihak. Pertama, apakah betul proses revisi UU KPK memenuhi syarat formil? Menurut saya tidak,” ujar dia.
Laode mengaku tahu persis bagaimana tidak transparannya proses revisi UU KPK. Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 itu bahkan sempat tidak mendapatkan rancangan UU KPK dan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari Kementerian Hukum dan HAM. Padahal, KPK lah yang menjadi pengguna dari UU tersebut. “Dia (Saldi Isra) mengatakan ini telah dikonsultasikan dan transparan itu mengingkari kenyataan yang sebenarnya. Contoh adalah saya sendiri dengan Agus Rahardjo, Pahala Nainggolan dan Rasamala Aritonang pernah menghadap langsung ke Menkumham untuk meminta draft revisi dan DIM yang didiskusikan dengan pemerintah dan parlemen, itu tidak diberikan,” kata Laode.
Bahkan Laode heran dengan pertimbangan MK yang membandingkan protes kelompok penolak dan pendukung revisi UU KPK. Ketimbang bersembunyi di balik prokontra di tengah publik, menurut Laode, mahkamah harusnya bisa lebih jauh mendalami hal ihwal yang melatari suara-suara publik tersebut. “Terus terang kalau disamakan nilainya dengan orang yang hanya di stage hanya untuk mendukung, bahkan diberikan baju, saya pikir mahkamah merendahkan dirinya,” katanya.
“Mahkamah itu sebagai anak kandung reformasi yang diharapkan menjaga marwah hukum itu betul-betul harus menyucikan dirinya dari unsur-unsur yang berpotensi membuat noda hitam dalam kesejarahan MK,” Laode menambahkan.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menolak uji formil yang mempersoalkan prosedur revisi Undang-Undang KPK pada 2019. Pada saat yang sama, nasib 75 pegawai KPK yang menjadi tulang punggung pemberantasan korupsi digantung setelah dinyatakan tidak lolos penyaringan menjadi aparatur sipil negara (ASN). Penyaringan ini dilakukan KPK bekerjasama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia, Pusat Intelijen TNI Angkatan Darat, Dinas Psikologi AD dan Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Dari total 1.349 pegawai yang melakukan test wawasan kebangsaan (TWK), hanya 1.274 yang dinyatakan memenuhi syarat. Sementara dua orang pegawai tidak mengikuti ujian. “Selama belum ada penjelasan dari KemenPAN RB dan BKN, KPK tidak akan memberhentikan 75 pegawai yang dinyatakan TMS,” ujar Wakil Pimpinan KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers di gedung KPK, Rabu, 5 Mei 2021.
Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo Harahap menyebut hasil TWK tidak bisa dijadikan ukuran untuk menyaring pegawai KPK. Sebab UU KPK maupun PP 14/2020 terkait pelaksanaan alih status tidak mensyaratkan adanya TWK. TWK, kata dia, baru muncul dalam Peraturan KPK Nomor 1 tahun 2021. “Tes wawasan kebangsaan tidak sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas karena sejak awal tidak jelas konsekuensinya,” ujar Yudi dalam siaran pers tertulis yang diterima Jaring.id. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 70/PUU-XVII/2019 memerintahkan agar alih status kepegawaian tidak merugikan hak pegawai KPK.
Alih status kepegawaian ini merupakan imbas dari revisi UU KPK pada 2019. Dalam revisi tersebut pemerintah dan DPR sepakat untuk mamasukan pegawai KPK dalam sistem birokrasi pemerintahan. Sementara keputusan MK Selasa lalu, 4 Mei 2021 memperkuat degradasi kelembagaan KPK. Itu sebab, ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti menilai KPK tidak akan lagi independen sekalipun MK mengubah Pasal 1 (3) UU KPK dengan membubuhi frasa “independen dan bebas.”
“Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi, bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun,” demikian bunyi Pasal 1 (3) UU KPK.
Menurut Bivitri, independensi sebuah lembaga sangat ditentukan oleh postur kelembagaannya. “Independensi itu tidak berhenti pada kata-kata. Tidak bisa berhenti di situ. Independensi itu didesign oleh kelembagaan,” tegasnya. Sejak awal pendiriannya, kata Bivitri, KPK dibentuk independen karena korupsi merupakan extraordinary crime yang kerap berkelindan dengan kekuasaan. Entah itu eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Hal ini lah yang membedakan pegawai KPK dengan aparatur hukum lain, seperti Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi.
“Pegawai MA dan MK itu tidak berhadap-hadapan langsung dengan lembaga lain, anggota DPR, partai politik. Mereka itu mengurus administrasi perkara, aplikasi keputusan. MA dan MK itu yang jadi motornya adalah para hakim. KPK itu pegawai. Penyidik, penyelidik, penuntut umum. Walaupun ada pimpinan yang mengambil keputusan, tapi yang mengolah perkara dari nol itu mereka. Ini berbeda karakter,” jelasnya.
Bivitri khawatir putusan MK yang tidak mendalam terhadap revisi UU KPK malah menjadi preseden buruk bagi permohonan uji formil maupun materil UU lain, seperti UU Cipta Kerja. “Ini tantangan besar buat uji formil yang akan datang. MK mesti kita kritik. Jangan sampai pelanduk mati di tengah-tengah,” ujar Bivitri.
Sementara itu, akademikus Universitas Andalas Sumatera Barat, Fery Amsari mengungkapkan tiga hal sebuah lembaga independen atau tidak. Di antaranya ialah dimasukkannya lembaga tersebut dalam konstitusi, peran dan fungsinya tidak dapat mudah diubah dalam proses legislasi dan independensi komisioner dan pegawainya dijamin. Hal itu yang menurut Fery tidak lagi dimiliki KPK pasca putusan MK. Di samping tidak secara eksplisit tertuang dalam Undang-Undang Dasar, kata dia, UU KPK hampir setiap tahun dirongrong oleh DPR dan sistem kepegawaiannya diubah menjadi ASN.
“Bos mereka akan bertambah. Bagaimana mereka bisa berkonsentrasi? Mereka itu sebelumnya dirancang independen. Ini pukulan telak bagi KPK. Mengubah integritas pegawai KPK, menjadi integritas PNS. Padahal masalah PNS itu di mana-mana sama,” ungkap Fery merujuk teori yang dicetuskan oleh pakar tata negara dari Amerika Serikat, Bruce Arnold Ackerman.
Saat ini, menurut Fery, tidak ada lagi yang bisa dilakukan masyarakat sipil kecuali memelototi kinerja KPK termasuk pemerintah dan lembaga lain yang telah merenggut independensi KPK. “Eksekutif, legislatif, yudikatif sudah menjadi trio yang merusak negeri ini. Pencuri melalui pembuatan UU, pencuri lewat birokrasi, pencuri dengan jubah hakim. Maka bergerak lah sama-sama. Melalui media sosial. Tik tok lah, melalui apapun. Indonesia harus bergerak,” tuturnya.