Lepas sebulan setelah kabar kematian pekerja migran Indonesia (PMI) di Pusat Tahanan Imigrasi Sabah, puluhan buruh migran di Kamboja mengalami penyekapan. Berdasarkan laporan Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB), mereka menjadi korban perdagangan manusia. Adapun lima daerah asal PMI, yakni Medan, Jakarta, Depok, Indragiri Hulu, dan Jember.
Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah menerangkan korban mengalami penyiksaan dan bekerja dalam waktu panjang. “Hingga 17 jam sehari,” kata Anis dalam konferensi pers daring, Senin, 1 Agustus 2022.
Anis menjelaskan para buruh migran di Kamboja juga tidak diberi kontrak kerja dan mendapatkan upah sesuai kesepakatan awal. Sebelumnya mereka dijanjikan pekerjaan sebagai marketing investasi dengan upah sebesar 1000-1500 Dollar Amerika Serikat atau setara Rp 16,3 – 23 juta per bulan. Namun tak kurang dari 500 USD atau sekitar Rp 7,6 juta yang mereka peroleh. Sebagian yang lain bahkan hanya mendapatkan komisi, tanpa gaji.
Karenanya tidak sedikit dari mereka yang mempertanyakan apa yang sudah dijanjikan perusahaan. Tapi alih-alih memenuhi hak dan memberikan penjelasan, pihak perusahaan justru kerap menjatuhkan sanksi berupa denda sebesar Rp 30 – 168 juta atau menjual pekerja tersebut ke perusahaan lain. Sanksi yang sama akan dijatuhkan apabila para buruh migran melakukan kesalahan atau melaporkan praktik penyiksaan ini ke luar perusahaan.
Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care mengungkapkan bahwa praktik penyekapan itu tidak hanya terjadi pada buruh migran asal Indonesia, maupun kawasan Asia Tenggara. “Korbannya selain dari Indonesia, ada dari Thailand, Moldova, Georgia, dan dari Uzbekistan,” terangnya. Karenanya ia berharap pemerintah segera memulangkan puluhan pekerja yang terjebak di Kamboja.
Sejak 2021, Kementerian Luar Negeri sedikitnya telah memulangkan sekitar 119 PMI dari Kamboja. Namun, menurut Wahyu, masih banyak pekerjaan yang mesti dilakukan guna mencegah praktik serupa terulang. Utamanya terkait pencegahan modus perdagangan manusia melalui media sosial.
Pasalnya, Anis menambahkan, tidak sedikit dari PMI yang tersekap di Kamboja tergiur dengan iming-iming iklan lowongan pekerjaan di Facebook. “Rata-rata PMI yang terjebak, disinyalir dijebak oleh sindikat trafficking di Indonesia yang terafiliasi dengan sindikat yang ada di Kamboja melalui media sosial facebook dengan lowongan kerja, kerjasama Kamboja dan Indonesia,” ia menjelaskan.
Sindikat ini, kata dia, juga kerap melakukan pendekatan langsung secara intensif kepada korban. “Selain mendekati korban melalui Facebook para sindikat ini juga mendekati ke komunitas langsung. Jadi offline dan online. Bahkan mereka secara intensif melakukan komunikasi melalui messenger Facebook. Termasuk proses penerbangannya juga diurus melalui messenger Facebook,” imbuhnya.
Padahal praktik ini melanggar banyak peraturan, seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 2 (Ayat) 4, UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, serta UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam amatan Jaring.id, pengumuman lowongan pekerjaan tidak resmi kerap beredar di group info lowongan kerja yang ada di platform Facebook. Pekerjaan yang ditawarkan amat beragam, mulai dari Admin Sosial Media, Customer Service, hingga Marketing. Upah yang ditawarkan pun bervariatif, mulai dari 500 USD hingga 1000 USD. Iming-iming upah besar dan jaminan cepat kerja, kerap disodorkan dalam postingan lowongan pekerjaan tersebut.
Baca juga: Satu Gelanggang Beda Perlakuan
Salah satu keluarga korban berinisial IM, menerangkan bahwa suami dan sepupunya turut menjadi korban setelah mencari nafkah ke Kamboja. Sejak keberangkatan suami IM pada 15 Juli 2022 lalu, ia mulai sulit menghubungi suaminya seminggu kemudian. “Mengapa dia berangkat ke Kamboja, karena gaji yang fantastis. Niatnya mencari rezeki untuk keluarga, tapi kenyataannya ketika sampai di sana berbeda,” tuturnya.
Apa yang dituturkan IM tak berbeda jauh dengan yang dikatakan perempuan berinisial YA. Ia menyatakan adiknya tidak lagi tahan bekerja di Kamboja karena harus bekerja selama 12 jam. Bahkan adiknya sempat disekap beberapa hari dan tidak diberi makan. “Adik saya sekarang dalam keadaan sudah tidak dipekerjakan lagi, karena sakit, dan tidak ijin, dan tertidur saat bekerja. Adik saya mendapat penyekapan selama tiga hari. Dua hari pertama tidak diberi makan. Hari ketiga baru diberi makan satu kali. Komunikasi dengan keluarga baru di hari ketiga,” terangnya.
Dengan suara yang berangsur parau, YA tak kuat menahan air mata ketika memberikan keterangan. Ia mengaku tak ada bisa melakukan apa-apa kecuali berharap pemerintah segera memulangkan adiknya. “Kami sekeluarga sudah cemas, khawatir, takut karena adik saya mendapatkan siksaan di sana,” tambahnya.
Upaya Kemenlu memulangkan para pekerja migran dari Kamboja sudah dilakukan sejak 29 Juli 2022. Menurut Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri, sedikitnya sudah ada 55 WNI yang berhasil diselamatkan. “Lima WNI lainnya masih diproses pemindahannya atau sedang diupayakan evakuasi. Sejak mendapat berita tersebut berbagai upaya sudah dilakukan,” terangnya seperti dikutip dari kanal Youtube Kementerian Luar Negeri, Minggu, 30 Juli 2022. Berdasarkan keterangan Kemenlu, PMI itu disekap di Kawasan Sihanoukville, Kamboja.
Namun, baik keluarga YA maupun IM tidak termasuk dari lima orang yang tercatat dalam daftar pemulangan Kemenlu. Kedutaan Besar Indonesia untuk Kamboja dan kepolisian setempat, menurut Retno, tengah berkoordinasi mengevakuasi lima PMI yang masih disekap. “Saya melakukan komunikasi dengan Menteri Luar Negeri Kamboja untuk meminta bantuan agar para WNI dikeluarkan dengan selamat dari tempat penyekapan,” imbuhnya.
Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat sebanyak 62.187 penempatan pekerja migran mulai Januari-Juni 2022. Dari jumlah itu, negara Asia dan Afrika paling banyak disasar pekerja migran, yakni mencapai 53.624 penempatan. Sementara sisanya tersebar di Eropa dan Timur Tengah sebanyak 8.056 dan Amerika serta negara Pasifik 507 penempatan. Adapun lima negara penempatan tertinggi ialah Hongkong (39.8%), Taiwan (28.8%), Korea Selatan (4.9%), Singapura (4.8%), dan Jepang (3.8%).
Baca juga: Kacau Data di Hulu, Bocor Dana di Hilir
Yusuf Ardabili Staff Divisi Bantuan Hukum Migrant Care menjelaskan jumlah PMI yang berada di Sihanoukville lebih dari lima orang. “Laporan yang masuk ke kami itu sudah ada delapan orang. Ini di luar yang dilaporkan Kemenlu dari keterangan mereka ada 135 orang yang mengalami kondisi serupa,” terang Yusuf pada Jaring 3 Agustus 2021.
Sekitar 135 orang yang dilaporkan pada Migrant Care adalah jumlah PMI yang berada di Sihanoukville. Kata Yusuf, ratusan pekerja migran itu tersebar di pelbagai perusahaan. Laporan dari kota lain juga didapat oleh Migrant Care, yakni di Kota Phnom Penh dan Poipet. Merujuk laporan tersebut, maka Migrant Care memprediksikan jika jumlah PMI yang mengalami hal serupa bisa lebih dari jumlah yang dirilis pemerintah.
Kasus penyekapan di Kamboja ini menambah panjang daftar hitam pekerja migran. Sebelumnya, sejumlah buruh migran ditemukan tewas di tahanan Imigrasi Tawau, Sabah. Berdasarkan laporan Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) diperkirakan terdapat 18 Warga Negara Indonesia ditemukan meninggal sepanjang Januari hingga Maret 2022.
Penahanan dilakukan pihak imigrasi Malaysia lantaran para pekerja migran tidak mengantongi dokumen dan izin kerja. Sepanjang Maret 2021 hingga Juni 2022 telah terjadi 10 kali deportasi dari 5 pusat tahanan imigrasi di Sabah menuju Nunukan, Kalimantan Utara. Dalam laporan KBMB pada 23 Juni 2022 lalu disebutkan luas rata-rata ruang tahanan yang hanya sekitar 8×12 meter persegi menampung sekitar 200-260 orang.
Baca juga: Pontang-panting Parpol Mengejar Viral
Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya fasilitas sanitasi yang layak. “Setiap DTI diperkirakan memiliki 10–14 blok di dalamnya. Seluruh blok tahanan dikabarkan dalam kondisi yang buruk, kotor, bahkan ada yang tidak terkena sinar matahari. Beberapa blok juga sangat bau, karena kondisi toilet yang penuh dengan kotoran,” demikian laporan KBMB.
Pada periode itu, masih dalam laporan yang sama, terdapat 2.191 buruh migran dan keluarganya yang dideportasi. Terdiri dari pekerja migran laki-laki sebanyak 1.765 (80%) dan 426 (30%) perempuan. Dari jumlah itu sebanyak 1.996 (91%) orang merupakan deportan dewasa, 195 (9%) anak-anak berusia 18 tahun, dan sedikitnya 57 anak-anak berusia di bawah 5 tahun (balita).
Anis mendesak pemerintah segera melakukan perlindungan pekerja migran secara optimal. Tanggungjawab ini seharusnya tidak hanya datang dari negara asal, negara tujuan pun perlu berkomitmen melindungi para pekerja migran. “Mesti datang dari dua negara sekaligus. Jadi dalam hal ini negara penempatan adalah Malaysia, negara pengirim adalah Indonesia,” tuturnya kepada Jaring.id.
Sepanjang Maret 2021 sampai April 2022, KBMB telah melakukan 9 kali pemantauan terhadap PMI dan keluarga deportan dari 5 pusat tahanan imigrasi di Sabah. “Pemantauan tersebut kami lakukan dengan menemui dan melakukan wawancara terhadap hampir seratus deportan di rumah susun yang dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UPT BP2MI) di Nunukan,” terang KBMB.