“Pelaut yang hebat tidak dilahirkan di laut yang tenang,” pepatah tersebut bisa menggambarkan riuhnya kepala Erika (bukan nama sebenarnya) yang tengah menjalani masa koas (co-assistant) di sebuah rumah sakit area Jawa Barat.
Berawal dari jadwal kunjungan pasien––salah satu kegiatan wajib saat menjalani stase Ilmu Penyakit Dalam (IPD)––yang harus dilakukan olehnya. Ia mesti mencatat informasi pasien yang masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan penyebabnya, serta menilai seberapa darurat penyebab pasien masuk IGD. Laporan tersebut kemudian mereka serahkan kepada dokter penanggung jawab. Responsnya, masih diingat Erika sampai sekarang.
“Jadi, saat melaporkan itu mungkin ada yang kurang lengkap atau tidak sesuai dengan kriteria dan keinginan dokternya. Jadi di situ dokternya sedikit agak memarahi kami, membentak. Seperti kata-kata ya tolol, bego, dan sebagainya seperti itu,” ujar Erika pada Jumat, 13 Juni 2025.
Tak terima dengan makian tersebut, ia sempat berpikir untuk melaporkan perlakuan konsulen kepada kepala program studi profesi dokter. Namun, pelaporan yang tidak dapat bersifat anonim dan kepala program studi profesi dokter yang kurang memberikan dukungan, membuat Erika mengurungkan rencananya.
Minimnya dukungan kepala program studi profesi dokter, menurut Erika, terjadi berulang. Ia menceritakan tentang seorang konsulen yang “mogok” mengajar. Penyebabnya adalah rencana salah seorang mahasiswa koas yang ingin melaporkan cara mengajarnya kepada kepala program studi profesi dokter. Sejak kejadian tersebut, tidak ada lagi laporan yang dibuat oleh koas.
“Jadi kami tuh nggak mau kena imbasnya. perjalanan di kehidupan (kedokteran) itu masih panjang. Mungkin suatu saat nanti masih butuh rekomendasinya, atau bisa ketemu di rumah sakit tersebut, atau di mana pun,” terang Erika dengan suara memelan.
Cerita lainnya disampaikan Maria (bukan nama sebenarnya) yang sedang menjalani jenjang preklinik. Merasa diperlakukan tidak adil, ia melaporkan kasus yang menimpanya kepada seorang senior. Namun, menurutnya, tak ada tindak lanjut apapun terhadap laporannya.
Ia kemudian memilih untuk meminta keadilan kepada seorang dosen. Alih-alih mendapatkan kejelasan, Maria justru mendapatkan respons tak menyenangkan.
“Berkali-kali ditekankan bahwa gue tuh nggak lulus (mata kuliah) sama dia. Abis itu gue di-treat kayak sampah dan mendapat perkataan-perkataan yang bikin hati sakit. Gue harus liat orang lain happy di atas kondisi gue yang sakit hati.”
***
Erika dan Maria hanyalah contoh kecil dari kasus perisakan yang terjadi di lingkungan pendidikan kedokteran. Untuk mendalami fenomena ini, tim liputan Jaring.id sempat menyebarkan Survei Perisakan di Lingkungan Pendidikan Kedokteran lewat akun sosial media pada April 2025. Hanya tiga responden yang bersedia ceritanya diangkat dalam liputan ini.
Dita (bukan nama sebenarnya), seorang koas di rumah sakit area Jawa Timur, bercerita tentang kekerasan verbal yang dialaminya. Kala itu, ia tengah memasukkan antrian untuk dokter muda, tetapi teman-teman sejawatnya merasa bahwa Dita “menyerobot” urutan. Dengan penuh amarah, mereka melontarkan berbagai kata kasar secara melalui grup percakapan dan e-mail.
“Dikata-katain goblok, bodoh, tolol, otaknya kayak lele, mau dieksekusi, diancem dokter muda 2 tahun gak bakal tenang, bakal di-bully abis-abisan,” tulisnya.
Rustam, seorang koas di rumah sakit area Sulawesi, bercerita tentang pengalamannya saat menjadi chief untuk puluhan koas. Ia mendapat perlakuan kasar secara terus menerus dari seorang senior, baik secara fisik, verbal, maupun daring.
“Saya membawa trauma sampai sekarang dan rutin berobat ke psikiater. Beberapa pimpinan fakultas telah mengetahui, namun saya yang tidak siap untuk kasus ini diungkap. Rasanya menghabiskan energi. Saya hanya ingin menyelesaikan sisa pendidikan saya tanpa harus bertemu dengan [senior] lagi,” terangnya.
Seorang koas asal Jawa Barat yang meminta identitasnya dirahasiakan bercerita tentang rangkaian tindakan spesial dan “sesajen” yang harus diberikan kepada seorang konsulen. Para koas bertanggung jawab untuk mengantar dan menjemput konsulen di rumah sakit pendidikan ke rumah sakit praktik selanjutnya. Pada waktu ujian, para koas diminta untuk menyediakan makanan dan minuman yang harganya tidak murah.
“(Pelaku) udah pernah ditegur oleh kampus, tapi tetap menjalankan hal seperti itu, sehingga kampus (seperti) tutup mata,” terangnya.
***
Cerita yang kami angkat, hanyalah gunung es dari fenomena perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran. Banyak korban enggan melapor karena takut karir kedokterannya tamat.
Pemerintah berusaha untuk mencegah kekerasan di lingkungan pendidikan tinggi melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Pendidikan Tinggi. Dalam aturan tersebut, kekerasan didefinisikan sebagai “,Kekerasan adalah setiap perbuatan dengan atau tanpa menggunakan kekuatan fisik yang menimbulkan bahaya bagi badan atau nyawa, mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis, dan merampas kemerdekaan, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.”
Aturan tersebut juga mengatur mekanisme pelaporan perilaku kekerasan. Korban bisa melaporkan secara langsung kepada pihak perguruan tinggi atau dapat mengisi kanal laporan yang disediakan Kementerian Kesehatan.
Laporan yang diterima kemudian akan diverifikasi. Pihak terlapor yang terbukti melakukan kekerasan akan menerima sanksi sesuai dengan tingkat kekerasan yang dilakukan. Mulai dari teguran tertulis, kewajiban mengirimkan permohonan maaf kepada korban, hingga dikeluarkan dari institusi pendidikan tinggi.
Berbagai laporan mendalam, salah satunya yang dipublikasi oleh Kompas.id, menyatakan bahwa kekerasan verbal dan bahkan pelecehan seksual menjadi permasalahan yang dapat terjadi. Pelakunya tidak lain adalah senior atau dokter yang bertanggung jawab atas perjalanan studi mereka.
Banyak data atau survei yang telah diadakan untuk menghitung prevalensi perundungan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan kedokteran––penelitian sebagian besar merujuk pada lingkungan PPDS.
Kami juga mencari berita mengenai perundungan atau kekerasan yang terjadi dalam institusi pendidikan kedokteran dalam lima tahun terakhir.
Beberapa tindakan yang menurut Iqbal bisa dianggap sebagai perundungan adalah pemalakan, pembungkaman, penekanan, dan intimidasi. Mengutip dari laman resmi IDI, perilaku yang diakui sebagai perundungan mencakup ancaman telepon, intimidasi, caci maki, serangan fisik tetapi tidak melukai, serangan fisik yang menyebabkan luka sederhana atau berat, pembunuhan, vandalisme, dan pembakaran.
Iqbal menambahkan, perbedaan antara cara didik yang dialami oleh dokter senior dan dokter di era sekarang menjadi salah satu faktor munculnya area abu-abu. Didikan dokter senior bisa dianggap tegas dan disiplin, sedangkan calon dokter atau dokter muda mempersepsikan hal tersebut sebagai bagian dari perundungan.
***
“Hmm,” jawaban itu yang keluar dari mulut Erika saat kami menanyakan niatnya untuk melanjutkan pendidikan kedokterannya.
Setelah sempat terdiam, ia melanjutkan “,Sebelumnya aku mau lanjut PPDS stase mayor. Tapi ternyata pas koas, justru mayor itu yang paling tinggi perundungannya. Apalagi dengar cerita dari konsulen.”
Selama menjalani masa koas, ia menerima berbagai cerita dari salah satu konsulennya mengenai proses pembelajaran PPDS di dalam stase mayor. Cerita-cerita tersebut biasanya dibumbui dengan kalimat “,Dulu saya lebih parah.”
Sementara itu, Maria masih berharap dapat melanjutkan karirnya di bidang kedokteran karena masih memiliki ketertarikan dalam beberapa bidang spesifik seperti di jantung dan saraf.
Mengutip dari laporan Tempo, Kemenkes menerima 540 laporan perundungan pada mahasiswa PPDS, 221 laporan di antaranya terjadi di rumah sakit vertikal Kemenkes, pada 3 September 2024.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga membuka ruang pengaduan kepada para mahasiswa kedokteran yang tengah menjalani program PPDS sejak Juni 2023. Pada 30 April 2025, laporan yang terkumpul oleh Kemenkes berjumlah 2.668 laporan, 632 di antaranya terverifikasi perundungan.
“Jadi, ada area yang jelas-jelas perundungan, ada area yang jelas-jelas bagian dari pendidikan. Tetapi ada area yang merupakan area abu-abu. Dan ini yang terbanyak,” ucap salah satu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Dr. Iqbal Mochtar, kepada Jaring.id pada 13 Juni 2025.
Menurutnya, pendefinisian area abu-abu tergantung pada orang (mahasiswa kedokteran) yang terdampak. Entah melihatnya sebagai aksi perundungan atau bagian dari pembelajaran. Iqbal yang turut andil mengevaluasi laporan perundungan yang dialporkan kepada IDI menyebut dari 3000-an laporan yang diterima, hanya sekitar 10 laporan yang dinyatakan IDI sebagai perundungan.
“Ini membuktikan bahwa ada persepsi dan asumsi yang tidak tepat terkait perundungan itu,” jelasnya.
Beberapa tindakan yang menurut Iqbal bisa dianggap sebagai perundungan adalah pemalakan, pembungkaman, penekanan, dan intimidasi. Mengutip dari laman resmi IDI, perilaku yang diakui sebagai perundungan mencakup ancaman telepon, intimidasi, caci maki, serangan fisik tetapi tidak melukai, serangan fisik yang menyebabkan luka sederhana atau berat, pembunuhan, vandalisme, dan pembakaran.
Iqbal menambahkan, perbedaan antara cara didik yang dialami oleh dokter senior dan dokter di era sekarang menjadi salah satu faktor munculnya area abu-abu. Didikan dokter senior bisa dianggap tegas dan disiplin, sedangkan calon dokter atau dokter muda mempersepsikan hal tersebut sebagai bagian dari perundungan.
***
“Hmm,” jawaban itu yang keluar dari mulut Erika saat kami menanyakan niatnya untuk melanjutkan pendidikan kedokterannya.
Setelah sempat terdiam, ia melanjutkan “,Sebelumnya aku mau lanjut PPDS stase mayor. Tapi ternyata pas koas, justru mayor itu yang paling tinggi perundungannya. Apalagi dengar cerita dari konsulen.”
Selama menjalani masa koas, ia menerima berbagai cerita dari salah satu konsulennya mengenai proses pembelajaran PPDS di dalam stase mayor. Cerita-cerita tersebut biasanya dibumbui dengan kalimat “,Dulu saya lebih parah.”
Sementara itu, Maria masih berharap dapat melanjutkan karirnya di bidang kedokteran karena masih memiliki ketertarikan dalam beberapa bidang spesifik seperti di jantung dan saraf.