Muhammad Kafandi tak bisa menolak perintah kapten kapal double trawl berbendera Korea Selatan untuk menjulurkan jaring di wilayah yang bukan menjadi daerah penangkapan pada 2015. Saat itu, dia diminta melepaskan jaring sekitar 1-2 mil dari bibir pantai. “Aktivitas dilakukan malam hari,” katanya kepada Jaring.id di sela media briefing Our Ocean Conference (OOC)—pertemuan internasional yang berfokus pada isu kelautan dan pembangunan ekosistem laut berkelanjutan, di lantai 32 Hotel Haeundae Centum, Busan, Korea Selatan, Minggu, 27 April 2025.
OOC ke-10 di Busan yang digelar pada 28-30 April 2025 lalu dihadiri sekitar 1.000 pemimpin global, termasuk kepala negara, pejabat tinggi lebih dari 100 negara termasuk perwakilan Indonesia, serta sekitar 400 organisasi internasional dan nirlaba, juga sejumlah media dari pelbagai negara. Di antaranya adalah Jaring.id yang diundang atas nama Pemerintah Korea Selatan untuk turut serta menghadiri pertemuan internasional tersebut.
Dalam tiga hari, konferensi yang memiliki sejumlah forum ini sedikitnya dihadiri oleh sekira 2.300 orang. Mereka tersebar dalam sejumlah forum, antara lain IUUF (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing) dan forum MPA (Marine Protected Area), serta pengelolaan ruang laut. Jaring.id mengikuti forum IUUF karena mengingat posisi Indonesia dalam index kejahatan IUUF sangat tinggi. Selain diikuti perwakilan pemerintah, forum tersebut juga dihadiri nelayan yang menjadi korban, termasuk Kafandi. Namun justru kami tidak melihat perwakilan pemerintah Indonesia dalam forum tersebut.
Setelah sesi konferensi pers, Kafandi melanjutkan ceritanya, di laut Semenanjung Korea yang dingin ketika itu, dia tak menyangka trawl yang ia tarik turut menggaruk semua ikan tanpa terkecuali, termasuk ikan-ikan berukuran 2 centimeter dari perairan tangkap nelayan kecil. Begitu pula dengan alat tangkap nelayan hingga terumbu karang. Penangkapan ilegal itu, kata dia, dilakukannya selama hampir satu tahun.
“Trawl ini mencuri ikan. Dia belum ditempat zona penangkapan sudah keluarkan jaring. Hasil tangkapannya mendapat terumbu karang, ikan kecil. Kapalnya mematikan lampu dan AIS ketika beraktivitas pada malam hari,” jelasnya.
Saat ini, penangkapan ikan semacam itu di Korea Selatan tak ubahnya dengan 10 tahun lalu. “Sampai saat ini tindakan itu masih terus terjadi,” kata Kafandi. Sebab pemerintah Korea Selatan masih abai dengan penangkapan tidak ramah lingkungan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Korea Selatan, Kang Do-hyung tak membantah adanya penangkapan ikan ilegal dan tidak tercatat. Pemerintah Korea Selatan telah mencoba melawan praktik penangkapan Illegal Unreported Unregulated Fishing (IUUF) dengan sejumlah regulasi terkait pemberantasan perikanan ilegal. Namun, kata dia, terdapat sejumlah kendala dalam penerapan aturan tersebut. Antara lain pengawasan kapal-kapal penangkap ikan.
Sejak 2023 lalu tingkat kejahatan IUUF di Korea Selatan terbilang tinggi. Index IUUF mendudukan Korea Selatan di peringkat ke 9 dari 152 negara dengan nilai 2,76.
Negara terburuk dalam penanganan IUUF adalah China dengan nilai 3,69, lalu Rusia (3,20), Yaman (2,99), India (2,97), Iran (2,93), dan Indonesia dengan 2,89. Sementara peringkat penanganan IUUF terbaik jatuh pada Rumania (1,62), Finlandia (1,72), Belgia (1,75), Swedia (1,80), dan Australia (1,82).
“Banyak tangkapan yang sebenarnya dilakukan dengan sistem dokumentasi tangkapan, serta sistem manajemen kehilangan tangkapan. Agenda khusus kami untuk konferensi OOC ke-10 adalah Digital Oceans dan di sini kami menyediakan untuk berbagi dengan dunia data yang telah kami digitalisasi secara transparan dan dapat diprediksi untuk mencegah IUUF,” kata Kang Do-Hyung dalam konferensi persnya di acara Our Ocean Conference yang berlangsung di gedung Bexco, Busan, Korea Selatan pada 28 April 2025.
Pada OOC ke 10 ini, Kang Do-hyung mengungkapkan pelbagai lembaga dan pemerintah telah menjalin komitmen untuk mendukung keberlanjutan ekosistem kelautan dan perikanan, termasuk melawan IUUF di seluruh dunia melalui kegiatan sustainability blue economy dan sustainability fisheries.
Komitmen tersebut bernilai USD 9 miliar setara dengan Rp 146 triliun yang dibagi dalam beberapa area kerja, seperti Ocean Climate Nexus sebesar USD 800 juta, marine pollution (USD 400 juta), Marine Protected Area (USD 117 juta), sustainability blue economy (USD 6 miliar), sustainability fisheries (USD 1,1 miliar), dan Maritime Security (USD 500 juta). Uang itu diperoleh dari hasil berunding sejumlah negara dan lembaga non pemerintah selama konferensi berlangsung. “Terdapat 271 komitmen yang telah dibuat dengan alokasi anggaran Komitmen sukarela yang telah dibuat dalam OOC ke-10,” kata Kang Do-Hyung.
Lain Korsel, lain juga dialami oleh Ghana. Negara Afrika ini masuk wilayah IUUF dengan resiko sedang. Berdasarkan Index IUUF 2023, Ghana menjadi negara nomor 105 dari 152 negara. Index IUUF memberikan penilaian 2,13.
Menteri Perikanan dan Akuakultur Ghana, Emilia Arthur tak menampik masalah yang dihadapi negaranya. Mulai dari pemalsuan identitas kapal, penangkapan di daerah terlarang, sampai lambatnya proses hukum. “Jadi, siapa yang sebenarnya memiliki armada-armada di perairan kita? Apakah kapal-kapal tersebut menangkap ikan di tempat yang seharusnya,” kata Emilia Arthur pada kegiatan OOC ke 10 di Busan.
Masalah lain ialah penangkapan ilegal menggunakan alat tangkap terlarang. Kata dia, tak jarang kapal yang beroperasi di perairan Ghana melakukan penggantian alat tangkap di tengah laut. “Tapi kami akan mengambil tindakan. Kami akan memastikan bahwa hal-hal yang benar dilakukan di negara kami,” ia meyakinkan.
Jika tak melakukan komitmen itu, dia tak tahu sampai kapan negara-negara Uni Eropa mencabut sanksi kepada negaranya lantaran tingkat IUUF tinggi. “Mereka tidak ingin ikan-ikan yang masuk ke Eropa berasal dari tangkapan illegal,” kata dia.
Itu sebab, Ghana terus berbenah untuk mengurangi sanksi yang diberikan Uni Eropa. Emilia menyampaikan bahwa pemerintahannya telah menuruti sejumlah regulasi internasional, hingga persyaratan yang diatur oleh Uni Eropa. Pemerintah Ghana, kata Emilia, mewajibkan agar kapal memasang Vessel Monitoring System (VMS) dan menghidupkan AIS saat berada di perairan Ghana. “Kami menginvestasikan perlengkapan teknologi. Kami juga melakukan pengawasan,” kata Emilia.
Ghana juga mereformasi hukum sektor perikanan dengan memperbanyak sanksi penegakan hukum kejahatan perikanan. Ia berharap tindakan yang telah dilakukan pemerintah Ghana dapat meyakinkan negara-negara Uni Eropa untuk menerima ikan dari Ghana. “Saat ini sedang dalam proses peninjauan. Sebelum akhir tahun ini selesai. Saya ingin bekerja dan bekerja dengan cepat tidak hanya untuk menyelamatkan lautan bagi Ghana dan para perempuan. Tolong berikan kami kartu kuning karena kami melakukan prosedur yang telah sesuai,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kelautan dan Perikanan Komisi Eropa, Charlina Vitcheva mengungkapkan bahwa butuh waktu bagi Uni Eropa untuk mengubah sanksi bagi Ghana. Sebab, menurutnya, pembuatan undang-undang dan penegakan hukum saja tidak cukup. Ghana sedikitnya harus meningkatkan kapasitas dalam hal pengawasan, penggunaan teknologi, hingga melakukan dialog dengan EU terkait pengurangan sanksi dari merah menjadi kuning. “Jika tidak ada dialog yang konstruktif dan tidak ada kemauan serta tindakan yang tulus, maka kita akan menggunakan kartu merah yaitu sanksi. Dengan kartu merah, kami melarang impor dan melarang akses ke pasar kami,” kata Charlina.
Korea Selatan, Ghana dan Kamerun Sepakati Piagam Transparansi Perikanan Global
Dalam OCC ke-10 tahun ini, negara-negara di Asia dan Afrika berhasil mencapai kesepakatan dengan menandatangani piagam terkait transparansi perikanan global yang diinisiasi oleh Coalition for Fisheries Transparency (CFT)—koalisi yang terdiri dari organisasi non pemerintah, seperti Oceana, EJF, Global Fishing Watch, WWF, Acuntabilityfish, Seafood Legacy, dan IOJI (Indonesia Ocean Justice Initiative).

Meski piagam tersebut bukan perjanjian internasional yang mengikat, namun berisi komitmen masing-masing negara dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan yang bebas dari praktik penangkapan ikan ilegal, serta pelanggaran hak asasi manusia. Bagi negara yang menyepakati piagam tersebut akan mendapatkan dukungan dari koalisi dan sejumlah lembaga internasional, mulai dari penguatan kapasitas sumber daya manusia, hingga penerapan teknologi.
Dalam OCC tahun ini, Korea Selatan, Ghana, Kamerun, dan Panama adalah sedikit dari 100 negara peserta yang telah secara resmi turut serta dalam Piagam Global untuk Transparansi Perikanan. Sebelumnya pada OOC ke-9 di Athena, United Kingdom telah lebih dulu menandatangani piagam yang memuat 10 prinsip guna memastikan keberlanjutan dan perlindungan terhadap manusia dan ekosistem laut.
Negara-negara yang telah menandatangani piagam tersebut wajib meregistrasi semua kapal penangkap ikan, kapal pengangkut berpendingin, dan kapal pemasok dengan nomor identifikasi unik dan juga memberikannya kepada FAO Global Record, RFMO. Selain itu, masing-masing negara perlu memuat daftar lengkap dan terkini dari lisensi kapal penangkap ikan, perjanjian resmi dan sanksi yang pernah dijatuhkan ke FAO Global Record, mempublikasi kepemilikan manfaat atas kapal, menegakkan pasal 91 UNCLOS yang mengatur tentang kewarganegaraan kapal, pendaftaran kapal, dan hak untuk mengibarkan bendera.
Kapal yang dapat masuk ke perairan ialah kapal yang menggunakan AIS, Vessel Monitoring System hingga perangkat deteksi kapal yang bisa diakses publik. Mereka dilarang melakukan bongkar muat di tengah laut (transhipment), menjamin kontrol ketat untuk akses makanan laut yang legal dan dapat dilacak, meratifikasi instrumen international, mempublikasi data perikanan, mendata identitas demografi awak kapal, serta menjamin hak-hak pekerja kapal.
“Piagam ataupun prinsip ini memang dirancang untuk dapat diimplementasikan oleh negara-negara di dunia,” ujar Direktur Coalition for Fisheries Transparency (CFT) Maisie Pigeon, 28 April 2025.
Menteri Perikanan dan Akuakultur Ghana, Emilia Arthur menyampaikan dukungannya terhadap piagam tersebut karena dianggap mampu mewujudkan keberlanjutan perikanan dan kelautan di Ghana. “Saya berdiri di sini dengan sepenuhnya mendukung Piagam Global untuk Perikanan, yang bagi saya berada dalam kerangka kerja akuntabilitas,” ujarnya.
Penasihat Teknis Menteri, Kementerian Peternakan, Perikanan, dan Industri Hewan Kamerun, Mimbang Irene Guy mengungkapkan komitmen negaranya untuk membuka seluruh akses data perikanan yang dibutuhkan. “Kamerun mendukung piagam global untuk Transparansi. Di tahun-tahun mendatang akan berupaya menerapkan prinsip-prinsip ini. Transparansi bagian dari upaya memerangi IUUF demi kepentingan penduduk dan pelaku ekonomi yang mematuhi peraturan. Kami menyadari bahwa ini adalah perjuangan jangka panjang,” kata Mimbang.
Direktur Koalisi untuk Transparansi Perikanan, Maisie Pigeon menyatakan Korea Selatan, Ghana, Kamerun, dan Panama merupakan negara Asia dan Afrika pertama yang menyetujui perjanjian tersebut. Terobosan ini akan menjadi pedoman bagi negara lain untuk turut berkontribusi menjaga ekosistem keberlanjutan perikanan dan kelautan di dunia.
Dia meminta agar negara-negara lain untuk mengikuti langkah tersebut dan bergabung dengan gerakan mengakhiri penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUUF), “Tanpa tindakan, penangkapan ikan IUU akan terus menguras sumber daya perikanan, merusak habitat laut, dan mengancam ketahanan pangan global,” ujar Pigeon.
CEO Environmental Justice Foundation (EJF), Steve Trent menyambut baik upaya yang dilakukan oleh Ghana, Kamerun, dan Panama. EJF menilai tindakan negara tersebut menjadi standar global untuk memerangi IUUF. “Ini merupakan terobosan penting bagi manusia dan bumi,” katanya.
Dengan penandatangan piagam itu, EJF yakin kejahatan perikanan akan jauh lebih mudah ditangani. “Dengan merangkul transparansi, negara-negara ini memetakan jalan yang harus diikuti oleh negara lain. Transparansi mungkin tampak abstrak, tetapi ini adalah alat yang ampuh untuk masa depan yang lebih baik. Transparansi memastikan nelayan dapat bekerja dengan aman dan bermartabat. Transparansi menyamakan kedudukan bagi operator yang bertanggung jawab. Melindungi satwa liar laut untuk generasi mendatang,” kata Stave.
Sementara itu, organisasi masyarakat sipil Global Fishing Watch serta Oceana mendukung kesepakatan antar negara di Our Ocean Conference (OOC). Selanjutnya, menurut mereka, pemerintah dapat menerapkan piagam itu dengan membuat kebijakan, standar prosedur, hingga pengawasan. Global Fishing Watch dan Oceana akan mendukung penerapan teknologi pemantauan dengan alat yang mereka miliki.
“Piagam ini dapat membangun tekanan pada negara lain untuk melakukan hal yang sama. Ini merupakan langkah penting dalam mencegah penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur, serta memastikan sumber daya laut digunakan secara lebih berkelanjutan.” katanya CEO Global Fishing Watch, Tony Long
Sementara itu, Presiden Oceana, Beth Lowell mewanti-wanti Korea Selatan, Ghana dan Kamerun untuk tidak menjadikan piagam itu secarik kertas belaka. Dia mendorong agar tiap negara mampu mewujudkan piagam tersebut dengan menerbitkan regulasi yang dapat memberantas IUUF. “Jadi dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan negara-negara lain untuk berkolaborasi agar perubahan kebijakan ini dapat dibukukan. Dari itu butuh memastikan bahwa Piagam ini diimplementasikan di dalam hukum dan kebijakan dan peraturan di negara-negara tersebut,” pungkasan.