Setengah Hati Kebijakan KTR Kampus

Papan peringatan berisi larangan merokok bagi perempuan tersemat di salah satu tiang ruang bawah tanah (rubanah) Universitas Pamulang (Unpam), Kota Tangerang Selatan, Banten. Bunyinya begini: “Dilarang bagi mahasiswi/wanita merokok di lingkungan Unpam/kampus. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi/dikeluarkan.”

Sedikitnya empat papan peringatan sejenis tersebar di rubanah hingga kantin kampus. Pada awal tahun ini, beberapa papan peringatan telah diturunkan oleh pihak kampus lantaran aturan bias gender tersebut viral di media sosial. Sebelumnya, akun Twitter @menghanyurkan membagikan papan peringatan diskriminatif tersebut. “Bedanya laki-laki sama perempuan merokok apaan? Laki-laki kebal dari kanker apa bagaimana?,” cuitnya pada 8 Januari 2020.

Pemberlakuan aturan larangan merokok bagi perempuan tidak hanya terjadi di Unpam, tetapi seluruh lembaga pendidikan yang berada di bawah Yayasan Sasmita Jaya Group, termasuk Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Widya Darma Husada. Mahasiswa keperawatan semester delapan, Fajar (25) menyebutkan bahwa aturan larangan merokok khusus perempuan bukan hal baru. Ia mengaku sudah melihatnya sejak duduk di semester tiga. Bahkan pada awal 2020, pihak kampus memperbanyak titik pemasangan papan peringatan. Padahal, menurut Fajar, perokok di kampus tidak hanya perempuan, laki-laki hingga staf pengajar pun kerap menggunakan area parkir dan kantin tersebut sebagai tempat mengepulkan asap rokok.

“Aku selalu setuju pada aturan yang ditetapkan, tetapi tolong itu harus ada counter-nya. Misalnya merokok dilarang di satu area, harus disediakan aturan juga di mana tempat merokok. Aturannya harus jelas dan tidak bias gender,” ungkapnya saat ditemui Jaring di Unpam, Selasa, 21 Januari 2020.

Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Unpam, Muhammad Wildan membantah jika aturan yang diterbitkan kampus bersifat diskriminatif. Meski jelas tertulis “mahasiswi,” ia berdalih, aturan itu juga ditujukan bagi perokok laki-laki. “Paling tidak dengan adanya kata-kata itu memberi efek kejut pada perempuan bahwa tidak boleh merokok. Bahkan secara kesehatan bahaya bagi perempuan, termasuk juga laki-laki,” ujarnya ketika ditemui di Unpam.

Hal ini, menurut Wildan, sesuai dengan aturan yayasan yang mana melarang seluruh civitas akademiknya merokok di lingkungan kampus. Larangan tersebut senafas dengan Undang-Undang 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Pasal 115 ayat 1 (b) menyebutkan bahwa tempat proses belajar mengajar diatur sebagai kawasan tanpa rokok (KTR).

Meski begitu, tidak banyak perguruan tinggi yang sudah menerapkan aturan tanpa rokok. Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mencatat sedikitnya sepuluh kampus yang baru menerapkan aturan KTR, yakni Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, Universitas Muhammadyah Prof DR. Hamka, Universitas Indonesia, Universitas  Sari Mutiara Indonesia, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah, Universitas Multimedia Nusantara, Universitas Udayana, UIN Syarif Hidayatullah dan Stikes Kesehatan Kendari. Jumlah ini masih jauh bila dibandingkan jumlah total perguruan tinggi di Indonesia. Merujuk portal Pangkalan Data Pendidikan tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan, jumlah perguruan tinggi saat ini mencapai 4659 kampus.

Penerapan aturan antirokok, baik di universitas negeri maupun swasta dilakukan dengan beragam level. Mulai dari hanya menerapkan KTR, sampai melarang penggunaan dana yang berasal dari perusahaan rokok. Kepala UPT Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan Universitas Indonesia (UI) Prof. Fatma Lestari menyatakan bahwa UI sudah mempersempit sebaran kawasan rokok sejak 2011. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Rektor UI Nomor 1805 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok. “Segala bentuk beasiswa, sponsor dan sumbangan yang terkait rokok juga tidak diperkenankan masuk kampus,” ujarnya kepada Jaring.

Menurut Fatma Lestari, peraturan antirokok tidak hanya berlaku bagi mahasiswa, melainkan juga seluruh staf pengajar dan pengunjung yang tengah berada di kawasan UI. Hanya saja, menurut Fatma, kawasan antirokok di UI belum diterapkan di seluruh titik. Kecuali fakultas yang berumpun kesehatan, Fakultas Kebudayaan dan Ilmu Sosial Politik masih belum steril dari asap rokok. Pihak fakultas hanya menerapkan KTR di lokasi tertentu, antara lain ruang kelas. Sedangkan kantin masih bisa digunakan para perokok.

Meski ada sedikit perbedaan, Fatma menegaskan semua fakultas sudah menerapkan KTR. Sanksi yang dikenakan bisa beragam, ada yang dikenakan denda Rp 100 ribu, hingga sanksi sosial seperti diminta menggambar larangan merokok yang kemudian dipajang di fakultas. “Sebenarnya kawasan pendidikan itu kawasan zero rokok dan perlu komitmen juga,” tegas Fatma ketika dihubungi, Jumat, 24 Februari 2020.

Upaya kampus menyosialisasikan KTR terlihat dengan banyaknya tanda larangan merokok di setiap sudut UI. Ketika Jaring mengunjungi kampus UI di Depok, ragam imbauan terpampang dengan frasa yang bernada persuasif, antara lain “Terima kasih untuk Tidak Merokok di Kawasan FIB UI.” Billy Surya Julvian, mahasiswa UI angkatan 2016 mengaku setuju dengan larangan merokok di lingkungan kampus. Menurutnya, kawasan pendidikan mesti ramah terhadap mereka yang tidak merokok. “(Tetapi) seharusnya sosialisasinya lebih ke personal, seperti melakukan workshop bahaya rokok sehingga lebih kuat kewajiban kita untuk tidak merokok. Kalau sekarang larangannya baru sekadar lewat tulisan,” katanya saat ditemui di kampus UI pada Kamis, 23 Januari 2020.

Berbeda dengan UI, Uhamka memiliki aturan larangan merokok yang lebih tegas. Kepala Pusat Kajian Kesehatan Uhamka, Muhammad Bigwanto (32) menjelaskan bahwa Uhamka steril dari asap rokok. Kata dia, peraturan tersebut mengikat siapa saja yang berada di lingkungan kampus. Sementara sanksi yang bisa diberikan kepada pelanggar aturan antirokok, mulai teguran hingga pemecatan. “Karena ada fatwa haramnya. Jadi semua kampus Muhammadiyah melarang rokok. Sifatnya arahan dari atas dan kita mengikuti arahan itu,” katanya.

Menurut Bigwanto, Uhamka termasuk kampus yang punya paket lengkap aturan antirokok. Selain menerapkan KTR, lembaga pendidikan di bawah naungan organisasi Islam, Muhammadiyah ini juga melarang beasiswa maupun kegiatan mahasiswa yang disponsori perusahaan rokok. Bahkan dalam proses penyaringan mahasiswa, Uhamka tak segan menolak perokok sebagai calon mahasiswa baru. “Sayangnya tidak banyak bila dibandingkan populasi kampus se-Indonesia. Mungkin sekitar sepuluh persen dari seluruh kampus,” ujar Bigwanto.

Selama ini, menurut Bigwanto, penerapan KTR kampus merupakan inisiatif masing-masing rektorat maupun Kementerian Kesehatan. Uhamka sendiri merujuk pada perintah PP Muhammadiyah, sedangkan sekolah tinggi maupun fakultas kesehatan biasanya merujuk aturan Kemenkes. Padahal, menurut Bigwanto, Dikti bisa meniru langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menerbitkan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok. “Kita sempat audiensi. Ternyata Kemenristek Dikti tidak antusias. Alasannya, karena bukan domain mereka dan dianggap sudah ada perda,” ujar Bigwanto.

Direktur Pembelajaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Paristiyanti Nurwardani mengakui pihaknya tidak menerbitkan aturan terkait KTR di lingkungan kampus. Padahal, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan jumlah perokok di atas 15 tahun sebanyak 33,8 persen. Dari jumlah tersebut 62,9 persen merupakan perokok laki-laki dan 4,8 persen perokok perempuan. Penerapan aturan antirokok di kampus, menurut Paristiyanti, merupakan otonomi masing-masing rektorat.

“Kecuali UU memberikan amanat ke Kementerian Pendidikan Tinggi membuat aturan KTR di kampus, tentu kami akan membuat aturannya. Kalau tidak ada amanat, kami biasanya hanya akan melakukan imbauan kepada perguruan tinggi,” ujarnya ketika dihubungi pada Kamis, 23 januari 2020.  Sejauh ini, Paristiyanti menambahkan, Kementerian Pendidikan Tinggi telah mendorong kampus menerapkan konsep green campus. Namun, program tersebut tidak spesifik menyasar rokok.

Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Cut Putrie Arianie, kampus sebagai tempat belajar mengajar seharusnya menerapkan KTR. Hal tersebut sesuai amanat Undang-Undang tentang Kesehatan. Kata dia, penerapan aturan KTR di kampus tidak perlu lagi aturan setingkat kementerian. Sebab rektorat bisa merujuk aturan yang sudah ada, termasuk peraturan daerah terkait KTR. “Dengan begitu siapa yang harus mengawasi penerapannya? Pemda (pemerintah daerah) sesuai dengan UU Pemda,” katanya lewat pesan singkat pada Jumat, 24 Januari 2020.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.