Sampai Filipina Burung Endemik Indonesia Diselundupkan

Air muka pemuda bertubuh tegap dengan rambut cepak yang tinggal di Jalan Mekar, Kadia, Kendari, Sulawesi Tenggara pada Minggu, 31 Maret 2024 tampak datar. Ia tak menyangka tempat yang ditinggali seluas sekitar 120 meter persegi disambangi orang yang bukan keluarga dari pemilik rumah, yakni Asriaddin—bintara Angkatan Laut berpangkat Sersan Mayor.

Rumah berdinding semen ekspos dengan pagar depan dari teralis besi itu terbuka saat kami sambangi akhir Maret lalu. Sebab selain hunian, rumah Asriaddin merupakan penangkaran satwa liar dan tumbuhan (TSL) berizin di Sulawesi Tenggara, termasuk burung paruh bengkok. Setelah melewati pembicaraan yang cukup alot dan beberapa kali berkomunikasi via WhatsApp ke pemegang izin TSL, kami diizinkan masuk untuk melihat seperti apa proses budi daya satwa liar di penangkaran.

Untuk sampai ke penangkaran kami harus melewati pintu berwarna hitam berbahan baja yang memisahkan antara tempat tinggal dan penangkaran. Sahut menyahut burung paruh bengkok terdengar dari dalam rumah yang memiliki sistem kamera pengawas berlapis di berbagai sudut, mulai dari depan pagar sampai teras rumah. Di dalamnya terdapat satu kandang kawat berukuran 5×8 meter persegi. Terdapat bilik kayu yang memisahkan antara satu kandang dengan kandang lain.

Pelbagai burung paruh bengkok terdapat di dalamnya. Antara lain burung kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea), kakatua alba (Cacatua alba) hingga nuri maluku (Eos rubra). Seluruh burung tersebut merupakan endemik dari Papua dan Maluku.

Dalam amatan kami, sebagian dari berbagai jenis burung paruh bengkok tak memakai cincin di kaki. Padahal cincin itu merupakan tanda yang lazim bagi burung yang dikembangbiakan di penangkaran. “Dulu banyak sekali di dalam (penangkaran), tetapi sekarang sudah kurang,” kata penjaga penangkaran yang tidak ingin disebutkan namanya kepada Jaring.id bersama Mongabay, Tempo, Zonautara.id, Kalesang.id, dan Gardaanimalia.com.

Menurutnya, sebagian besar burung merupakan peranakan yang diperoleh dari Jawa. Ada juga dari Papua, tetapi dia tidak tahu persis bagaimana burung-burung bisa sampai ke penangkaran lalu diperjualbelikan ke tangan lain.

Serikat Internasional untuk Pelestarian Alam atau disebut dengan International Union for Conservation of Nature (IUCN) sebetulnya telah menetapkan satwa tersebut masuk kategori rentan. Sementara Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)—sebuah perjanjian internasional untuk melindungi spesies yang terancam punah, menetapkan kakatua alba masuk kategori Appendix II.

Bahkan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 92/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 tentang Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Aturan itu menetapkan satwa itu sebagai burung yang berstatus dilindungi.

Pada 25 Mei 2024, tim kolaborasi mengkonfirmasi dugaan jual-beli parrot melalui penangkaran resmi milik Asriaddin. “Itu tidak benar,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa seluruh burung di rumahnya merupakan hasil pengembangbiakan di Jawa.

Meski begitu ia tidak bisa menjelaskan bagaimana burung-burung itu dikembangkangbiakan. Pun dengan cincin pada burung yang semestinya dilengkapi dengan sertifikat perdagangan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri (SAT-DN). Tanpa itu, seseorang tak diperbolehkan untuk memelihara, maupun memiliki burung yang dilindungi. “Kami peroleh dari Jawa yang berada di Surabaya,” ia mengulang pernyataanya.

Kata dia, burung tangkar yang ia miliki berstatus F0 (Filial 0) atau indukan burung hasil tangkapan alam. Ada juga yang berstatus F1 atau peranakan dari sepasang F0, yang tidak mungkin bisa keluar dari penangkaran atau dijual bebas. Dalam aturan perdagangan satwa dilindungi di Indonesia, hanya satwa keturunan F2 dan seterusnya yang boleh diperdagangkan secara bebas. Hal itu dibuktikan dengan sertifikat dan ring dari BKSDA.

Burung kakatua jambul kuning. Foto: Tim Kolaborasi

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara mengakui bahwa Asriaddin memiliki izin penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL). Hal itu ditandai dengan kepemilikan Sertifikasi Standar dari Pemerintah Republik Indonesia untuk melaksanakan kegiatan berusaha berupa Penangkaran Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) yang berlaku resmi dari sejak 14 Maret 2023. Nama perusahaan yang diregistrasikan tertulis atas nama Mekar Parrot.

Dokumen itu melampirkan lembar data sumber indukan parrot berupa: kakatua jambul putih (Cacatua sulphurea) 2 ekor, kakatua tanimbar (Cacatua goffiniana) 2 ekor, nuri talaud (Eos histrio) 4 ekor, nuri kepala hitam (Lorius lory) 4 ekor, nuri ternate (Lorius garrulous) 2 ekor, nuri seram (Lorius domicella) 2 ekor, kakatua rawa (Cacatua sanguinea) 6 ekor, nuri pelangi dada kuning (Trichoglossus merigod) 2 ekor, nuri bayan (Eclectus roratus vosmaeri) 10 ekor.

Salinan dokumen itu juga menerangkan jika pemilik usaha penangkaran yang membudidayakan burung jenis paruh bengkok wajib melaporkan realisasi kegiatan penangkaran TSL kepada Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (DIRJEN KSDAE) melalui Kepala BKSDA Sultra  dengan tembusan kepada Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik (KKH SG) paling lambat setiap tanggal 5 (lima) setiap triwulan.

Laporan yang harus diisi antara lain data kelahiran, perbanyakan, kematian, penjualan untuk setiap generasi. Pemilik juga diwajibkan membuat buku silsilah (studbook) dan membuat catatan kegiatan (logbook) yang diketahui oleh BKSDA Sultra berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kendati memiliki izin, BKSDA mengakui Asriaddin tidak pernah melaporkan aktivitas penangkaran, mulai dari jumlah satwa, anak yang lahir dari hasil tangkaran, dan laporan kematian satwa selama memiliki izin. Kepala Seksi Konservasi Wilayah Kota Kendari–BKSDA Sultra, Ahmar mengaku telah beberapa kali menyampaikan rencana kedatangannya ke penangkaran tersebut. Namun rencana itu tidak pernah terealisasi. “Pemegang izin penangkaran TSL bersangkutan selalu beralasan sedang tidak di rumah,” ujarnya.

Humas Pangkalan TNI Angkatan Laut Kendari, Letda Laut (P) Fajar, saat dikonfirmasi melalui telepon membenarkan jika Asriaddin merupakan prajurit aktif yang bertugas di wilayah Kendari. “Masih aktif sampai sekarang,” katanya saat dikonfirmasi melalui telepon pada akhir Februari 2024 lalu.

Praktik yang dilakukan Asriaddin selain bertentangan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 19 Tahun 2015 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa liar, juga melanggar Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Belied itu melarang prajurit aktif untuk memiliki usaha maupun bisnis.

****

Praktik penjualan ilegal satwa dalam penelusuran tim kolaborasi tidak hanya mencakup pasar dalam negeri. Parrot endemik Wallacea dan Papua diketahui dikirim ke Makassar—hub Indonesia Timur, sebelum diselundupkan ke luar negeri.

Parrot ilegal tersebut dikirim melalui Kepulauan Sangihe di Sulawesi Utara, lalu masuk ke General Santos, Filipina Selatan lewat jalur laut dengan perahu pompa sebelum dijajakan ke negara-negara lain. Parrot yang terkumpul di General Santos bukan hanya dari Makassar, melainkan juga berasal dari Maluku Utara.

Sejumlah pemburu dan pengepul yang terlibat perdagangan satwa liar paruh bengkok ke Filipina terbilang lihai. Salah satu yang masyhur di kalangan pemburu bernama Felip. Ia telah menyelundupkan burung ke luar negeri selama puluhan tahun. Burung paruh bengkok yang diselundupkan berasal dari Halmahera Utara.

Saat kami menemui Felip, bapak tiga anak ini terlihat lihai menjerat satwa. Dia mewarisi “ilmu berburu” itu dari ayahnya yang juga terkenal sebagai pemburu sejak muda di Kepulauan Sangihe—sebuah pulau yang berada di barat laut Sulawesi, yang berdekatan dengan Pulau Mindanao, Filipina.

Felip menceritakan ia biasanya menyelundupkan satwa liar setiap tiga bulan sekali ke Filipina. Paling sedikit 200 ekor paruh bengkok. Mulai dari kakatua putih, kasturi ternate, dan nuri bayan. Burung itu ditampung dalam kandang besi berukuran 100 x 50 centimeter. Kandang itu didesain khusus berukuran selebar perahu pumpboat agar mudah disusun. “Tergantung banyak burung. Kalau 100 ekor lebih, paling 7 kandang,” ujar Felip saat ditemui di rumahnya.

Aktivitas penyelundupan berlangsung malam hari agar tak diketahui aparat penegak hukum. Burung yang siap dikirim diletakkan di perahu pumpboat dengan hanya penutup terpal. Supaya lebih aman, tiap kandang disusun di bawah cool box (kotak pendingin). “Jadi kalau liat dari jauh tu coolbox, tinggal bilang ikan to,” timpal Yosua—salah satu kerabat Felip.

Felip menceritakan saat perahu berlayar menuju General Santos, para pembeli asal Filipina akan menunggu dan buru-buru memindahkan satwa asal Indonesia itu ke dalam mobil. Selanjutnya, hewan eksotik tersebut dibawa ke Davao dan Manila. Harga jual burung kakatua di Filipina dapat mencapai Rp1-5 juta per ekor. “Harga lebih mahal dari di Indonesia” ungkapnya.

Tim kolaborasi telah menganalisis titik keberangkatan satwa liar dari Sangihe menuju Filipina. Salah satu jalur yang kerap digunakan ialah jalur Kota Tahuna yang akan melewati Pelabuhan Petta, Batuwingkung, Manalu, Kaliwatu, Naha, Kendar, untuk kemudian ke Pulau Tinakareng. Jalur-jalur ini masih dipakai untuk menyelundupkan satwa endemik hingga saat ini.

Salah satu penerima burung paruh bengkok adalah Erik—bukan nama sebenarnya. Ia tinggal di General Santos, Filipina. Ia mengaku pernah membeli burung nuri asal Indonesia. “Itu nuri Ternate saya yakin. Saya beli seharga Rp2 juta,” kata lelaki yang fasih berbahasa Indonesia. Lewat sambungan telepon ia memastikan barang yang masuk keluar Indonesia Filipina lewat Sangihe.

Foto: Tim Kolaborasi

Erik menjelaskan bahwa tidak sedikit toko di General Santos yang menjual burung asal Indonesia. Hanya saja untuk jenis kakatua jarang terlihat. Sebab biasanya burung tersebut dibawa ke kebun binatang, seperti Genalin Park Zoo and Rescue Center, Baluarte Zoo di Vigan City, Cagayan De Oro, dan kebun binatang di Davao City.

Ia menjelaskan kebun binatang Genalin Park seluas 10 hektare milik seorang Gubernur di Cotabato. Sementara yang terbesar berada di Baluarte Zoo. Luas wilayahnya bisa dua kali lipat dari Genalin Park. Kebun binatang ini diketahui milik salah satu orang kaya di Filipina, Chavit Singson’s.  Sedangkan wilayah Davao City dan Cagayan De Oro yang berada di Pulau Mindanao diduga dimiliki mantan Presiden Filipina, Duterte. “Di sana lebih banyak, bahkan ada burung paruh bengkok,” jelasnya.

Dengan penelusuran melalui sumber terbuka (OSINT), termasuk analisa video yang tersebar di Youtube dan Facebook, kami mendapati bahwa Kebun Binatang Davao City dan Cagayan De Oro memiliki burung kakatua alba dan nuri yang dikerangkeng di dalam kandang-kandang besi. Keberadaan satwa Indonesia di kebun binatang itu diduga tak melalui mekanisme kerjasama antarnegara. Ini karena kebun binatang tak memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia.

Tindakan tersebut jelas bertentangan dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-II/2012 tentang Pertukaran Jenis Tumbuhan atau Satwa Liar Dilindungi dengan Lembaga Konservasi di Luar Negeri. Aturan lainnya, tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.83/Menhut-II/2014 tentang Peminjaman Jenis Satwa Liar Dilindungi ke Luar Negeri untuk Kepentingan Pengembangiakan.

Hal itu diperkuat dengan tak adanya rekam jejak pencatatan ekspor resmi dari Indonesia ke Filipina yang dicatat oleh Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Rekaman CITES hanya mendata perdagangan jenis ikan arwana ke negara yang juga disebut negeri yang memiliki 7101 pulau. Sementara paruh bengkok tak ada satupun yang resmi tercatat.

Peneliti dari Traffic yang bermarkas di Filipina menemukan praktik serupa. Data impor yang dicatat di Filipina tak sesuai dengan dokumen resmi dan dinyatakan tidak sah. Anehnya, Filipina, menurut Traffic, justru mencatat adanya ekspor burung yang berasal dari Indonesia ke Eropa. Praktik itu diduga bagian dari skema pencucian burung. Seolah burung diperoleh dari tindakan resmi, padahal praktiknya didapat secara ilegal.

“Catatan tersebut menunjukkan bahwa Filipina telah sangat kurang melaporkan impor spesies burung Indonesia dibandingkan dengan jumlah yang dilaporkan oleh para eksportir. Dalam beberapa kasus, ekspor burung Indonesia dari Filipina terjadi sebelum impor legal yang pertama kali dilaporkan,” kata peneliti Traffic, Serena Cheng.

Organisasi yang berkutat pada perdagangan satwa ilegal ini juga menyampaikan setidaknya ada 1.300 burung Indonesia dari 28 spesies pernah disita dari praktik perdagangan ilegal di Filipina pada 2020. Mereka juga menemukan 800 burung Indonesia yang dijual secara online lewat 144 group Facebook. “Burung-burung liar Indonesia sudah terancam punah akibat perburuan liar dan perdagangan burung internasional. Ancaman ini tiga kali lipat dari ketersediaan yang mudah didapat secara online, penyelundupan, dan perdagangan legal yang meragukan di Filipina menambah tekanan,” ujar Serena.

Sementara peneliti Traffic lainnya, Emerson Sy mengatakan bahwa selain dijual langsung kepada pembeli, burung-burung yang diselundupkan dari alam liar juga diketahui dicuci ke dalam jalur perdagangan legal, seringkali melalui fasilitas penangkaran di Filipina. Ia tak menampik adanya jalur penyelundupan melalui Papua, Maluku, lalu ke Sangihe akan berujung ke General Santos, lalu ke Luzon Tengah, dan Mindanao Tenggara. Setelahnya akan dimasukkan ke kebun binatang dan lokasi penangkaran.

“Inilah mengapa kami merekomendasikan pihak berwenang untuk melakukan pemeriksaan fisik dan audit dokumen secara teratur dan menyeluruh terhadap semua memelihara dan menangkar satwa liar Indonesia yang terdaftar di Filipina,” jelas Emerson Sy.

Traffic telah mendesak pemerintah Filipina untuk memastikan legalitas izin ekspor burung endemik Indonesia dan diketahui oleh Sekretariat CITES terkait data pengembiakan hingga ekspor spesies Apendiks CITES. Selain itu, Traffic juga mendorong agar Indonesia dan Filipina membangun sistem informasi regional seperti Trade in Wildlife Information Exchange (TWIX) untuk memastikan adanya komunikasi dan koordinasi lebih ketat dalam melakukan penindakan hukum lintas batas. “Sistem ini juga dapat memfasilitasi pengambilan spesies burung Indonesia yang disita ke habitat aslinya dengan cepat,” ujarnya.

Praktik penjualan burung endemik di lokapasar. Foto: Tim Kolaborasi

Praktik penjualan satwa ilegal dari Indonesia ke luar negeri diperkuat dengan keberadaan etalase pasar digital melalui media sosial. Salah satu kanal penjualan yang digunakan, yakni Facebook juga WhatsApp Group. WAG yang teridentifikasi ialah “Pasar Hewan Sulawesi.” Di lapak ini para penjual bisa menawarkan pelbagai jenis satwa, namun admin tak sembarangan mengundang orang untuk masuk ke dalam grup. Ini karena para penyelundup satwa memiliki pelanggan setia.

Dalam praktiknya mereka membangun sistem pembayaran dengan menggunakan nomor rekening bersama atas nama Layla Raden. “Dia (rekber) cuma perantara uang. Banyak saya lihat di grup se-Indonesia pakai (Layla Raden),” ucap Reza—bukan nama sebenarnya, salah seorang pemelihara satwa liar, Selasa, 26 Maret 2024.

Reza yang pernah menjadi kurir perdagangan satwa ilegal hingga ke luar negeri menceritakan bahwa pengiriman dilakukan melalui jalur kapal kargo. Sebelum dikirim ke negara tetangga, Malaysia, Thailand, dan Filipina, satwa dikemas menggunakan kardus. “Selama perjalanan di laut, pengirim atau sopir yang akan memberi makan ke satwa yang diselundupkan,” kata Reza.

Tim kolaborasi telah berusaha mengonfirmasi temuan ini kepada Direktur Jenderal Konservasi Sumber daya Alam dan Ekosistem, Satyawan Pudyatmoko. Namun Satyawan menyarankan agar kami menghubungi Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, Nunu Anugerah. Namun hingga tulisan ini tayang, yang bersangkutan belum memberi jawaban.

Kendati demikian, KLHK telah memastikan bahwa satwa yang berada di sejumlah kebun binatang Filipina adalah ilegal. Ini karena tidak pernah ada kerjasama, baik pertukaran maupun peminjaman satwa dilindungi jenis burung paruh bengkok dengan kebun binatang di Filipina. “Saat ini tidak ada kerjasama pertukaran maupun pinjaman ke Negara Filipina seperti di Cagayan De Oro, Baluarte Zoo, Genalin Park & Zoo and Rescue center, Davao crocodile Park, dan Philippine Eagle Center,” kata penanggung jawab sementara Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Nuke Mutikania, melalui surat pada 14 Maret 2024.

 


Laporan ini merupakan kolaborasi Jaring.id bersama Mongabay Indonesia, Tempo, Zonautara.com, Kalesang.id, dan Garda Animalia. Liputan ini berupaya mengungkap perdagangan ilegal satwa endemik Wallacea dan Papua dari dalam negeri sampai ke mancanegara. Liputan ini didukung dan didanai Garda Animalia lewat program Fellowship Bela Satwa Project 2023.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.