Peringatan: Artikel berikut mengandung konten yang dapat memicu orang-orang yang memiliki pemikiran atau keinginan untuk bunuh diri. Apabila kamu salah satunya, maka kami tidak menyarankan kamu untuk membaca. Segera hubungi tenaga profesional kesehatan jiwa, baik psikolog maupun psikiater jika kamu memiliki pemikiran atau keinginan tersebut.

Hari-hari pada awal bulan Juli tahun lalu di Karo, Sumatera Utara tampak akan berjalan seperti biasa bagi keluarga Tarigan. Tapi semua berubah ketika ia mendapatkan kabar bahwa putrinya yang bekerja di Jerman tewas pada 10 Juli 2023. Yang paling menyesakkan buat Tarigan ialah ketika ia tak bisa bertanya-tanya langsung ihwal kematian putrinya. Sebab Hanau—kota di mana putrinya tinggal, yang hangat pada bulan Juli terlalu jauh baginya. Ada jarak lebih dari 9 ribu kilometer yang membentang antara Kabupaten Karo-Jerman. Kontak satu-satunya yang bisa Tarigan hubungi ialah Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Frankfurt.

“Keterangan kematian anak kita itu tidak ada dari Kepolisian Jerman. Autopsi atau bagaimana tidak ada. Jadi kita hanya tunggu kedatangan jenazah,” ungkapnya menggunakan bahasa Karo, Rabu, 8 November 2023.

Lepas sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, keluarga Tarigan menanti kepulangan jenazah Nanda—bukan nama sebenarnya. Setelah 13 belas hari berselang sirine mobil ambulans terdengar dari kejauhan memecah keheningan di dalam rumah Tarigan. Tangis pun pecah. Ibu Nanda menjerit, tak terkecuali suaminya. Orang-orang yang sedari pagi hilir mudik di rumah itu pun turut berbondong-bondong menjejali halaman rumah.

Dalam sebuah video yang direkam salah satu pelayat, tampak seorang perempuan paruh baya menggunakan tutup kepala khas Karo berwarna merah marun histeris setelah pintu belakang mobil pengantar jenazah dibuka. Sesaat kemudian ia tak sadarkan diri menyaksikan anaknya yang baru berusia 25 tahun terbujur kaku di dalam peti mati. “Saat itu anak saya diantar oleh beberapa polisi, tapi tidak boleh ditengok petinya sampai penguburan selesai,” ujar Tarigan.

Sampai saat ini tidak banyak yang diketahui keluarga Tarigan tentang ihwal kematian anaknya. Yang ia ketahui hanyalah kabar bahwa putrinya bekerja sebagai au pair di Jerman mengakhiri hidup dua hari setelah berkomunikasi dengan keluarga di Karo. “Tapi mengapa bunuh diri,” ia bertanya-tanya.

Tarigan mengungkapkan bahwa selama ini tidak ada yang janggal dari sikap Nanda. Ia tergolong anak yang ceria, begitu pula ketika memberikan kabar melalui sambungan telepon. “Tidak ada yang aneh pada saat itu. Nada bicaranya sama bahagianya seperti sebelum-sebelumnya. Tapi setelah itu tidak ada kabar apapun,” ucapnya sembari menahan air mata mengingat komunikasi yang dilakukan pada Rabu, 8 November 2023.

Pada hari yang sama, Nanda meninggalkan pesan terakhir di salah satu WAG berisi orang Indonesia yang tinggal di Jerman sekitar Pukul 14:40 waktu setempat. Salah seorang yang tergabung dalam WAG menuturkan bahwa Nanda saat itu bertanya mengenai visa yang sudah kedaluwarsa. “Bagaimana ya caranya, solusi untuk visa yang kedaluwarsa? Pihak imigrasi sudah memaksa pulang ke Indonesia,” begitu tulisnya dalam salinan percakapan yang diterima Jaring.id dan Rappler.

Nanda meninggalkan Indonesia pada 21 November 2022. Sejak itu berarti sudah hampir setahun ia tinggal di Jerman untuk menunaikan program pertukaran budaya atau dikenal dengan sebutan au pair. “Diantarkan dengan penuh suka cita dan berharap ia dapat belajar banyak hal di sana,” gumam Tarigan menyeka air mata.

Au pair adalah sebuah program yang memungkinkan setiap pendaftar berkesempatan tinggal bersama orang tua angkat di luar negeri dengan syarat dapat membantu pekerjaan rumah dan mengasuh anak-anak mereka. Biasanya pemilik rumah akan memberikan upah berupa uang saku (pocket money), kursus bahasa negara tujuan, dan fasilitas penunjang lainnya, seperti transportasi.

Jumlah uang saku yang diterima au pair bervariasi sesuai dengan negara host family berada. Di Jerman, uang sakunya berkisar 280-300 EURO atau setara Rp 4,4-4,8 juta per bulan. Sedangkan di Belanda terpaut sekitar 50 Euro lebih tinggi, yakni sebesar 300-350 EURO atau sekitar Rp 5 -5,5 juta per minggu.

Saat ditemui di rumahnya, Tarigan mengaku tak tahu menahu mengenai jumlah pendapatan anaknya selama berada di Jerman. Bahkan ia menyebut tidak mengenal orang yang memberi Nanda upah dan tempat tinggal. Ia hanya pernah ditunjukan sebuah foto menampilkan beberapa laki-laki dan perempuan yang wajahnya mirip orang Timur Tengah, antara Arab atau Turki. “Waktu itu ada acara ulang tahun salah satu anggota keluarga angkatnya. Semua di sana, Nanda yang mengambil gambarnya,” katanya.

Meski begitu, kata dia, Nanda sendiri tidak pernah tinggal bersama keluarga angkatnya sejak kali pertama menginjakkan kaki di Jerman. “Tapi diberi kost oleh keluarga angkatnya,” jelasnya. Mula-mula Tarigan pikir hal itu biasa terjadi kepada WNI yang mengikuti program pertukaran budaya au pair, tapi lama-lama ia mulai heran dan bertanya-tanya mengapa perlakukan keluarga asuh Nanda berbeda dengan kebanyakan au pair lain. “Ternyata berbeda dengan teman-temannya yang tinggal bersama,” ujarnya.

Setelah Nanda wafat, program au pair di matanya terlihat sedikit berbeda dari yang diceritakan anak perempuannya. Menurutnya, menjadi au pair tak lebih dari pekerjaan domestik yang dilakukan buruh migran asal Indonesia. Ikatan kekeluargaan maupun pertukaran budaya yang dielu-elukan sama sekali tak tampak ketika putrinya menghembuskan nafas terakhir. Karena itu, Tarigan tidak bisa tidak bertanya-tanya jenis manusia semacam apakah mereka. “Mengapa tidak ada satupun ucapan kepada saya dan keluarga? Padahal katanya anak saya di sana sebagai anak angkat,” ujarnya.

“Satu-satunya surat yang saya terima bersama jenazah Nanda hanyalah surat pengantar jenazah dari kedutaan dan KJRI Jerman,” ia menambahkan.

Sementara barang-barang peninggalan Nanda di Jerman yang hanya berupa pakaian dan sepatu tiba belakangan setelah prosesi pemakaman selesai. Anehnya, Tarigan menceritakan bahwa tidak satu pun dari pakaian Nanda yang sesuai ukuran, bahkan ukuran sepatunya lebih besar ketimbang kaki putrinya. “Kami tidak mengenali satu pun baju yang dikirim. Bahkan kopernya datang sudah dalam keadaan rusak bahkan pecah,” ungkap dia.

Salah seorang kawan Nanda di Jerman, tanpa mau diungkap identitasnya, menyebut bahwa Nanda sempat mengeluhkan beberapa hal tentang keluarga angkatnya. Salah satu masalah yang paling mendasar adalah mengenai pemenuhan hak sesuai perjanjian. “Pertama tidak diberi kursus bahasa, lalu tempat tinggal yang layak. Bahkan untuk mengganti jenis visanya itu tidak diperbolehkan oleh host family-nya,” katanya kepada Jaring.id melalui panggilan video, Senin, 27 November 2023.

“Nanda diperlakukan tidak selayaknya manusia di rumah itu,” imbuhnya.

Walaupun demikian, ia tidak mengetahui persis apa yang mendorong perempuan usia 25 tahun mengakhiri hidupnya. Pihak KJRI maupun KBRI Indonesia di Jerman tidak bisa menjelaskan secara pasti.

Penelusuran media sosial Nanda berupa TikTok, Instagram, dan Facebook yang dilakukan oleh tim memperjelas tanda-tanda Nanda akan mengakhiri hidupnya. Di TikTok, Nanda memiliki dua buah akun, akunnya yang pertama tidak lagi mengunggah kegiatannya sejak 2020 lalu. Kemudian terdapat akun baru dengan singkatan namanya. Mayoritas konten yang diposting ialah kegiatannya selama di Jerman.

Unggahan pertama dilakukan Nanda pada 20 April 2023. Saat itu, ia merekam dirinya sembari menambahkan teks berjalan. Dari situ terlihat kalimat-kalimat yang menunjukkan bahwa perempuan asal Karo ini lelah dan memilih untuk menyerah.

Pada Sabtu, 13 Mei 2023 lalu, Nanda pernah mengunggah sebuah video di Facebook dengan nama asli. Saat itu, ia tampak menunjukkan jalan dan halaman depan rumah yang tinggali. Sehari kemudian Nanda mengunggah sebuah foto dirinya bersama kedua orang tuanya. Dalam foto tersebut terlihat Tarigan yang tengah mengenakan baju polo berwarna hijau, dan ibunya menggunakan daster berwarna putih dengan corak bintang berwarna merah jambu.

Setelah itu Nanda tak lagi mengunggah sesuatu di media sosial. Baru pada 27 Juni 2023 ia mengunggah konten berlatar jalanan di Jerman dengan menuliskan quote, “anfang ist sehr schwierig yang berarti semua permulaan selalu terasa sulit,” tulisnya.

Dalam unggahan yang lain Nanda menulis tagar dengan Bahasa Jerman. “Ada kalanya pikiran kita sendiri yang memperumit hidup kita #tscüss,” tulisnya. Tagar itu kemudian memicu banyak perdebatan di kolom komentar. Ini karena kata tersebut berarti salam perpisahan atau selamat tinggal dalam Bahasa Jerman.

Tiga belas hari berselang sejak unggahan tersebut, salah satu media di Jerman, yakni Fuldaer Zeitung memberitakan kematian Nanda dengan judul “Dramatischer Unfall:19-Jährige stürzt Strommast und verletzt sich lebensgefährlich.” Media tersebut mengabarkan bahwa telah terjadi kecelakaan yang melibatkan remaja berusia 19 tahun pada Senin, 10 Juli 2023 sekitar pukul 15:45 waktu setempat.

Dalam tulisan tersebut diketahui bahwa Nanda terjatuh dari tiang listrik setelah melintasi rangkaian kereta yang sedang terparkir di sekitar stasiun kereta Kota Hanau, Distrik Main Kinzig Kreis, Hesse, Jerman. Kemudian korban dibawa dengan helikopter ke Klinik Kecelakaan Utama Frankfurt am Main sejam setelah peristiwa mengenaskan itu terjadi.

Dari Jerman, jenazah Nanda dibawa ke Karo, Sumatera Utara melalui Bandara Kuala Namu pada 23 Juli 2023.  “Jenazah itu datang sekitar Pukul 11:45 di bandara menggunakan maskapai Garuda Indonesia,” kata Ketua PAC PBB Bringin, Jackson Purba yang mengetahui pemulangan jenazah. Menurutnya, kedatangan jenazah Nanda telat beberapa jam karena transit di Jakarta. “Seharusnya dijadwalkan jam 9, telat dua jam,” tutupnya.

 


Kisah berjudul “Pulang dalam Peti Jenazah,” merupakan bagian ketiga dari 4 artikel yang membahas problematika orang-orang Indonesia ketika menjadi au pair. Sebelummnya, kami menerbitkan Lara Au Pair dalam Penampungan Keluarga Asing” dan Bermimpi Mujur dari Tanah Eropa.

Atas dukungan Jurnalism Fund kami mengerjakan naskah ini pada pertengahan tahun lalu berkolaborasi dengan media Belanda, OneWorld.nl. Tulisan ini juga akan terbit di serbukindonesia.org dan media asal Filipina, Rappler.


Tim Kolaborasi

Penanggung Jawab: Kholikul Alim (Jaring.id)

Reporter: Abdus Somad, Sonya Andomo, Asmariyana (Indonesia); Sarah Haaij (Belanda)

Penyunting: Damar Fery Ardiyan (Jaring.id)

Ilustrasi: Ali (Jaring.id)

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.