Tujuh tahun menyewa salah satu kamar indekos milik Erminto di Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta, Lina–sebut saja begitu–sama sekali tak menaruh curiga pada si pemilik. Ia bahkan tak segan merekomendasikan indekos berlantai dua tersebut kepada orang lain. Salah satunya Angela, adiknya.
Namun, semua buyar pada satu malam, tahun lalu. Ketika itu, adiknya menangis tak terkontrol di ujung sambungan telepon.
“Dia (Angela) cerita histeris, tidak stabil, menangis, sambil suara tersedak-sedak,” terang Lina kepada tim kolaborasi liputan kekerasan seksual di indekos yang terdiri dari Jaring.id, Suara.com, Koran Tempo, IDN Times dan Konde.co pada Kamis, 2 Desember 2021.
Angela bercerita kalau Erminto mengajaknya ikut acara syukuran untuk merayakan keterisian kamar indekos. Selepas, mengiyakan, Erminto justru meresponsnya dengan memeluk dan mencium pipi Angela. Selepas itu, ia juga sempat memberikan uang sejumlah Rp 400 ribu.
“Dengan adanya pandemi COVID-19, terdapat juga banyak korban (kekerasan seksual) yang tidak bisa untuk pergi dan terpaksa untuk berada didalam ruang yang tertutup bersama pelaku,” kata Prilia Kartika Apsari dalam ringkasan tahunan Hope Helps UI 2021.
Erminto enggan mengakui telah melakukan pelecehan seksual. Meski demikian, ia tak membantah kalau telah memeluk dan mencium Angela. Tabiat itu, diakuinya, biasa dilakukan pada penghuni lain.
“Dia nangis, tujuannya untuk menenangkan. Menenangkan seperti kepada cucu saya kalau nangis. Saya rangkul,” ucapnya kepada tim kolaborasi saat ditemui di rumahnya pada Selasa, 28 Desember 2021.
Meski berdalih kepada tim kolaborasi, tetapi Erminto telah membubuhkan tanda tangannya di surat perjanjian yang dibuat pada Selasa 23 November 2021. Ketika itu, di hadapan keluarga Angela, ia berjanji tidak mengulangi perbuatannya kepada penghuni lain. Sekali saja hitam di atas putih dilanggar, keluarga Angela tak segan memolisikan Erminto.
Keluarga Angela memang tak melaporkan perilaku Erminto ke pihak berwajib. Kondisi psikologis jadi pertimbangan utama. Selain sempat tak berani bertemu dengan lelaki, khususnya lelaki tua, Angela tak siap dengan berbagai pertanyaan yang diajukan polisi. Ketika ingatan soal kejadian malam itu menyerempet ingatan, Angela langsung dilanda serangan panik yang disusul dengan sesak napas.
Sekarang, kondisinya berangsur membaik. Lina menyebut kalau adiknya sudah mulai melanjutkan tugas akhir yang sempat mangkrak. “Sudah ikut bimbingan sama dosen. Sudah mengerjakan skripsinya. Hal yang paling dia (Angela) takutkan adalah disalahkan oleh orang lain. Orang lain akan anggap dia buruk,” kata Lina.
***
Kasus pelecehan dan kekerasan seksual di indekos cuma salah satu dari pelbagai bentuk kasus kekerasan seksual yang belakangan mulai terkuak. Sebagian besar pelakunya adalah mereka yang punya kuasa. Mulai dari dosen, guru besar, pejabat kampus, kakak kelas, hingga pemilik indekos seperti Erminto.
Tengok saja laporan HopeHelps, lembaga yang mengadvokasi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus. Mereka menerima 31 kasus laporan kekerasan seksual sepanjang Mei 2020-Juni 2021. Sebanyak 11 kasus di antaranya terjadi di luar kampus dan 4 di antaranya terjadi di indekos.
“Tidak hanya secara daring, ranah privat seperti indekos, rumah, atau kamar juga menjadi tempat kejadian kekerasan seksual. Dengan adanya pandemi COVID-19, terdapat juga banyak korban yang tidak bisa untuk pergi dan terpaksa untuk berada didalam ruang yang tertutup bersama pelaku,” kata Prilia Kartika Apsari dalam ringkasan tahunan Hope Helps UI 2021.
Dalam liputan kolaborasi kali ini, tim peliputan menemui lima mahasiswa yang menjadi korban kekerasan seksual yang terjadi di indekos. Selain Angela, ada Anggun, Anita, Jelita, dan Andini. Jelita tercatat sebagai mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Jember, Jawa Timur; Anita kuliah dan bekerja di Jakarta; sedangkan Anggun, Andini, dan Angela berkuliah di Yogyakarta.
Andini bahkan berkali-kali menjadi korban kekerasaan seksual. Peristiwa traumatik itu terjadi di tahun pertamanya belajar di Universitas Negeri Yogyakarta. Bila Angela dan 4 orang lain dilecehkan induk semang, Andini jadi korban para seniornya di kampus. Terduga pelaku sempat menjadi ketua organisasi mahasiswa yang Andini ikuti.
Setelah pelecehan seksual pertama terjadi, Andini yang juga korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sudah berusaha menjauhi terduga pelaku dengan pelbagai cara. Namun, lantaran mereka sama-sama merupakan anggota sebuah organisasi kemahasiswaan, pertemuan keduanya tak terhindarkan. “Aku nggak enak, itu (pertemuan) butuh buat organisasi,” ungkapnya.
Andini juga pernah menjadi korban pelecehan seksual oleh ketua himpunan mahasiswa di kampusnya. Terduga pelaku sebelumnya memberikan kesan yang baik sehingga Andini berpikir bahwa pelaku orang yang berbeda. Keduanya sempat makan bersama dan nonton di bioskop sebelum akhirnya pelaku mengajaknya untuk singgah ke indekos.
Andini teringat peristiwa yang pernah menimpanya dan menolak ajakan itu. “Malah aku dipojokkan. Aku pikir ngomong nggak cukup. Aku nggak bisa bereaksi melawan. Seperti ditodong pistol,” ujarnya.
Kini Andini hidup dalam trauma dan masih berjibaku untuk bangkit. Saking takutnya bertemu dengan pimpinan organisasi kemahasiswaan yang menjeratnya dalam aktivitas seksual tanpa consent, Andini sempat memilih untuk tidak ke kampus selama beberapa bulan. Bahkan, ia pernah melukai diri sendiri dengan silet.
“Aku mengisolasi diri sendiri, aku tidak mau bicara ke siapa-siapa. Karena tidak tahu mau cerita ke siapa. Tiap malam nangis,” cerita Andini.
***
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Sumaryanto mengatakan bahwa pihak rektorat belum mendapatkan laporan kekerasan seksual yang terjadi di indekos. Meski begitu, dia berjanji akan membentuk satuan tugas (satgas) penanganan kasus kekerasan seksual pada tahun ini. Satgas ini bakal diisi oleh wakil rektor bidang kemahasiswaan dan alumni. Tugasnya tidak hanya menangani kasus yang terjadi di dalam kampus, tetapi juga menerima aduan kekerasaan seksual di indekos atau luar kampus.
“Saya minta mahasiswa berani melapor bila mengalami pelecehan seksual,” ujar Sumaryanto, Jumat 22 Januari 2022.
Munculnya kasus baru kekerasan seksual terhadap mahasiswa, membuat beberapa kampus seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia, UIN Sunan Kalijaga, dan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) membentuk unit khusus penanganan kasus kekerasan seksual.
Sekretaris Rektor UGM, Gugup Kismono menyebut bahwa penanganan kasus di UGM sesuai dengan Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penanganan Kekerasan Seksual. Melalui unit layanan khusus itu, kata Gugup, korban maupun yang mewakili korban kekerasan seksual bisa membikin laporan. Pihak kampus pun menjamin kerahasiaan identitas pelapor. “Tim psikolog juga bantu korban untuk pertolongan pertama,” kata Gugup ketika dihubungi pada Sabtu, 15 Januari 2022.
Direktur Rifka Annisa Womens Crisis Center, Defirentia Muharomah menilai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus belum cukup melindungi para mahasiswa yang tinggal di indekos.
Di UMN, ada unit pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang dinamakan Student Support. Selain menerima laporan, pihak kampus juga menyediakan layanan psikologi serta menyosialisasikan materi pencegahan kekerasan seksual kepada seluruh karyawan dan mahasiswa. “Universitas komitmen untuk membuat korban ditangani dengan baik dan tidak ingin mengabaikan laporan,” kata akademisi UMN, Ignatius Haryanto, Minggu, 16 Januari 2022.
Universitas Islam Indonesia pun mengaku telah memberikan jaminan penanganan dan pencegahan kekerasan seksual dan pelecehan seksual di indekos. Hal itu diatur dalam Peraturan Rektor Nomor 1 Tahun 2020. Rektor UII, Fathul Wahid berkomitmen menangkal kekerasan seksual di kampus maupun di luar kampus. “Kami sudah mempunya regulasi, peraturan universitas yang mengatur itu dan kami gunakan itu untuk memagari. intinya tidak ada toleransi untuk praktik-praktik pelecehan, apalagi pemerkosaan. Itu masuk sanksi berat,” ujarnya.
Rektor UIN Sunan Kalijaga, Phil Al Makin berharap aturan yang dibuat dapat mencegah dan penanganan kasus kekerasan seksual dan pelecehan seksual di kampus dan luar kampus. “Saya sudah tandatangani. Saya juga mendukung agar RUU TPKS agar segera disahkan,” kata dia.
***
Organisasi nonpemerintah yang fokus isu perempuan, Rifka Annisa mencatat banyak peristiwa kekerasan seksual di indekos. “Kalau konteks kota pelajar, kampus banyak ada di Kabupaten di Sleman. Ini relate juga dengan aduan mahasiswa yang banyak di Sleman. Kami kan ada kasus kekerasan seksual lima tahun terakhir. Ini gunung es,” kata Direktur Rifka Annisa Womens Crisis Center, Defirentia Muharomah, Sabtu 8 Januari 2022
“Ada relasi kuasa. Ada bujuk rayu. Penyintas diajak pelaku ke kosan dengan dalih rapat,” tambahnya.
Dalam lima tahun terakhir, Rifka Annisa menerima 267 pengaduan kasus kekerasan seksual di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebanyak 130 orang di antaranya dilaporkan mahasiswa. “Kebanyakan yang mengadu ke kami perantauan mahasiswa. Mereka orang asing yang tidak punya keluarga. Seolah tidak punya sistem dukungan. Siapa yang membantu? Mau tidak mau ke Rifka Annisa,” ujarnya.
Defirentia menilai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus belum cukup melindungi para mahasiswa yang tinggal di indekos. Aturan Menteri Nadiem Makarim ini, menurutnya, tidak menjelaskan dengan jelas penanganan peristiwa yang terjadi di luar kampus. Padahal sasaran dari permendikbud ini terbilang luas, karena meliputi mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan. “Ini mengkhawatirkan untuk advokasi kita. Permendikbud saja tidak cukup,” kata dia.
Oleh sebab itu, ia mendorong agar perguruan tinggi di masing-masing daerah membuat aturan turunan rinci yang dapat menonjolkan aspek pencegahan, penanganan, dan perlindungan kekerasan seksual. Aturan tersebut mesti mencakup perlindungan di dalam dan di luar kampus, termasuk indekos. “Harus ada aturan di kampus. Kampus perlu buat aturan itu di SOP. Ada inisiatif wewenang dan kewajiban mendetail. Kasus itu berkembang dan pembuat aturan harus sensitif terhadap kasus,” pintanya.
Menurut Defirentia, maraknya praktik kekerasan seksual yang terjadi di indekos maupun perguruan tinggi bukan hanya tanggungjawab kampus semata. Pemerintah daerah pun harusnya berperan dalam pencegahan dan perlindungan kepada mahasiswa. Kata dia, selama ini belum ada perda yang menekankan aspek perlindungan, pencegahan, dan penanganan kasus kekerasan seksual di indekos. Pada bagian kedua Pasal 16 Peraturan Bupati Sleman Nomor 57 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pondokan, misalnya, hanya melarang melakukan tindakan asusila dan minum minuman beralkohol di pemondokan.
Di Yogyakarta misalnya, Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pondokan tak mengatur penanganan dan pencegahan kekerasan seksual. “Peraturan yang saya amati, (untuk) kejahatan kekerasan seksual itu tidak ada. Saya belum menemukan. Peraturan ini seharusnya lebih sensitif terhadap permasalahan kekerasan seksual maupun pelecehan seksual,” ujarnya.
Defirentia menyarankan agar pemerintah daerah segera merevisi aturan terkait indekos dengan memasukkan penanganan dan pencegahan kekerasan seksual. “Jangan hanya aman dari maling, perampok, pencuri tapi harus aman dari kekerasan seksual. Zaman berubah, perlu kritis dengan faktor risiko. Ini tidak bisa mencakup asusila saja. Ini soal kejahatan kekerasan seksual. Perlu ada aturan yang lebih progresif,” jelas Defirentia.
Salah satu langkah yang menurutnya mesti gegas diambil adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi undang-undang. Tanpa itu, para korban kekerasan seksual akan terus sulit mendapatkan jaminan rasa aman dan perlindungan dari pemerintah. “Kalau sudah ada payung hukum undang-undang, pemerintah punya perda. Kalau advokasi lebih tinggi RUU TPKS dulu,” ujarnya.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memutuskan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual masuk sebagai inisiatif DPR. Ketua DPR, Puan Maharani meminta agar Presiden Joko Widodo segera membuat surat presiden dan daftar inventarisasi masalah untuk mempercepat pembahasan RUU TPKS. “Kami juga menunggu pemerintah menunjuk kementerian yang akan membahas RUU TPKS bersama DPR. Apakah komisi atau badan legislatif (Baleg) yang diberi kewenangan untuk membahas RUU TPKS bersama pemerintah, nantinya akan diputuskan dalam rapat paripurna,” ucapnya, Selasa 18 Januari 2021.
Puan memastikan pembahasan RUU TPKS akan berlangsung terbuka, sehingga masyarakat dapat memantau dan mengawasi pembentukan uu tersebut. “DPR RI bersama Pemerintah berkomitmen menuntaskan RUU TPKS dengan sebaik-baiknya. Kita harus memastikan korban-korban kekerasan seksual menerima hak-hak dan perlindungan dari Negara,” kata Puan.
Jaringan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual mendorong agar pemerintah segera menerbitkan surat presiden dan menyusun DIM secara transparan. Salah satu caranya adalah melibatkan masyarakat sipil yang selama ini fokus dan bekerja untuk dan bersama korban. “Mendorong pemerintah dan DPR RI membahas RUU TPKS secara transparan, partisipatif, dan mengakomodir pengalaman perempuan korban, kelompok rentan dan pendamping korban sebagai perempuan pembela hak-hak asasi manusia dan hak perempuan,” ujar Kustiah.
*semua nama korban disamarkan dalam tulisan ini.
Penulis: Abdus Somad
Editor: Damar Fery Ardiyan
Interaktif: Rachmad Imam Tarecha
Artikel ini merupakan kolaborasi Jaring.id, Suara.com, Koran Tempo, IDN Times, dan Konde.co.