Koalisi masyarakat sipil antikorupsi mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelidiki dugaan merintangi penyidikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly terhadap kasus suap yang melibatkan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan dan politikus Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Harun Masiku. Dalam perkara tersebut, Harun diduga menyuap Wahyu untuk memuluskan langkahnya menjadi anggota legislatif menggantikan kader lain dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, Nazarudin Kiemas.
Dorongan tersebut disampaikan ke lembaga antirasuah antara lain oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Komisi untuk Orang Hilang (Kontras) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada Kamis 23 Januari 2020. Mereka menduga menteri yang menjabat dua periode di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini telah melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta,” begitu tertulis dalam UU Tipikor.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menyatakan bahwa Menkumham Yasonna tidak memberikan informasi benar ihwal keberadaan Harun Masiku. Menteri separtai dengan Harun yang membawahi Direktorat Jenderal Imigrasi ini ngotot menyebut Harun masih berada di luar negeri. “Pokoknya belum di Indonesia,” ungkap Yasonna pada Kamis, 16 Januari lalu.
Pada 6 Januari 2020, Harun memang tercatat lepas landas ke Singapura menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Namun, selang sehari ia sudah kembali terpantau di Indonesia. Bila merujuk laporan utama Majalah TEMPO berjudul “Harun di Pelupuk Mata Tak Nampak,” sosok mirip Harun mendarat di Bandara Soekarno Hatta Indonesia pada Selasa, 7 Januari 2020. Ia menggunakan pesawat dari maskapai penerbangan Batik Air dengan nomor penerbangan ID 7156. Dari bandara, Harun menginap di apartemen Thamrin Residence, sebelum terpantau disejumlah titik, antara lain di kawasan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Dalam pengaduan bernomor 107246, masyarakat antikorupsi membundel pengaduan bersama bukti berupa tangkapan layar kamera CCTV yang memperlihatkan sosok mirip Harun di Bandara Soekarno-Hatta. “Kita melihat ada keterangan tidak benar,” ungkap Kurnia di Gedung Merah Putih, Kuningan Persada.
Itu sebab, Koalisi Antikorupsi menganggap Yasonna telah melakukan pembohongan publik, sekaligus mengaburkan radar perburuan KPK terhadap Harun. Terlebih ketika Direktur Jenderal Imigrasi, Ronny F. Sompie membetulkan keterangan mengenai keberadaan Harun setelah dua minggu atau beberapa hari setelah TEMPO menerbitkan laporan pada 18 Januari 2020. Bekas petinggi Polri ini menyatakan bahwa keterlambatan sistem data pelintas di Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta sebagai biang kerok dari kesimpangsiuran keberadaan Harun. Keterlambatan itu, menurut Ronny, akibat restrukturisasi sistem informasi manajemen keimigrasian dan pemadaman listrik.
“Saya telah memerintahkan kepada Kepala Kantor Imigrasi Kelas 1 Khusus Bandara Soetta dan Direktur Sistem Informasi dan Teknologi Keimigrasan Ditjen Imigrasi untuk melakukan pendalaman terhadap adanya delay time dalam pemrosesan data pelintasan di Terminal 2F Bandara Soetta ketika HM melintas masuk,” kata Ronny kepada dalam konferensi pers, Rabu, 22 Januari 2019.
Ronny menampik bila pihaknya sengaja melakukan pembohongan publik. Ia berkilah tidak ada faktor kesengajaan di balik keterangan Imigrasi terkait keberadaan buruan KPK. “Data yang saya terima dari sistem saat saya memberikan informasi ke media sebelumnya bukanlah kesengajaan,” ujarnya.
Deputi Koordinator Kontras, Putri Kanesia yang turut mengadukan Yasonna Laoly ke KPK menilai keterangan yang disampaikan Direktorat Imigrasi di luar batas nalar publik. Pasalnya keterangan tersebut disampaikan jauh setelah Harun raib bak ditelan Bumi. Putri menghitung ada jeda sekitar 15 hari. “Alasan yang diungkapkan Dirjen imigrasi dan Kemenkum HAM tidak cukup membenarkan dalil mereka,” kata Putri Kenesia yang ditemui Jaring.id, Kamis, 23 Januari 2020.
Misteri keberadaan Harun bermula dari operasi tangkap tangan KPK terhadap Wahyu Setiawan pada 8 Januari – hari yang sama ketika KPK gagal menangkap Harun. Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan sejumlah tersangka korupsi penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR 2019-2024. Selain Harun, ada juga komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, eks anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina dan Saeful (swasta).
Putri berharap KPK tidak berhenti pada kasus suap, tetapi juga berani menyasar Yasonna dengan pasal terkait obstruction of justice. “Kami juga meminta Presiden Jokowi untuk memecat Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM,” tegas Putri. Permintaan terkait penggusuran Yasonna dari kursi menteri sejalan dengan petisi publik yang dimuat dalam laman change.org. Petisi yang digagas puluhan orang, termasuk akademisi Ade Armando dan sastrawan Goenawan Mohamad ini sementara sudah ditandatangani sekitar 1300 orang lebih.
Sementara itu, KPK menyebut akan menelaah laporan koalisi masyarakat sipil terkait dugaan merintangi penyidikan. Sambari hal tersebut dilakukan, menurutnya, KPK saat ini tengah fokus mengendus jejak pelarian Harun. “Kita akan telaah lebih jauh apakah di sana memang ada masuk dugaan tindak pidana korupsi atau tindak pidana yang lain,” ujar pelaksana tugas Juru Bicara Direktorat Penindakan KPK, Ali Fikri kepada wartawan, Kamis, 23 Januari 2020.