Bre-X bisa ibarat kisah Midas di dunia nyata. Sebuah cebakan di Busang, Kalimantan yang semula dipandang sebelah mata menjadi rebutan beberapa perusahaan besar. George Bush, Presiden Amerika Serikat, sampai turun tangan menggunakan pengaruhnya. Dia mengirimkan surat kepada Presiden RI Soeharto agar Barrick diikutsertakan dalam proyek Busang.
Meski baru memasuki tahap eksplorasi, Busang sekejap menjadi buah bibir di dunia internasional. Update laporan mengenai potensi cadangan emas di lokasi tersebut dimakan mentah-mentah oleh berbagai perusahaan sekuritas. Saham Bre-X yang semula harganya tak sampai 1 C$ (dollar Kanada) perlahan menembus harga C$ 12 pada Juli 1995. Kantor perusahaan yang semula berlokasi di halaman bawah sebuah rumah dipindahkan ke sebuah gedung berlantai empat di 14th Street NW, Calgary, kanada.
Pemerintah Republik Indonesia tak mau kalah langkah. Menteri Pertambangan dan Energi Ida Bagus Sudjana merasa perlu turut campur secara langsung dalam mengatur perusahaan mana saja yang bisa ikut serta dalam proyek Busang. Langkah yang di kemudian hari menjadi bahan ejekan media massa Internasional.
Lepas dari kesalahan yang dibuatnya, keputusan Sudjana melibatkan Freeport Mc-Moran dalam proyek Busang menjadi pemicu terbongkarnya penipuan yang dilakukan Bre-X. Uji kelayakan (due dilligence) yang dilakukan Freeport justru tidak berhasil menemukan cadangan emas seperti yang dilaporkan Bre-X. Jim Bob Moffet, CEO Freeport segera meminta penjelasan. Hal tersebut tak pernah terjadi karena Geolog Bre-X asal Filipina Michael de Guzman yang ditugasi melakukan hal tersebut memilih melakukan bunuh diri dengan melompat dari helikopter.
Peran Aktor
Cadangan emas di cebakan Busang menghilang bersamaan dengan kematian de Guzman yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan besar. Saham Bre-X terjun bebas hingga akhirnya perusahaan tersebut dinyatakan bangkrut. Majalah Time edisi 19 Mei 1997 menjadikan kasus ini sebagai sampul muka. Laporan utama mereka dijuduli Golds Fools: How Investors Got Fleeced in Historys Biggest Mining Scam.
Tiga aktor utama Bre-X yang berperan dalam sentuhan Midas di Busang adalah John Felderhof, David Walsh, dan Michael de Guzman. John merupakan Geolog berpengalaman yang punya teori unik mengenai cebakan emas (paper teorinya menjadi lampiran dalam buku ini); de Guzman adalah Geolog Filipina yang menjabat sebagai Manajer Operasional PT BRe-X Corp; adapun David Walsh adalah seorang sudah puluhan tahun menggantungkan hidupnya dari jual-beli saham.
Bondan Winarno berusaha mengurai peran ketiga orang tersebut dalam sentuhan Midas di Busang. Penyajiannya agak unik karena disampaikan dalam bentuk semi-biografis yang dilengkapi dengan berbagai detil kecil. De Guzman misalnya, digambarkan sebagai seorang penikmat kehidupan yang punya banyak istri. Sementara itu, Walsh ditampilkan sebagai sosok yang tak mudah patah arang dan jitu dalam memainkan strategi.
Kasus Busang tentunya tidak akan se-heboh itu hanya akibat permainan tiga orang tersebut. Dalam buku ini, Bondandengan cara penyajian yang sama seperti tiga tokoh Bre-X mengidentifikasi beberapa aktor pembantu yang turut memainkan perannya masing-masing. Terdapat nama Kuntoro Mangkusubroto, pengusaha Mohamad Bob Hasan, Jim Bob Moffet, dan Ida Bagus Sudjana.
Model penyajian seperti itu mampu mengimbangi paragraf-paragraf yang penuh dengan gambaran teknis mengenai seluk-beluk pertambangan. Narasi mengenai karakter dan peran para tokoh dibaurkan dengan berbagai penjelasan geologis seputar cebakan Busang. Pembaca awam yang mengalami kesulitan dengan bahasan teknis, dibuat tetap betah membaca dengan cerita-cerita beraroma human interest.
Namun, cara ini punya kelemahan. Alur cerita menjadi tidak runut dan berpotensi membingungkan pembaca karena beberap hal terkait kasus Busang yang menjadi garis penghubung para aktor harus muncul berulang kali dalam bab-bab yang berbeda. Untungnya, kronologi kasus Busang yang dilampirkan di bagian akhir buku ini bisa membantu pembaca untuk membangun ulang kejadian secara lebih sederhana.
Teliti dan Tekun
Seorang jurnalis investigasi tidak mau begitu saja menerima informasi yang disampaikan oleh pihak berwajib. Kematian (atau bunuh diri) de Guzman yang begitu tiba-tiba dan misterius mendorong penulis untuk melakukan penelusuran ke beberapa daerah di dalam dan luar negeri.
Informasi bahwa jasad de Guzman diketemukan empat hari setelah terjun dari helikopter menimbulkan kecurigaan. Bahkan mencari pesawat yang hilang tidaklah mudah dilakukan jika terjadi di belantara Kalimantan. Tapi asumsi tersebut tidak akan cukup menjadi bukti bahwa kematian de Guzman terkesan dibuat-buat.
Penulis berusaha mencari fakta tambahan dengan mewawancara tim dokter di yang melakukan otopsi jenazah. Kecurigaan semakin menguat ketika dokter menyebut bahwa jasad tidak menggunakan gigi palsu, padahal de Guzman diketahui memakai gigi palsu pada rahang atas depan.
Tak cukup sampai di situ, penelusuran dilanjutkan ke Filipina. Bondan menemukan bahwa makam de Guzman begitu lengang. Tak ada taburan bunga ataupun kunjungan keluarga dan kolega, hal yang umum dilakukan masyarakat Filipina ketika orang dekatnya baru saja meninggal.
Dia juga meminta pendapat ahli otopsi NBI (Biro Penyeldikan Nasional) yang menyatakan bahwa seseorang yang jatuh dengan ketinggian seperti yang terjadi pada de Guzman mustahil diketemukan dalam posisi telungkup.
Selain itu, ciri-ciri trauma pada jasad yang disebut-sebut sebagai milik de Guzman adalah cirri trauma dari orang yang jatuh dari pohon kelapa. Meski tidak berhasil mengungkap misteri kematian de Guzman, penulis membuat sebuiah simpulan. Hidup, tampaknya, terlalu manis bagi Michael de Guzman untuk diakhiri dengan terjun tanpa payung dari helikopter. (hlm 101)
Ketelitian dan kerja keras yang dilakukan penulis, membuat buku ini disebut-sebut sebagai salah satu karya jurnalisme investigasi terbaik di Indonesia. Tak kurang dari sepuluh bulan dihabiskan untuk mengerjakannya. Ribuan US$ juga harus dirogoh dari kocek sendiri.
Buku ini segera dihadang oleh penguasa ketika akan dirilis pada penghujung 1997. Pergantian kekuasaan kemudian memungkinkannya diterbitkan pada Juni 1998. Di kemudian hari hal tersebut
membuat Bondan harus menjalani hukuman kurungan selama beberapa bulan dan meminta maaf kepada I. B. Sudjana melalui iklan di 16 media massa nasional. Dia dianggap telah mencemarkan nama mantan Menteri Pertambangan dan Energi tersebut.
Sampai saat ini, belum ada karya jurnalisme investigasi di Indonesia yang mampu menandingi buku ini. Akarnya sederhana: belum ada media massa yang dengan sungguh-sungguh mau memberikan dana dan deadline yang longgar kepada wartawannya untuk mengerjakan laporan investigasi secara sungguh-sungguh meskipun hal tersebut terkait dengan kepentingan publik. Belum lagi risiko gugatan hukum yang mungkin menyertainya.{:}{:en}Bre-X bisa ibarat kisah Midas di dunia nyata. Sebuah cebakan di Busang, Kalimantan yang semula dipandang sebelah mata menjadi rebutan beberapa perusahaan besar. George Bush, Presiden Amerika Serikat, sampai turun tangan menggunakan pengaruhnya. Dia mengirimkan surat kepada Presiden RI Soeharto agar Barrick diikutsertakan dalam proyek Busang.
Meski baru memasuki tahap eksplorasi, Busang sekejap menjadi buah bibir di dunia internasional. Update laporan mengenai potensi cadangan emas di lokasi tersebut dimakan mentah-mentah oleh berbagai perusahaan sekuritas. Saham Bre-X yang semula harganya tak sampai 1 C$ (dollar Kanada) perlahan menembus harga C$ 12 pada Juli 1995. Kantor perusahaan yang semula berlokasi di halaman bawah sebuah rumah dipindahkan ke sebuah gedung berlantai empat di 14th Street NW, Calgary, kanada.
Pemerintah Republik Indonesia tak mau kalah langkah. Menteri Pertambangan dan Energi Ida Bagus Sudjana merasa perlu turut campur secara langsung dalam mengatur perusahaan mana saja yang bisa ikut serta dalam proyek Busang. Langkah yang di kemudian hari menjadi bahan ejekan media massa Internasional.
Lepas dari kesalahan yang dibuatnya, keputusan Sudjana melibatkan Freeport Mc-Moran dalam proyek Busang menjadi pemicu terbongkarnya penipuan yang dilakukan Bre-X. Uji kelayakan (due dilligence) yang dilakukan Freeport justru tidak berhasil menemukan cadangan emas seperti yang dilaporkan Bre-X. Jim Bob Moffet, CEO Freeport segera meminta penjelasan. Hal tersebut tak pernah terjadi karena Geolog Bre-X asal Filipina Michael de Guzman yang ditugasi melakukan hal tersebut memilih melakukan bunuh diri dengan melompat dari helikopter.
Peran Aktor
Cadangan emas di cebakan Busang ?menghilang? bersamaan dengan kematian de Guzman yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan besar. Saham Bre-X terjun bebas hingga akhirnya perusahaan tersebut dinyatakan bangkrut. Majalah Time edisi 19 Mei 1997 menjadikan kasus ini sebagai sampul muka. Laporan utama mereka dijuduli ?Gold?s Fools: How Investors Got Fleeced in History?s Biggest Mining Scam?.
Tiga aktor utama Bre-X yang berperan dalam sentuhan Midas di Busang adalah John Felderhof, David Walsh, dan Michael de Guzman. John merupakan Geolog berpengalaman yang punya teori unik mengenai cebakan emas (paper teorinya menjadi lampiran dalam buku ini); de Guzman adalah Geolog Filipina yang menjabat sebagai Manajer Operasional PT BRe-X Corp; adapun David Walsh adalah seorang sudah puluhan tahun menggantungkan hidupnya dari jual-beli saham.
Bondan Winarno berusaha mengurai peran ketiga orang tersebut dalam sentuhan Midas di Busang. Penyajiannya agak unik karena disampaikan dalam bentuk semi-biografis yang dilengkapi dengan berbagai detil kecil. De Guzman misalnya, digambarkan sebagai seorang penikmat kehidupan yang punya banyak istri. Sementara itu, Walsh ditampilkan sebagai sosok yang tak mudah patah arang dan jitu dalam memainkan strategi.
Kasus Busang tentunya tidak akan se-?heboh? itu hanya akibat permainan tiga orang tersebut. Dalam buku ini, Bondan?dengan cara penyajian yang sama seperti tiga tokoh Bre-X?mengidentifikasi beberapa ?aktor pembantu? yang turut memainkan perannya masing-masing. Terdapat nama Kuntoro Mangkusubroto, pengusaha Mohamad ?Bob? Hasan, Jim Bob Moffet, dan Ida Bagus Sudjana.
Model penyajian seperti itu mampu mengimbangi paragraf-paragraf yang penuh dengan gambaran teknis mengenai seluk-beluk pertambangan. Narasi mengenai karakter dan peran para tokoh dibaurkan dengan berbagai penjelasan geologis seputar cebakan Busang. Pembaca awam yang mengalami kesulitan dengan bahasan teknis, dibuat tetap betah membaca dengan cerita-cerita beraroma human interest.
Namun, cara ini punya kelemahan. Alur cerita menjadi tidak runut dan berpotensi membingungkan pembaca karena beberap hal terkait kasus Busang?yang menjadi garis penghubung para aktor?harus muncul berulang kali dalam bab-bab yang berbeda. Untungnya, kronologi kasus Busang yang dilampirkan di bagian akhir buku ini bisa membantu pembaca untuk membangun ulang kejadian secara lebih sederhana.
Teliti dan Tekun
Seorang jurnalis investigasi tidak mau begitu saja menerima informasi yang disampaikan oleh pihak berwajib. Kematian (atau bunuh diri) de Guzman yang begitu tiba-tiba dan misterius mendorong penulis untuk melakukan penelusuran ke beberapa daerah di dalam dan luar negeri.
Informasi bahwa jasad de Guzman diketemukan empat hari setelah terjun dari helikopter menimbulkan kecurigaan. Bahkan mencari pesawat yang hilang tidaklah mudah dilakukan jika terjadi di belantara Kalimantan. Tapi asumsi tersebut tidak akan cukup menjadi bukti bahwa kematian de Guzman terkesan ?dibuat-buat?.
Penulis berusaha mencari fakta tambahan dengan mewawancara tim dokter di yang melakukan otopsi jenazah. Kecurigaan semakin menguat ketika dokter menyebut bahwa jasad tidak menggunakan gigi palsu, padahal de Guzman diketahui memakai gigi palsu pada rahang atas depan.
Tak cukup sampai di situ, penelusuran dilanjutkan ke Filipina. Bondan menemukan bahwa makam de Guzman begitu lengang. Tak ada taburan bunga ataupun kunjungan keluarga dan kolega, hal yang umum dilakukan masyarakat Filipina ketika orang dekatnya baru saja meninggal.
Dia juga meminta pendapat ahli otopsi NBI (Biro Penyeldikan Nasional) yang menyatakan bahwa seseorang yang jatuh dengan ketinggian seperti yang terjadi pada de Guzman mustahil diketemukan dalam posisi telungkup.
Selain itu, ciri-ciri trauma pada jasad yang disebut-sebut sebagai milik de Guzman adalah cirri trauma dari orang yang jatuh dari pohon kelapa. Meski tidak berhasil mengungkap misteri kematian de Guzman, penulis membuat sebuiah simpulan. ?Hidup, tampaknya, terlalu manis bagi Michael de Guzman untuk diakhiri dengan terjun tanpa payung dari helikopter.? (hlm 101)
Ketelitian dan kerja keras yang dilakukan penulis, membuat buku ini disebut-sebut sebagai salah satu karya jurnalisme investigasi terbaik di Indonesia. Tak kurang dari sepuluh bulan dihabiskan untuk mengerjakannya. Ribuan US$ juga harus dirogoh dari kocek sendiri.
Buku ini segera dihadang oleh penguasa ketika akan dirilis pada penghujung 1997. Pergantian kekuasaan kemudian memungkinkannya diterbitkan pada Juni 1998. Di kemudian hari hal tersebut
membuat Bondan harus menjalani hukuman kurungan selama beberapa bulan dan meminta maaf kepada I. B. Sudjana melalui iklan di 16 media massa nasional. Dia dianggap telah mencemarkan nama mantan Menteri Pertambangan dan Energi tersebut.
Sampai saat ini, belum ada karya jurnalisme investigasi di Indonesia yang mampu menandingi buku ini. Akarnya sederhana: belum ada media massa yang dengan sungguh-sungguh mau memberikan dana dan deadline yang longgar kepada wartawannya untuk mengerjakan laporan investigasi secara sungguh-sungguh meskipun hal tersebut terkait dengan kepentingan publik. Belum lagi risiko gugatan hukum yang mungkin menyertainya.