Main Tahan, HAM Ditendang

Belasan mobil aparat dari kesatuan Brigade Mobil (Brimob) berderu di depan Sekretariat Serikat Mandiri Batanghari (SBM) yang terletak di Kecamatan Mersam, Batanghari, Jambi pada Kamis, 18 Juli 2019. Puluhan polisi mengenakan helm, rompi antipeluru serta menenteng senjata laras panjang lekas turun merangsek masuk. Deli ialah satu dari sejumlah orang yang tidak bisa tidak terbeliak melihat segerombolan aparat. Terlebih ia menghadiri syukuran organisasi itu bersama anak yang masih berusia 5 tahun.

Tak sampai 5 menit polisi menangkap sejumlah petani dan ibu lain, termasuk Deli dan anaknya. Mereka seakan tak peduli dengan kondisi tubuh Deli yang tengah hamil muda. “Kami ditangkap di depan anak-anak. Saya disiksa di depan mereka,” kata Deli saat memberikan kesaksian dalam rangkaian Peluncuran Laporan Praktik Penahanan di Indonesia yang diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melalui daring, Rabu, 10 Februari 2021.

Sejumlah orang yang ditangkap lantas harus menempuh perjalanan sekitar 3 jam ke kantor PT Wirakarya Sakti (WKS) di Distrik VIII. Lokasi ini yang diduga menjadi ruang bagi aparat untuk melancarkan aksi kekerasan sebelum membawa belasan tahanan ke Kepolisian Daerah Jambi. “Setelah di Mako Brimob, kami dipisah antara laki-laki dan perempuan,” ujarnya.

Dalam kondisi tertekan Deli menjalani pengambilan berita acara pemeriksaan (BAP). Pun demikian dengan anaknya. Ia sampai tak henti menangis ketika salah seorang penyidik menghardik ibunya yang enggan menandatangani BAP. Sebab, menurut Deli, laporan penyidik tidak sesuai dengan keterangan yang ia sampaikan. “Saat pemeriksaan penyidik menggertak sambil angkat tangan, di situ anak saya teriak,” kata Deli yang tidak punya punya banyak pilihan selain menandatangani BAP.

Deli dituduh penyidik telah melakukan kekerasan dan memiliki senjata. Ia disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 dengan ancaman pidana paling lama 10 tahun. “Sembari jengkel saya tanda tangani saja,” ungkapnya.

Deli ditahan selama 10 bulan di rumah tahanan Polda Jambi. Meski berbadan dua, Deli tidak diperlakukan istimewa. Tidak ada kasur empuk, apalagi makan makanan sehat. Deli hanya menerima makanan dua kali sehari, pagi dan sore.  “Di rutan saya tidur di alas tikar. Makan pun sama dengan tahanan yang tidak hamil,” kata Deli.

Kondisi serupa juga dialami James Watt, petani yang juga paralegal organisasi lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Sawit Watch Kalimantan Tengah. Pada Sabtu, 7 Maret 2020 sekitar Pukul 04.30 WIB, James ditangkap di rumah perlindungan milik Walhi Nasional, Jakarta setelah rekannya Hermanus dan Delik ditangkap lebih dulu oleh polisi. Ketiganya diklaim terlibat kasus pemanenan sawit di tanah sengket antara warga PT. Harapan Mas Bangun Persada (HMBP).

Dalam kasus ini, Delik dan Hermanus disangka mencuri buah kelapa sawit. Sementara James disangka sebagai orang yang mendalangi pencurian tersebut. Perbuatan itu dilakukan pada Senin, 17 Februari 2020 sekitar Pukul 09.00 Wib di PT HMBP II Blok 9/10 Jalan Jenderal Sudirman Km 43 Desa Penyang, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotim. James dianggap melanggar Pasal 363 Ayat (4e) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1e KUHP, sementara Dilik dan Hermanus dibidik Pasal 363 Ayat (4e) KUHP. Mereka ditahan di Polres Kotawaringin Timur.

“Dalam penahanan kita juga disuruh melapalkan Pancasila dan menyanyikan lagu Indonesia Raya,” kata James Watt saat menyampaikan testimoni dalam kegiatan Peluncuran Laporan Praktik Penahanan di Indonesia yang diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melalui daring, Rabu, 10 Februari 2021.

Tak jarang dari mereka diperlakukan tidak manusiawi. Hermanus, lelaki kelahiran Desa Penyang sampai harus meregang nyawa dalam proses penahanan tersebut. Menurut James, Hermanus meninggal setelah dilarikan ke Rumah Sakit Murjani Sampit pada Minggu, 26 April 2020.  “Pada 25 April, Pukul 21.00 WIB Hermanus sudah kritis,” ungkap James menyesalkan perlakuan yang kurang sigap dari petugas rutan.

Menurut James, Hermanus harusnya bisa tertolong bila petugas segera membawanya ke RS. Pasalnya ia sudah mengeluhkan kondisi kesehatannya beberapa hari sebelum wafat. Namun oleh petugas, Hermanus hanya diberi obat-obatan sekadarnya. Alih-alih pulih, kondisinya justru semakin buruk.

Dua kasus di atas ialah sedikit dari ratusan praktik penahanan yang dilakukan polisi sepanjang 2020. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat sebanyak 161 praktik penahanan. Dari jumlah itu, hanya 113 kasus yang memiliki dokumen pemeriksaan. Sebanyak 103 orang yang ditahan terdiri dari 93 orang dewasa dan sisanya masih berusia anak. Dari 93 tersangka yang ditahan, 49 di antaranya ditahan menggunakan ketentuan penahanan 60 hari, 16 tersangka ditahan 20 hari dan 23 tersangka lainnya ditahan selama 90 hari.

“Mereka yang ditahan selama itu mereka diperlakukan seperti apa? Apakah mereka ada dilakukan pemeriksaan? Kalau tidak kenapa harus tetap dilakukan penahanan,” kata Wakil Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Aditia Bagus Santoso.

Aditia menjelaskan praktik penahanan polisi tidak wajib. Terlebih bagi perkara yang ancaman hukumanan di bawah 5 tahun. Merujuk salah satu ayat dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa dengan tindak pidana penjara 5 tahun atau lebih, serta ada keadaan yang memungkinkan tersangka atau terdakwa melarikan diri maupun merusak barang bukti.

“Dari kasus tersebut ada 8 orang ditahan secara tidak sah,” kata Aditia saat menyampaikan hasil riset YLBHI atas Praktik Penahanan di Indonesia pada Kamis, 11 Februari 2021 melalui daring.

Salah satu kasus penahanan yang tidak sesuai dengan administrasi peradilan, yakni kesalahan ketik menimpa tahanan politik Papua yang disidangkan di Balikpapan.”Turunan perpanjangan penahanan tidak ditemukan dalam berkas kuasa hukum,” ungkapnya.

Bahkan dalam berkas perkara yang dikaji YLBHI, penyidik tidak mencantumkan tempat penahanan. Hal ini, menurut Aditia, tidak sesuai dengan Pasal 21 ayat 2 KUHAP. “Meskipun jumlahnya tidak banyak, tetapi masih ada penahanan yang tidak menyebutkan tempat penahanan,” ujar Aditia.

Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Era Purnama Sari menyebut bahwa permasalahan penahanan di Indonesia saat ini tidak berubah sejak pelaporan kasus ke Komite Antipenyiksaan pada 28 April-16 Mei 2018 lalu. Polisi masih rutin melakukan penyiksaan terhadap tahanan. Kata dia, polisi juga sering kali tidak menyampaikan apa yang menjadi hak tahanan, termasuk hak untuk menghubungi keluarga, dokter dan pengacara. “Temuan riset ini menunjukkan belum ada perubahan signifikan terhadap penahanan di Indonesia,” ujar Era.

Padahal saat ini polisi sudah memiliki Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun pada praktiknya apa yang dilakukan polisi justru bertentangan dengan hal itu. Menurut Era, hal ini dipengaruhi oleh Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Manajemen Penyidikan. “Ada kemunduran semangat HAM. Percuma memuat jaminan HAM tersangka tapi dalam manajemen penyidikan di longgarkan maka akan terjadi pelanggaran terhadap tersangka,” ujar Era.

Oleh sebab itu, YLBHI merekomendasikan revisi terhadap KUHAP, khususnya terkait penahanan. Dalam revisi tersebut juga perlu dinyatakan lebih tegas mengenai tugas jaksa sebagai pengendali perkara dan membentuk hakim komisaris atau sidang pemeriksaan pendahuluan sebagai bentuk deu process of law dari penahanan dan upaya paksa. “Terakhir reformasi polri secara menyeluruh khususnya dalam penyelidikan dan penyidikan perkara pidana,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, Anggota Ombudsman RI (ORI), Ninik Rahayu menyampaikan bahwa temuan YLBHI selaras dengan aduan warga yang selama ini masuk ke lembaganya. Menurutnya, polisi paling banyak dilaporan karena kerap melakukan penundaan perkara dan kekerasan di dalam penahanan yang mengakibatkan kematian. “Sepanjang 2000 hingga 2020 kurang lebih hampir 8000 kasus terkait kepolisian. Kita baru menyelesaikan 4000 lebih,” kata Ninik saat mengikuti peluncuran Laporan Penelitian tentang Praktik Penahanan di Indonesia yang disiarkan melalui daring, Kamis, 11 Februari 2021.

 

Ninik menilai rendahnya kompetensi anggota polisi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tindak kekerasan di intitusi Polri tidak pernah putus. Kata dia, penyidik kerap salah menafsirkan KUHAP. “Kekerasan yang terus menerus dalam penengakan hukum semakin memperburuk profesionalisme aparat penegak hukum,” ujarnya.

Komisioner Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam sependapat dengan Ninik. Menurutnya, riset YLBHI dapat menjadi rujukkan pemerintah untuk mendorong pengurangan kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh polisi. “Kekerasan masih melekat dan ini terjadi berkali-kali terjadi. Ini problem serius,” kata Anam.

Sementara itu, Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Benny K. Harman menyebut bahwa selama ini polisi tidak memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang ramah HAM. Padahal proses pemanggilan, pemeriksaan terduga pelaku maupun saksi hingga penetapan tersangka mesti diatur secara rinci. “Kami selalu minta aparat penegak hukum untuk dibuatkan SOP. Hingga kini belum ada,” kata Wakil Ketua Umum Partai Demokrat.

Kondisi ini semakin sulit lantaran pengawasan DPR terhadap kinerja Kepolisian masih lemah. Pun dengan lembaga lain seperti Kompolnas, Komnas HAM maupun pers. Oleh sebab itu, Fraksi Demokrat di DPR akan mendorong pembahasan terhadap revisi Undang-Undang Kejaksaan yang sudah masuk Prolegnas. Salah satu yang akan diajukan Fraksi Demokrat ialah penguatan kewenangan Kejaksaan Agung agar dapat mengimbangi kerja-kerja institusi Kepolisian. Selain itu, Demokrat juga akan mendorong percepatan pembahasan RKUHAP. “Saat ini Kepolisian uncontrol. Teman-teman Kepolisian paling depan menolak revisi KUHAP dan revisi UU Kejaksaan,” pungkas Benny.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.