Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Andi Rusandi tak menampik masih ada celah yang digunakan perusahaan untuk mengakali penangkapan dan perdagangan sirip, kulit, daging, tulang, maupun kondisi hidup ke luar negeri.
KKP melalui Dirjen PRL akan melakukan evaluasi, antara lain menelusuri dugaan penyelundupan hiu dan pari yang masuk dalam ikan apendiks II CITES dan bersama otoritas saintis, seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam penetapan kuota tangkap dan kuota ekspor spesies apendiks II CITES di Indonesia.
Dalam perbincangan selama kurang-lebih satu jam, Andi didampingi oleh Koordinator Kelompok Pemanfaatan Kawasan dan Jenis Ikan, Sarminto Hadi menjelaskan pelbagai masalah perdagangan pari kikir dan pari kekeh. Selain itu, mereka juga menjelaskan mahalnya biaya pengecekan laboratorium untuk uji DNA sirip.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai banyaknya jumlah penangkapan pari kikir, kekeh, maupun hiu lanjaman yang masuk kategori Apendiks II CITES di Pantai Utara Jawa Tengah?
Kalau yang diduga pari ini, tidak semua jenis pari dilindungi. Kami Perlu identifikasi lebih detail. Bisa dilakukan bantuan teman di UPT Loka Serang. Kalau ketahuan yang dilindungi akan diproses. Kami sampaikan ke Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Kita punya semangat untuk memperbaiki sistem.
Kami menemukan sirip hiu maupun pari hasil tangkapan dikeringkan lalu dikumpulkan dalam pergudangan. Jumlah yang dikirim oleh pengepul ke perusahaan terbilang banyak?
Kami sulit kontrol. Begitu dia keluar dari gudang harus sesuai kuota dan kuota berlaku satu tahun. Kalau dia keluar dari gudang ke provinsi luar tetap dibatasi kuota. Kalau kuota perusahaan habis, maka tidak bisa lagi dalam pengiriman. Memang kami tidak bisa tongkrongin (gudang). Itu berat. Kelimpungan kami soal ikan (apendiks II). Belum lagi jenis yang non insang untuk diurus.
Bagaimana pengawasan dan alur izin perdagangan spesies ikan apendiks II CITES?
Pada saat memperdagangkan dalam negeri pelaku usaha harus memiliki Surat Izin Pemanfaatan Jenis Ikan (SIPJI), Surat Angkut Jenis Ikan Dalam Negeri (SAJI DN) untuk perdagangan dalam negeri. Saat pelaku usaha ekspor maka harus memiliki Surat Angkut Jenis Ikan Luar Negeri (SAJI LN).
Itu adalah salah satu syarat untuk mengeluarkan surat persetujuan ekspor dari perdagangan. Setelah itu Kemudian, akan keluar Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang dikeluarkan oleh Bea Cukai. Setelah itu akan ada pemeriksaan dari Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Laut (BKIPM) untuk mengeluarkan sertifikat kesehatan atau Health Certificate. Itu alur perdagangan dari awal sampai keluar.
Semua itu tersistem dalam pelayanan perizinan satu pintu (OSS). Setelah perizinan pelaku usaha diinput, tim verifikator bergerak untuk memastikan apakah benar perusahaannya atau hanya kaleng-kaleng.
Dalam temuan kami, salah satu pengepul mengirimkan sirip dan kulit kering kepada PT Indo Seafood. Perusahaan tersebut tidak tercatat mendapatkan kouta ekspor pada 2021. Bagaimana tanggapan Anda?
Ada beberapa kemungkinan. Pelaku usaha tak mengetahui atau mengetahui, tapi mereka mau coba-coba. Kami akan lakukan investigasi. Kami akan datangkan 6 Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut untuk monitoring dan memeriksa perusahaan di sana. Apakah mereka tak punya dokumen, kalau belum tahu kami akan sosilisasi dan kasi tahu bahwa apendiks II CITES harus punya dokumen aturan yang berlaku.
Sarmintohadi: Kalau mau usahakan apendiks mereka harus urus izin, mereka tak bisa eksport kalau tidak ada izin LN. Dia tidak bisa ekspor kalau tidak punya kuota. Kami harus lihatnya dokumen. Kalau tidak ada itu ilegal. Mungkin bisa lolos karena tidak dicek.
Lalu apa upaya Dirjen PRL untuk mengendalikan penangkapan dan ekspor ikan jenis Apendiks II?
Dalam pengendalian khususnya biota laut yang masuk apendiks II, kami mengeluarkan kuota. Ini pembatasan maksimal biota laut berdasarkan rekomendasi otoritas sains dalam hal ini LIPI atau saat ini menjadi BRIN. Ini menjadi rujukan penetapan kuota setiap provinsi Dirjen PRL. Upaya Dirjen PRL meminimalkan ancaman kepunahan kami akan berkomunikasi dengan LIPI/BRIN, lembaga riset, UPT, mitra untuk sama-sama memantau kondisi status jenis terancam punah atau yang masuk apendiks II
Berapa realisasi kuota tangkap yang berhasil dicatat oleh Dirjen PRL?
Total kuota tangkap (hiu dan pari) sekitar 77.000 individu, realisasi tangkap sampai dengan November 2021 sekitar 23.350 individu atau sekitar 30 persen. Sementara kuota ekspor sirip hiu dan pari pada 2021 sekitar 243 ton. Sementara realisasinya sekitar 24 ton.
Ada banyak celah untuk menyelundupkan pari dan hiu yang masuk apendiks II CITES di Indonesia. Salah satunya melalui jalur darat dan pemalsuan dokumen kirim. Bagaimana tanggapan Anda?
Kita sulit telusuri karena rantingnya banyak. Kalau sampai detail sulit sekali. Kalau tanpa dokumen agak sulit. Kalau ada pelaku nekat menerobos itu konyol sekali. Sementara untuk melakukan pengecekan tes DNA biaya satu sampel bisa mencapai Rp 1-1,5 juta. Biaya mahal.
Sarmintohadi: Pelaku usaha tak akan neko-neko mereka tak berani nyolong. Kalau dikirim ke luar ketahuan akan rugikan perusahaan.