Seorang laki-laki menghampiri saya di tengah media briefing Our Ocean Conference (OOC) ke 10—pertemuan internasional yang berfokus pada isu kelautan dan pembangunan ekosistem laut berkelanjutan, di lantai 32 Hotel Centum, Busan, Korea Selatan, Minggu, 27 April 2025. Dia, bernama lengkap Muhamad Kafandi, seorang pekerja migran asal Tegal, Jawa Tengah. Usianya 38 tahun.
“Panggil aku Kafandi,” ujarnya sembari menyodorkan tangan.
Usai media briefing, dia lantas mengajak saya menyeruput kopi panas di sebuah cafe yang berada tak jauh dari Hotel Centum. Saat itu suhu Busan terbilang dingin. Pengukur suhu yang tertera di smartphone menunjukkan sekitar 11 derajat celcius. Tak heran bila kopi panas yang diminum pun segera dingin sekalipun belum terlalu lama kami mengobrol. Mungkin sekitar 5-10 menit.
Kafandi membuka cerita dengan pengalamannya bekerja sebagai awak kapal di Korea Selatan, Taiwan, dan beberapa negara lain di kawasan Asia sejak 2015 lalu. Saat itu ia bekerja sebagai awak kapal double trawl—sebuah kapal pukat tarik yang dapat melibatkan dua kapal atau lebih, di Korea Selatan. Saat itu, kata dia, kesempatan kerja tersebut membawa harapan besar baginya dan keluarganya di Indonesia. Mulai dari mendapatkan koneksi sampai dapat mengantongi gaji yang jauh lebih besar.
Namun yang didapatkan justru perlakuan buruk. Salah satunya terjadi di Pelabuhan Perikanan Pulau Jeju 10 tahun lalu. Kafandi dipukuli empat awak kapal lokal saat berada di atas kapal. Musababnya, kata Kafandi, tak jelas. Dia langsung dihajar di tempat tidur tanpa perlawanan. Sementara kapten kapal yang melihat kekerasan itu memilih diam. “Saya dipukul membabi buta. Saya lalu kabur,” ungkapnya kepada Jaring.id, Selasa, 19 Mei 2025.
Tergopoh-gopoh turun dari kapal, Kafandi kemudian berlari ke pos polisi terdekat. Di sana ia membeberkan bagaimana tindak kekerasan di atas kapal itu berlangsung. “Saya foto buktinya sampai berdarah. Polisi Pelabuhan bertindak cepat. Tapi kaptennya nggak bertanggung jawab. Kapalnya kabur, padahal ada masalah,” kata Kafandi.
Pihak Kepolisian Korea Selatan selanjutnya mengantar Kafandi ke rumah sakit guna melakukan visum. Dokter memeriksa bekas luka mulai dari kepala hingga kaki, lalu mengirim laporannya ke Kepolisian Busan. Selama beberapa saat setelah visum, Kafandi menjalani pemeriksaan polisi di kota yang dikenal dengan sejuta film itu. “Setelah itu saya pulang,” ujarnya.
Menurutnya, tak lama bagi kepolisian Korea Selatan untuk menangkap pelaku. Mereka langsung memohon damai agar Kafandi tidak meneruskan kasusnya dengan menjanjikan ganti rugi. Kafandi mengiyakan tawaran itu dengan menerima ganti rugi yang kemudian digunakan untuk pulang ke Indonesia. “Saat itu saya tahu orang Korea itu takut hukum,” ujarnya.
Tindak kekerasan yang terjadi di Korea Selatan 10 tahun lalu adalah kejadian kedua selama Kafandi bekerja sebagai awak kapal. Sebelumnya ia mendapatkan perlakukan kasar saat bekerja di Taiwan. Kondisinya jauh lebih buruk ketimbang di Korea Selatan. “Saya melamar kerja di sana lewat perusahaan yang berkantor di Jawa Tengah,” jelas dia.

Kafandi mengatakan bahwa syarat yang diminta untuk bekerja saat itu tak banyak. Antara lain hanya paspor dan visa. Berbekal itu ia kemudian diterbangkan ke Hongkong. Di negara yang juga dikenal Mutiara dari Timur itu, Kafandi diminta menunggu berhari-hari di dekat Pelabuhan Perikanan Hongkong. Tiga hari berlalu. Kafandi lantas dijemput oleh kapal ikan kecil menuju kapal penampungan ikan di tengah Laut.
Di sana dia tidak bisa tidak terhenyak setelah menginjakkan kaki di kapal penampung ikan itu. Ratusan orang dari Filipina, Thailand, Vietnam, hingga Indonesia ditampung di kapal berkapasitas sekitar 1000 Gross Tonnage itu. “Ditampung dulu di tengah laut. Ini tindak perdagangan orang. Saya sebagai korban,” kata Kafandi.
Di atas kapal itu Kafandi tak lagi memegang paspornya. Jangankan gaji, kontrak kerja yang seharusnya diteken pun tak kunjung ia terima sekalipun sudah berada di kapal penampungan selama berbulan-bulan. Di sana Kafandi lebih banyak menunggu.
Akhirnya sebuah kapal berbendera Taiwan mendekati kapal penampungan. Oleh nahkoda, Kafandi kemudian diminta pindah dan bekerja di kapal tersebut. “Kapal Taiwan lebih banyak jenis hiu dan cucut. Di sana penangkapannya menyalahi aturan. Ambilnya sirip, badannya dibuang. Kalau harganya mahal badannya akan diambil. Sampai sekarang masih terjadi,” katanya.
Alih-alih bekerja dengan nyaman, Kafandi malah mengalami kekerasan yang berulang di kapal tersebut. Sementara asupan makanan yang ia makan tak layak. Ayam basi dan air buangan air conditioning adalah sedikit dari menu yang ia telan hampir tiap hari. Dengan kondisi seperti itu tak sedikit dari awak kapal menyerah hingga meninggal. Kata Kafandi, pekerja yang meninggal di atas kapal langsung dilempar ke tengah laut. “Jadi main tangan dan pukul sering terjadi. Jam kerja lebih dari 14 jam. Istirahatnya nggak bisa dipastikan. ABK di larung dulu lumrah alasannya ABK meninggal,” ia menceritakan.
Kejadian serupa juga dialami oleh Mulyanto—bukan nama sebenarnya. Lelaki asal Tegal, Jawa Tengah tersebut melamar pekerjaan sebagai pekerja kapal di Korea Selatan. Namun ia justru diminta bekerja di kapal berbendera Spanyol. “Jadi tidak jelas kerjanya di mana,” kata Mulyanto kepada Jaring.id. Ia menambahkan, rute perjalanan kapal pun tak menentu. Bisa menuju Eropa maupun berlabuh di wilayah Afrika.
Hal yang paling bikin Mulyanto tak kerasan ialah upah yang ia terima tak sebanding dengan pekerjaan yang ia lakukan. Sementara pekerja asal Spanyol bisa mengantongi upah 2000-3000 USD setara dengan Rp 32-38 juta untuk kurs per 5 Juni 2025, Mulyanto hanya mengantongi 1500 USD setara dengan Rp 24 juta. “Sementara pekerjaanya sama,” kata Mulyanto.
Berdasarkan data Environmental Justice Foundation (EJF) Korea Selatan pada 2023 terdapat 60 ribu orang bekerja sebagai pekerja migran di negeri ginseng. Dari jumlah itu 25 ribu di antaranya bekerja di kapal ikan. Menurut peneliti EJF, Woojin Chung kondisi pekerja kapal perikanan, khususnya pekerja migran asal Indonesia di Korea Selatan cukup memprihatinkan karena mengalami diskriminasi, paspor ditahan, kerja hampir 24 jam sehari, sedangkan upah dibayar murah.
Kondisi kerja itu, menurut Woojin Chung, dipengaruhi regulasi di Korea Selatan yang mendiskriminasi pendapatan pekerja kapal perikanan. Undang-Undang Pelaut Korea, misalnya, menetapkan upah minimum bulanan hanya untuk warga Korea Selatan. Sementara upah awak kapal migran mengikuti Federasi Transportasi Internasional. Hal ini terjadi lantaran Korea Selatan belum meratifikasi Convention ILO C 188 tentang Pekerja Perikanan.
Belied itu menegaskan pengaturan standar minimal bekerja sebagai awak kapal, upah pekerja, jam kerja, jam istirahat, kelayakan hidup, jaminan kesehatan, dan jaminan sosial awak kapal. “Saat ini di Korea Selatan pekerja migran jauh di belakang standar internasional yang ditetapkan oleh ILO dan PBB, dan tidak ada langkah-langkah yang mengikat secara hukum untuk melindungi,” kata Woojin.
“Kami baru saja mulai berkomunikasi dengan pemerintah Korea Selatan tentang bagaimana dapat melegalkan ketentuan dari C188 dan kemudian memasukkannya ke dalam hukum negara atau hukum nasional akan menjadi tujuan kami di tahun-tahun mendatang,” ia menambahkan.
Penelitian yang dilakukan EJF pada 2023 juga menemukan ketimpangan gaji yang diperoleh awak kapal. Pekerja Korea Selatan dapat menerima upah hingga USD 1.865 (KRW 2,5 juta) atau setara Rp 30,3 juta. Sedangkan pekerja migran hanya dibayar sebesar USD 554 atau Rp 9 juta lebih bagi mereka yang kurang berpengalaman dan USD 744 setara dengan Rp 12 juta untuk awak kapal berpengalaman. “Delapan belas orang yang diwawancarai melaporkan bahwa mereka menerima kurang dari upah minimum,” kata Woojin CHung kepada Jaring.id.

Tak hanya itu, potensi kerja paksa yang dialami oleh pekerja migran juga tampak dari jam kerja, kebutuhan pangan minuman yang tak layak, dan ancaman kekerasan. “Mereka sering melaporkan tidak ada kebebasan. Mereka juga melaporkan mengalami atau menyaksikan ancaman verbal atau kekerasan fisik seperti menendang dan pemukulan di atas kapal. Nelayan migran diancam dengan deportasi sebagai alat pemaksaan dan kontrol,” ujarnya.
Woojin menilai kondisi kerja yang syarat kekerasan tersebut sangat ironi dengan kondisi Korea Selatan yang bergantung pada industri perikanan. Menurutnya, Korea Selatan harusnya memberikan perlindungan lebih kepada pekerja migran.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Korea Selatan, Kang Do-hyung mengklaim pemerintah sedang berusaha memberikan perlindungan serta penghasilan layak kepada pekerja migran di sektor perikanan. KKP Korea Selatan telah melakukan koordinasi dengan Kementerian Tenaga Kerja serta Kementerian bidang Kehakiman Korea Selatan untuk membuat regulasi dengan menyesuaikan ratifikasi ILO 188. Kendati demikian, dia tak memberikan penjelasan Korea Selatan akan melakukan ratifikasi aturan itu.
“Kami sedang melakukan upaya yang relevan dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Ketenagakerjaan serta Kementerian Kehakiman. Saya ingin menyampaikan bahwa kami akan melakukan semua yang kami bisa ke depannya sehingga para migran dari luar negeri dapat menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan menikmati hak asasi manusia sepenuhnya dan hidup secara harmonis bersama penduduk Korea,” kata Kang Do-Hyung pada saat memberikan keterangan pers pada Our Ocean Conference 10th di Gedung Bexco, Busan, 29 April 2025.
Kondisi di Indonesia juga tak jauh berbeda. Awak kapal masih mengalami kekerasan dan kerja paksa selama bekerja di kapal Indonesia. Berdasarkan laporan Nasional Fisher Center Indonesia (NFC), Destructive fishing watch tentang Eksploitasi Buruh Awak Kapal Perikanan yang terbit pada 2024 disebutkan upah minimum yang tak layak, kerja melebihi waktu kontrak, hingga pelecehan masih dialami.
Pada 2024, NFC menerima aduan sebanyak 28 kasus dengan jumlah 67 korban. Dari aduan tersebut, mayoritas didominasi aduan dalam negeri dengan kasus sebanyak 25 kasus dan luar negeri dengan jumlah 3 kasus. “Mayoritas AKP yang menjadi korban adalah AKP pemula dengan pengalaman melaut yang minim, bahkan tidak memiliki pengalaman sama sekali,”ujar Direktur Program DFW Indonesia, Imam Trihatmadja seperti tertulis dalam laporan.
Menurut Imam, kondisi itu bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2021 tentang Log Book Penangkapan Ikan, Pemantauan di Atas Kapal Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan, Inspeksi, Pengujian, dan Penandaan Kapal Perikanan, serta Tata Kelola Pengawakan Kapal Perikanan. Belied itu mengatur salah satu kelaiklautan kapal perikanan meliputi kesejahteraan tenaga kerjanya, yang meliputi fasilitas di atas kapal.
“Berdasarkan pemantauan kami, tidak sedikit kasus yang menunjukkan bahwa para AKP tersebut tidak dibekali dengan PKL, Buku Pelaut, dan BST. Hal ini membuat para AKP semakin berada dalam posisi yang sangat rentan. Selain itu, kami juga menemukan bahwa masih ada pekerja anak dalam industri perikanan. Padahal, dalam berbagai regulasi yang berlaku, minimal harus berusia 18 tahun untuk bisa bekerja menjadi AKP,” ujar.
NFC dan DFW mendorong agar pemerintah memberikan perlindungan penuh kepada pekerja kapal. Selain itu mendorong pemerintah untuk memberikan fasilitas pelatihan bagi awak kapal, mengevaluasi dan menetapkan sistem pengupahan yang layak dan berkeadilan kepada awak kapal. Sementara bagi pelaku usaha, NFC dan DFW mendesak agar pelaku usaha tidak melakukan pemotongan upah, memberikan konsumsi bergizi, serta menjalankan operasi produksi yang aman dengan memperhatikan kesejahteraan bagi pekerja kapal.
Menanggapi kondisi pekerja kapal di Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan sebelumnya pernah menjamin perlindungan pekerja sektor perikanan. Sebab menurut Plt. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Lotharia Latif, pekerja kapal memiliki risiko tinggi saat melaut, maupun melakukan aktivitas penangkapan ikan.
“Fokus kami untuk melindungi para nelayan dan terus memperjuangkan agar mereka mendapatkan hak-haknya sehingga ada keadilan baik bagi nelayan kecil, pekerja kapal perikanan, dan pengusaha perikanan itu sendiri. Selain itu pembinaan, pemberdayaan dan sosialisasi juga terus kami lakukan untuk meningkatkan kapasitas para nelayan. KKP tidak bekerja sendiri dan melibatkan sinergi berbagai pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daerah dan NGO,” ujar Latif dalam pernyataan resmi KKP di Jakarta pada Kamis 17 April 2025 lalu.