Kebebasan informasi publik bergaung di berbagai negara beberapa tahun belakangan, termasuk Indonesia. Sayangnya, hal tersebut belum banyak dimanfaatkan oleh jurnalis. Jaring.id mewawancarai Jurnalis The Mainichi Newspaper Satoshi Kusakabe dan Shyamlal Yadav, Senior Editor The Indian Express, mengenai pengalaman mereka menggunakan aturan kebebasan informasi untuk memproduksi liputan investigasi.
“Saya ingin memastikan bahwa FOI (Freedom of Information) lebih kuat dari rahasia negara,” ujar Satoshi Kusakabe, Deputy Editor The Mainichi Newspaper, Oktober lalu.
Satoshi pantas gelisah. Perjuangan panjang masyarakat Jepang selama beberapa dekade agar kebebasan informasi mendapatkan landasan hukum terancam oleh digagasnya Undang-undang kerahasiaan negara oleh pemerintahan Shinzo Abe pada Desember 2013. Protection of Specially Designated Secrets (SDS) dinilai bisa mengancam kebebasan informasi publik karena membuka jalan bagi kriminalisasi peniup peluit.
Pembocor informasi bisa meringkuk sepuluh tahun dalam bui jika membocorkan rahasia negara. Sementara itu, Jurnalis yang mempublikasikannya diancam hukuman penjara lima tahun dan denda dalam jumlah besar.
Aksi penolakan terbesar dalam sejarah Jepang yang merespons rencana tersebut tak digubris pemerintah. Satoshi yang kerap menggunakan dokumen publik sebagai bahan liputan enggan berpangku tangan.
“Saya mengajukan permintaan dokumen ke 13 lembaga yang terkait dengan pembuatan aturan (SDS) tersebut seperti Kementerian Pertahanan, National Police Agency, dan Cabinet Office,” terang Satoshi.
Butuh waktu hampir setahun hingga permintaan tersebut beroleh hasil. Namun, pekerjaan baru saja dimulai. Pemerintah Jepang yang masih menggunakan kertas untuk melakukan dokumentasi membuat Satoshi harus memilah satu per satu 40.000 halaman dokumen yang didapatnya.
“Dokumen terpenting yang didapat adalah notulensi rapat antara Cabinet Office dengan Cabinet Legislation Bureau,” imbuhnya.
Penelisikan dokumen menuntunnya pada kesimpulan bahwa aturan tersebut juga memunculkan kontroversi di internal pemerintahan Jepang. Notulensi mencatat penilaian Cabinet Legislation Bureau yang menganggap bahwa kebutuhan akan undang-undang tersebut kecil.
Proses panjang yang dilakukan Satoshi untuk menulis laporan investigasi dengan dokumen publik tak menyurutkan niat pemerintah membatasi kebebasan informasi publik. Namun, setidaknya ia telah menjalankan fungsinya sebagai jurnalis: memberikan informasi akurat dan mendalam bagi masyarakat.
***
Memulai karir sebagai wartawan isu kriminal pada 1993, Satoshi banyak bersentuhan dengan petugas kepolisian. Dalam perjalanannya, ia sadar kalau jurnalis harus bersikap independen terhadap narasumber dan otoritas. Termasuk dalam memperlakukan ucapan keduanya sebagai bahan pemberitaan.
“Membuat berita dengan bergantung pada narasumber sedikit membuat frustasi. Saya tidak tahu tujuan mereka sebenarnya. Kadang-kadang mereka (narasumber) mencoba memanipulasi dan hanya menggunakan kita (Jurnalis) untuk menyebarkan informasi,” paparnya.
Satoshi mencari strategi lain untuk mendapatkan bahan pemberitaan. Dia mulai menggunakan Act on Access to Information Held, Undang-undang yang mengatur kebebasan informasi publik di Jepang, pada 2003.
Dengan menggunakan dokumen catatan pengeluaran Shintaro Ishihara, Gubernur Tokyo ketika itu, Satoshi memulai langkah. Investigasinya menemukan bahwa Shintaro menyelewengkan keuangan negara untuk keperluan pribadi, mulai dari makan malam dengan kolega hingga membayar akomodasi kelas satu ketika ia bepergian keluar negeri.
“Saya sangat terkesan dengan informasi yang bisa didapat dengan menggunakan FOI (Freedom of Information),” kenang Satoshi soal liputan tersebut.
Lebih dari sekadar kepuasan personal, liputan tersebut membawa dampak positif terkait transparansi. Laporan Satoshi berujung pada keharusan Gubernur untuk aktif melaporkan pengeluarannya dalam laman resmi pemerintah. Publik bisa ikut mengawasi pajak yang mereka bayarkan.
Kerja investigasi berbasis dokumen yang dia lakukan beberapa kali mengantarnya menyabet penghargaan di tingkat nasional. Ia mendapatkan penghargaan dari The Japan Federation of Newspaper Workers’ Unions Journalism Award pada 2015 dan Japan Congress of Journalists Award Grand setahun kemudian.
***
Keunggulan liputan berbasis dokumen juga dirasakan Shyamlal Yadav, Senior Editor The Indian Express. Menurutnya “,Tak ada yang bisa menyanggah keabsahan informasi dari dokumen yang didapat dari RTI (Right to Inform).”
Shyamlal begitu getol menggunakan Right to Information (RTI) Act, Undang-undang kebebasan informasi publik di India sebagai bahan liputan investigasi. Lebih dari 10.000 permintaan dokumen publik diajukannya sepanjang sepuluh tahun terakhir. 3000 permintaan diajukan secara daring, sisanya menggunakan proses luar jaringan.
India memang memiliki portal khusus yang bisa digunakan masyarakat untuk mengajukan permohonan informasi publik secara daring. Setiap permintaan dibebani biaya sebesar 10 Indian Rupee, atau setara dengan Rp 2.000. Namun, masyarakat yang masuk dalam kategori miskin bisa mengajukannya secara gratis.
RTI Act juga mengharuskan pejabat penyedia informasi publik untuk segera merespons permohonan informasi. Pejabat berwenang menyediakan informasi dalam 30 hari kerja. Jika tenggat gagal dipenuhi, mereka harus bersiap menanggung denda 25.000 indian rupee—atau setara dengan Rp5,1 juta—per hari keterlambatan.
“Denda harus dibayar oleh pejabat yang berwenang, bukan institusi tempatnya bekerja. Jadi, mereka harus meresponsnya dengan serius,” terangnya Oktober lalu.
Namun, bukan berarti semuanya menjadi mudah. Mendapatkan detil adalah keharusan. Shyamlal tak pernah berhenti dengan satu dokumen saja dan berusaha menggali lebih dalam dengan mencari dokumen lain yang terkait.
“Ini (mengumpulkan dokumen) memakan waktu. Namun, sekali beritanya dipublikasikan, tidak ada yang bisa menyangkalnya. Semua ditulis berbasis dokumen,” tegasnya.
Karya bertajuk Frequent Fliers adalah contohnya. Dalam liputan tersebut Shyamlal menelisik perjalanan dinas luar negeri yang dilakukan para Menteri di bawah rezim United Progressive Alliance (UPA). Penelisikan berbasis dokumen berbuah simpulan bahwa jarak perjalanan luar negeri para menteri selama tiga setengah tahun setara dengan perjalanan 256 kali lingkar bumi.
Liputan tersebut direspons positif oleh Manmohan Singh, Perdana Menteri India ketika itu. Ia meminta para Menteri dan pejabat senior di lingkungan kementerian mengurangi perjalanan dinas, khususnya ke luar negeri. Perjalanan dinas hanya boleh dilakukan jika betul-betul dibutuhkan.
Frequent Fliers mengantar Shyamlal menyabet National RTI Awards, penghargaan tahunan yang ditujukan bagi individu yang komitmennya terhadap RTI Act patut dijadikan contoh. Ia menyisihkan 1.130 kandidat lain yang berasal dari berbagai bidang.
Konsistensinya dalam memproduksi liputan investigasi berbasis dokumen publik dirangkum dalam Journalism through RTI: Information, Investigation, Impact. Buku yang dirilisnya pertengahan tahun lalu tersebut tidak hanya mengompilasi liputan-liputan terbaiknya, tetapi juga paparan kondisi kebebasan informasi publik di berbagai belahan dunia.
“Ada 129 negara yang menerapkan undang-undang mengenai kebebasan informasi publik, tetapi tak banyak jurnalis di negara tersebut yang menggunakannya. RTI (Right to Inform) adalah senjata Jurnalis untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan,” tegasnya.