Dua tahun sebelum pemilihan 2024, sedikitnya ada 75 partai politik yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Sementara partai yang sudah melengkapi data dan dokumen di Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) Komisi Pemilihan Umum hingga Kamis, 28 Juli 2022 baru enam partai. Sebagian dari mereka pun tampak sudah mulai berancang-ancang merebut simpati publik. Salah satunya dengan memanfaatkan media sosial, seperti Tiktok.
Dari 19 partai yang memiliki akun Tiktok, lima diantaranya memiliki pengikut di atas 10.000 dan terbilang aktif mengunggah konten. Partai Garuda tercatat memiliki jumlah konten paling sedikit dengan pengikut paling tinggi, yakni mencapai 450.7 ribu pengikut, diikuti PKS dengan 31.8 ribu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) 16.6 ribu, Partai Ummat 16.4 ribu, Partai Amanat Nasional (PAN) 15.8 ribu dan terakhir akun Dewan Perwakilan Daerah Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Kota Bandung sebanyak 14.7 ribu.
Isi halaman Tiktok milik partai pun sama seperti kebanyakan orang. Berisi video pendek yang menampilkan beberapa orang berjoget, video parodi, serta video hiburan lainnya. Tak jarang pula yang menyuguhkan kegiatan pribadi maupun agenda partai. Ahmad Syaikhu salah satunya. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang juga Ketua Umum PKS ini aktif mengunggah kegiatannya melalui akun syaikhu_ahmad_. Pada 2 Juli lalu, Syaikhu membagikan video ketika tengah bersama istrinya jelang perayaan Idul Adha.
Sementara video terkait PKS yang sempat viral ialah video yang menunjukkan lima perempuan dengan atribut khas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menari di bahu jalan. Video berdurasi delapan belas detik itu ditonton sebanyak 1.9 juta kali dan meraup sekitar 56.8 ribu tanda suka, serta memantik 6.574 komentar.
Pada akun lain, nasdem.bdg milik DPD Partai Nasdem Kota Bandung, misalnya, acapkali mengunggah video yang mengajak warganet untuk berkegiatan bersama dengan Nasdem. Video yang diunggah Selasa, 26 Juli lalu salah satunya. Konten tersebut menampilkan sosok perempuan muda berjaket partai. Ia berpose dengan mengangkat lengan di atas kepala sebelum merapatkan kedua telapak tangan. Dengan bantuan filter Tiktok, tubuh perempuan itu seakan bergerak meliuk-liuk mengikuti irama musik.
Video lain menunjukkan barisan perempuan berkemeja, bercelana panjang, dan sebagian lagi mengenakan rok pendek maupun panjang melakukan pemanasan seakan hendak berolahraga. Video berdurasi 13 detik itu dibubuhi caption, “siapa bilang perempuan hanya sebagai pelengkap politik.”
Baca juga: Perempuan dalam Kepemimpinan
Dari seratus konten milik Nasdem Bandung sejak 19 Juni 2022, sedikitnya ada 21 konten yang melibatkan perempuan. Mayoritas konten dibubuhi deskripsi singkat mengenai penguatan posisi perempuan dalam kancah politik, tetapi hampir semua justru hanya mempertontonkan wajah dan tubuh perempuan.
Wakil Ketua Bidang Media dan Komunikasi DPD Nasdem Kota Bandung, Rhyma Permatasari menyangkal telah mengobjektifikasi perempuan dalam video Tiktok partai. Menurutnya, video yang telah diunggah selama ini tidak hanya sekadar menari-nari. Nasdem Kota Bandung berusaha untuk mengajak anak muda untuk tidak lagi apatis terhadap politik. Sebagian konten juga dinilai sebagai representasi perempuan dalam politik.
“Jadi perempuan-perempuan ini memang aktif dibawa dan diberdayakan untuk Nasdem Bandung sendiri. Semua perempuan yang ada di konten itu semua kader. Jadi mereka juga kebetulan good looking dan memang berprestasi,” terang Rhyma.
Sementara itu, DPD Nasdem Kota Surabaya justru mengakui pengaruh talent perempuan pada konten sosmed. “Memang kalau perempuan beda, lebih banyak daya tariknya,” kata Unang Noer, Wakil Ketua DPD Nasdem Surabaya.
PKS justru sebaliknya. Dari 20 konten teratas pada akun Tiktok resmi mereka, praktis hanya 2 konten yang menampilkan perempuan. Dominasi figur laki-laki pada konten-konten PKS justru lebih ketara. Dari 100 konten yang diunggah sejak 15 Maret 2022, hanya sembilan kali menampilkan perempuan. “Tidak ada bedanya ya. Bisa dilihat di konten kita,” kilah Mabruri pada Jaring, 14 Juli 2022.
Dari banyak konten yang diproduksi PKS maupun kader PKS, salah satu diantaranya sempat menjadi perbincangan warganet, yakni video yang diunggah Auliyah Fadlilah. Video berdurasi 18 detik itu menampilkan lima perempuan dengan atribut khas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menari di bahu jalan. Video itu sempat viral dengan ditonton sebanyak 1.9 juta kali dan meraup sekitar 56.8 ribu tanda suka, serta memantik 6.574 komentar.
Pemerhati gender, Putri Aisyiyah Rachma Dewi menilai Tiktok tidak hanya mengubah wajah internet. Aplikasi tersebut juga menjadi suatu fenomena kebudayaan. Sayangnya, kata dia, video yang diunggah partai lewat Tiktok masih merepresentasikan budaya patriarki. “Ini penyakit lama ya di masyarakat kita,” jelasnya pada 18 Juli 2022.
Hal ini dapat ditunjukan dengan banyaknya video Tiktok yang hanya menampilkan perempuan berjoget-joget. Menurutnya, video Tiktok partai saat ini tak ubahnya cara untuk mengobjektifikasi perempuan. “Ketika mereka hendak menjual produk itu selalu mengasosiasikan apapun dengan seksualitas. Kemudian seksualitas itu diartikan dengan objektifikasi perempuan,” kata penulis buku berjudul Literasi Media Sketsa Khalayak di Hadapan Media.
Oleh sebab itu, ia berharap partai tidak lagi menampilkan perempuan hanya sekadar tubuh. Partai seharusnya bisa menonjolkan kapasitas kader perempuan dalam video Tiktok yang diproduksi. “Perempuan di situ tidak ditampilkan dalam porsi kecerdasan dan kapabilitasnya dalam berpolitik. Perempuan ditampilkan hanya sebatas daya tarik seksualnya,” imbuhnya.
Ditemui terpisah, ahli hukum konstitusi Bivitri Susanti pun sependapat. Menurutnya, perpolitikan di Indonesia masih sangat patriarkis. Hal ini mengakibatkan media sosial hanya dimanfaatkan sebagai alat, sehingga apa yang diunggah partai tidak merepresentasikan visi maupun misi partai dalam pemilihan umum, khususnya yang terkait dengan isu perempuan.
“Cara berpikir partai jadi seperti ilmu marketing saja. Apa nih yang bisa meningkatkan penjualan, jadi bukan ideologi. Kalau orang marketing pada umumnya kan bagaimana caranya menarik perhatian untuk meningkatkan penjualan. Jarang tuh yang punya visi misalnya,” kata Bivitri.
“Akhirnya diambil saja, mana yang lucu, disukai, padahal dangkal. Tidak punya dampak terhadap usernya. Parpol, menurut saya pendekatannya jadinya sama,” ia menambahkan.
Hal ini, menurutnya, dipengaruhi oleh rendahnya tingkat literasi terutama literasi digital. “Jadi memang, kita itu sebenarnya sudah masuk digitalisasi, tapi kita itu lompat. Sebenarnya lompat karena tidak didukung dengan pendidikan dan juga literasi yang cukup. Tidak hanya partai politik, tapi kita bicara secara umum,” terangnya.
Baca juga: Dorong Perempuan Ciptakan Pemilu Inklusif
Akibatnya, aktivitas parpol di media sosial cenderung mengikuti arus budaya massa yang sudah ada di media sosial. Ketimbang memanfaatkan kurangnya literasi warganet, kata dia, parpol seharusnya mampu menyuguhkan konten-konten berbobot. “Jadi misalnya sekarang itu yang lebih banyak lucu-lucuan, jadi sosial medianya dan hal-hal yang terkait dengan sosial media lucu-lucuan saja,” pungkas Bivitri.
Salah satu pemilih muda, Baby Pardede (24) pun menganggap akun Tiktok parpol hanya medium hiburan. Hal itu tidak berpengaruh pada pilihan politiknya. “Kalau tujuannya untuk menarik suara anak muda tentu tidak akan masuk sih kak,” komentar Baby setelah melihat video viral PKS.
“Justru malah di-roasting sih kalau seperti ini,” lanjutnya.
Ia berharap, partai politik lebih menunjukkan visi misi, program, maupun kinerja ketimbang hanya riuh bermain Tiktok. Nanda Syarifah (25), pemilih muda asal Surabaya juga mengharapkan hal yang sama. “Soalnya lebih meyakinkan saja kalau melihat sosmed politikus yang akan mencalonkan diri bener-bener kerja. Nasib kita tergantung dengan dia nantinya,” ujar Nanda. (Reka Kajaksana)