Dihimpit Impor dan Tengkulak

Sudah lima tahun Jopi Hendrayani (48) tak meraup untung dari penjualan tembakau kering. Hasil panen sebanyak 4 kuintal dari lahan seluas 50 are yang digarap petani Desa Beleka, Praya Timur, Lombok Tengah ini hanya dihargai Rp 13 juta. Padahal ongkos tanam yang mesti ia rogoh sebesar Rp 16 juta.

“Hampir setiap tahun kita mengalami gulung tikar. Sekadar balik modal saja kita sudah bersyukur,” kata Jopi kepada Jaring.id melalui sambungan telepon, Senin, 7 Desember 2020.

Jopi bukan satu-satunya petani swadaya yang menggantungkan hidup pada tembakau. Sedikitnya ada 4000 petani di Lombok Tengah yang bernasib sama.  Dalam buku Tembakau 2018-2020 yang dirilis Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Nusa Tenggara Barat memang tercatat sebagai salah satu kantung produksi tembakau di Indonesia. Tahun lalu, produksinya mencapai 46.077 ton, atau meningkat 11.259 ton ketimbang 2018.

Peningkatan produksi di daerah tersebut tak sejalan dengan serapan industri tahun 2019 yang hanya 26 ribu ton, atau setara dengan 26 miliar batang. Suramnya kondisi petani tembakau diamini Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian, Hendratmojo Bagus. Menurutnya, petani kerap mengeluhkan harga jual tembakau.

“Harga (tembakau) ini masih jadi pekerjaan rumah. Apakah karena kualitas tidak sesuai dengan kebutuhan industri atau ada indikasi terkait rantai pemasaran?” ujar Hendratmojo ketika dihubungi Jaring.id pada Kamis, 17 Desember 2020.

 

***

 

Prayanto, salah satu petani mitra PT Djarum di Desa Wanungan Gunung, Temanggung, Jawa Timur menyebut bahwa harga tembakau yang diserap oleh industri sangat bergantung pada penilaian perusahaan. Tembakau kemloko yang diproduksi Yanto misalnya, bisa dihargai hingga Rp 150 ribu per kilogram apabila masuk dalam grade F. Namun, jika kualitasnya tidak terlalu bagus, maka harganya bisa anjlok hingga Rp 30 ribu per kilogram untuk grade A.

Penentuan grade tersebut, lanjut Yanto, dilakukan oleh para grader yang bertugas menilai kualitas tembakau. Mereka pula yang menentukan apakah tembakau petani bakal diserap atau tidak oleh perusahaan.

Grader itu biasanya pekerja lama di perusahaan. Itu sudah ada hubungan turun temurun. Mereka juga menentukan harga,” ujarnya ketika dihibungi Jaring.id pada Selasa, 15 Desember 2020.

Adapun beberapa standard yang dinilai untuk menilai kualitas tembakau yakni aroma dan warna tembakau, serta tidak tercampur dengan tembakau jenis lain. Meski tercatat sebagai petani mitra, tetapi tembakau yang tak lulus penilaian tak bakal diserap oleh perusahaan. Padahal, terdapat berbagai persyaratan yang ditetapkan perusahaan agar petani tembakau bisa tercatat sebagai petani mitra seperti punya lahan minimal 0,3 hektare, tanah berstatus hak milik, berkomitmen untuk tidak mencampur tanaman tembakau binaan perusahaan dengan tanaman lokal, serta mengikuti seluruh pembinaan yang dilakukan oleh pihak industri.

“Sampai panen warna tembakau harus sesuai keinginan perusahaan,” ujarnya.

Tahun lalu, tembakau yang ditanam Yanto dinilai tak punya kualitas prima. Walhasil, kenaikan produksi tak sejalan dengan pertumbuhan pendapatan. Selain itu, ia juga menyebut kalau harga rokok kerap dijadikan alasan untuk menentukan harga beli tembakau oleh perusahaan. Namun, berdasarkan pengalamannya, harga tembakau tak beranjak naik meskipun harga rokok terus melesat.

Lemahnya posisi tawar petani tembakau juga dialami Jopi Hendrayani asal Lombok Tengah. Sejak bertani tembakau pada 2009 tidak sekalipun ia bisa menjual hasil panen langsung ke perusahaan.

“Kami harus melalui tengkulak,” ujarnya.

Menurut Jopi, harga tembakau virginia daun pertama hanya dibandrol Rp 800 ribu per kilogram oleh tengkulak, padahal gudang menaksirnya  Rp 1,8 juta per kilogram.

“Tengkulak itu mempunyai kartu khusus untuk masuk ke gudang. Tengkulak bisa untung dua kali lipat,” katanya.

Kondisi tersebut diperparah dengan pembatasan kuota tembakau yang dapat diserap oleh perusahaan. Sampai saat ini, ia dan ribuan petani lain tak tahu persis apa yang dijadikan dasar penentuan kuota. Kata Jopi, hanya tengkulak dan petani mitra yang mengetahui jatah tembakau setiap gudang.

“Alasan gudang selalu klasik, mereka bilang kuota kepenuhan,” ujarnya.

Petani mitra yang dimaksud oleh Jopi ialah petani yang dibina industri rokok agar bisa menghasilkan tembakau yang sesuai kebutuhan industri. Di Lombok Tengah, menurutnya, terdapat 50 petani mitra Djarum dan Gudang Garam.

 

***

 

Riset yang dilakukan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia pada 2020 menyebutkan bahwa petani tembakau masih  terjebak dengan tata niaga yang bersifat oligopsonistik atau pasar yang hanya terdiri dari segelintir pembeli. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Lombok Tengah, Pamekasan, dan Kendal ditemukan kalau petani tidak memiliki daya tawar untuk menentukan kualitas dan harga tembakau yang diproduksi.

“Petani kurang berdaya dalam tata niaga tembakau, cenderung pasrah dengan harga yang ditentukan oleh gudang/tengkulak karena khawatir tembakau mereka tidak terserap,” kata peneliti PKJS UI, Suci Puspita Ratih kepada Jaring.id, Selasa, 15 Desember 2020.

Selain itu, menurut Suci, serapan tembakau petani mitra oleh pabrik rokok tidak menentu. Perusahaan kerap mematok kuota yang lebih kecil ketimbang produksi petani. Ia menyebut bahwa alih tanam ke komoditas lain bisa jadi solusi kelebihan produksi.

”Komoditi tembakau bukan yang paling menguntungkan bagi petani karena biaya produksi yang sangat tinggi dan faktor cuaca,” kata Suci.

Faktor lain yang ia soroti adalah dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) belum optimal. Menurut Suci, skema DBH CHT yang didasari kenaikan cukai belum dapat membantu kesejahteraan petani.

“Kebanyakan DBHC dialihkan ke kesehatan. Ini masih jadi perdebatan,” ujarnya.

Terkait hal tersebut, baru-baru ini pemerintah merilis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.010/2020. Peraturan ini mengatur kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada 1 Februari 2021 sebesar 12,5 persen.

Rokok sigaret putih mesin (SPM) golongan I akan naik sebesar 18,4 persen, SPM golongan II A (16,5 persen), SPM IIB (18,5 persen). Kemudian untuk sigaret kretek mesin (SKM) golongan I akan naik menjadi 16,9 persen, SKM IIA (13,8 persen) dan SKM IIB (15,4 persen).

“Untuk industri sigaret kretek tangan (SKT), tarif cukainya tidak berubah,” kata Sri Mulyani saat memberikan keterangan pers, Kamis, 10 Desember 2020.

Meski skema penaikan cukai belum menyentuh harga jualan eceran (HJE), Sri Mulyani berharap keputusan tersebut dapat menekan angka prevalensi perokok. Ini sesuai dengan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

“Kenaikkan cukai hasil tembakau ini akan menyebabkan rokok jadi lebih mahal atau affordability indeksnya naik jadi 12,2%, jadi 13,7% sampai 14% sehingga makin tidak dapat terbeli,” tambahnya.

Sri menyebut, pemerintah juga akan fokus pada pemanfaatan DBH CHT sebesar 50 persen untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan buruh industri hasil tembakau. Salah satu caranya adalah peningkatan kualitas bahan baku maupun diversifikasi tanaman bagi para petani tembakau

 

***

 

Soal kenaikan cukai dan kesejahteraan petani, Jopi punya pengalamannya sendiri. Berulang kali kenaikan cukai, petani tembakau justru kerap ditekan untuk menurunkan harga jual. Saat cukai naik 10,04 persen pada 2018 misalnya, harga tembakau yang dia jual tidak lebih dari Rp 60 ribu.

“Itu (kenaikan cukai) dijadikan alat untuk menekan petani tembakau,” ujarnya.

Selain itu, ia menyebut kalau impor tembakau kerap jadi biang keladi anjloknya harga tembakau.

“Masalahnya impor, jadinya gudang penuh,” kata Jopi.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Edy Sutopo menyatakan kualitas produksi tembakau dalam negeri belum dapat memenuhi kebutuhan industri. Pada 2017 impor tembakau tercatat sebanyak 119.545 ton, sementara 2018 meningkat menjadi 121.390 ton, sedangkan 2019 turun 110.923 ton. Menurut Edy, rata-rata kebutuhan impor setiap tahun sebesar 100-130 ribu ton.

“Yang diimpor ada yang sudah bisa diproduksi dari dalam negeri seperti jenis virginia. Barangkali ini yang dipikirkan, kalau sudah bisa diproduksi dalam negeri maka impornya perlu menyesuaikan,” katanya ketika diwawancara 17 Desember 2020.

Menanggapi hal tersebut anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Viva Yoya Mauladi setuju dengan pembatasan impor. Ia mengklaim tidak adanya kuota impor justru akan membuat harga tembakau di tingkat petani semakin rendah.

“Produsen selalu rugi dan menjadi bulan-bulanan kemauan dari kepentingan pabrikan, yang menentukan harga pabrik, bukan karena keseimbangan supply dan demand,” kata Viva Yoya Mauladi saat dihubungi Jaring.id Kamis, 17 Desember 2020.

Direktur Sumber Daya Manusia Universitas Indonesia (UI) Abdillah Ahsan menyatakan pemerintah perlu mengendalikan impor tembakau dengan ketat. Salah satunya dengan menaikkan tarif bea impor hingga 15 persen. Dengan begitu diharapkan dapat memaksimalkan hasil produksi tembakau lokal.

“Sebaiknya dinaikkan dua kali lipat agar harga impor naik. Jika harga impor naik, perusahaan akan beli dari petani tembakau,” katanya ketika diwawancara Kamis, 17 Oktober 2020.

Sementara itu, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefthi tidak sepakat adanya kuota maupun kenaikan tarif cukai. Sebab sampai saat ini produksi tembakau lokal belum dapat memenuhi kebutuhan industri.

“Secara umum kebutuhan tembakau dari pabrikan 300 ribu ton setahun, sedangkan produksi paling banyak 200 ribu ton. Mau tidak mau ya impor,” ujarnya ketika dihubungi Jumat, 18 Desember 2020.

Untuk menjamin serapan tembakau petani, Moefthi menyarankan agar pembatasan diarahkan dengan regulasi nontarif. Contohnya ketika perusahaan rokok mengimpor 1 ton tembakau, maka mereka wajib menyerap 2 ton dari petani. Skema ini, kata dia, tengah dibahas pengusaha dengan pemerintah. “Penjualan secara tradisonal memang melalui tengkulak, makanya pemerintah akan menggalakkan petani bermitra dengan industri untuk memotong rantai penjualan ke Industri,” ujarnya.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.