CITES Berburu Data Perdagangan Hiu Indonesia

Surat review of significant trade (RST) dari Sekretariat CITES—lembaga yang mengurusi konvensi perdagangan internasional spesies satwa dan tumbuhan liar terancam punah, dilayangkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kelautan Perikanan pada 5 Juli 2024 lalu. Isinya mempertanyakan keberadaan hiu martil (Sphyrna lewini) di Indonesia yang tergolong spesies Apendiks II.

“Merekomendasikan agar otoritas pengelolaan menyelesaikan sejumlah tindakan sebelum melakukan perdagangan internasional untuk hiu martil. Termasuk memperbaiki pencatatan tangkapan, penerapan kuota tangkapan berdasarkan estimasi populasi, penetapan batas ukuran individu yang didaratkan dan turunannya yang diperdagangkan, dan perlindungan tempat perkawinan dan pembibitan,” tulis CITES kepada Indonesia yang telah meratifikasi aturan internasional ini sejak 46 tahun lalu melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang Pengesahan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora yang telah ditandatangani di Washington pada 3 Maret 1973.

Pertanyaan dari lembaga yang berbasis di Jenewa itu merupakan bagian dari upaya CITES mengidentifikasi dugaan perdagangan internasional hiu yang tak berkelanjutan. Dengan begitu, Indonesia, seperti negara lain yang meratifikasi CITES, wajib melaporkan dan memperbarui data perdagangan hiu. Di samping itu perlu membentuk aturan domestik beserta otoritasnya untuk mengawasi perdagangan, juga menerbitkan izin ekspor dan atau impor untuk spesies-spesies yang tercantum pada Apendiks CITES yang berada di dalam atau memasuki wilayah Indonesia.

Peneliti IUCN—organisasi internasional yang didedikasikan untuk konservasi sumber daya alam, yang mengetahui ihwal surat itu menceritakan bahwa pemerintah diminta untuk menyerahkan data terkait keberadaan dan perdagangan hiu. “Mereka mempertanyakan kondisi hiu martil di Indonesia,” kata Benaya Simeon kepada Jaring.id, 16 Juni 2024. Sebab, menurutnya, perdagangan spesies yang tergolong Apendiks II harus dilakukan secara terukur, tercatat, dan terdokumentasikan dari hulu hingga hilir. Hal itu sesuai Pasal IV Konvensi CoP18. “Dari hal itu mereka meminta pendataan perdagangan hiu martil,” katanya.

Identifikasi habitat Hiu Martil oleh ESA

IUCN sendiri telah menetapkan hiu martil masuk kategori critically endangered atau statusnya sudah kritis. Status ini menandakan bahwa keberadaan hiu martil menyusut sekaligus sulit ditemui. Itu sebab, Sekretariat CITES meminta Indonesia menjelaskan keberadaan spesies yang habitat, daerah penangkapan, serta rantai perdagangannya berada di wilayah Indonesia.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang terlibat penyusun laporan, Fahmi mengakui bahwa CITES meminta Indonesia memperbaiki dokumen NDF. ”Mereka minta perbaikan, kurung waktu lima tahun ke depan. Tapi masalah yang dihadapi Indonesia, yakni data yang dipunya hanya data tangkapan, tidak ada sumber lain. Padahal bagusnya ada pendataan langsung dari pendaratan. Sementara hal itu susah dikumpulkan” ujar Fahmi saat dihubungi Jaring.id, 27 Juli 2024.

BRIN sebenarnya juga pernah meminta agar KKP memberikan data spesifik mencakup spesies. Namun hal itu sulit dipenuhi KKP dengan alasan tak memiliki data yang cukup. “Kami merekomendasikan ke KKP data spesifik per spesies. Karena tak ada, sekarang kami kerjasama dengan KKP untuk membuat lokasi prioritas pendaratan. Lokasi pendaratan ini mewajibkan melaporkan sampai tingkat spesies. Untuk wilayah Indonesia timur belum ada, baru sampai lombok,” kata dia.

Senada dengan Benaya, Fahmi menyebut bahwa perlakuan spesies yang masuk kategori Appendix CITES haruslah berbeda. Pencatatan jejak rekam perdagangan dari hulu ke hilir harus lengkap. Selain itu, pengawasan ketat pun perlu dilakukan agar tidak ada pelaku perikanan yang sembarangan menangkap dan memperjualbelikan. “Jika masuk CITES perlakuannya harus beda, penangkapan nggak sembarangan jadi harus memiliki izin, nggak semua bisa menangkap. Masalahnya hal itu tidak jalan. Yang terjadi semua masih bisa menangkap. Ini yang masih susah,” pungkasnya.

Data yang dihimpun dari CITES Trade menunjukkan Indonesia tidak pernah melaporkan jumlah perdagangan hiu martil, baik dalam bentuk ekspor maupun impor sejak 2023-2024. Indonesia hanya mencatatkan data hiu martil untuk impor dan ekspor sepanjang 2021-2022.

Pada 2021 impor sirip tercatat sebanyak 6314 kilogram (kg) dan kulit seberat 380 kg. Sementara ekspor sirip sebanyak 7137 kilogram, daging 0.19 kg, dan kulit sebanyak 206 kg. Setahun berselang, impor sirip kulit martil yang tercatat seberat 6079.59 kg, tulang (2875 kg), dan kulit (239.40 kg). Sedangkan ekspor sirip (7934.70 kg), tulang (2982.5 kg), daging (0.2 kg), dan kulit (828.50 kg).

Benaya menjelaskan bahwa pemerintah mesti segera melaporkan perdagangan hiu kepada CITES. Bila tidak, maka Indonesia bisa dicap memiliki rekam jejak buruk dalam perdagangan dan upaya konservasi hiu. “Jadi KKP harus menjawab surat CITES. Ini mungkin hanya hiu martil saja yang ditanya, namun tidak menutup kemungkinan di masa depan ada pertanyaan jenis hiu lain,” kata Benaya.

Hiu dalam daftar Apendiks II CITES—daftar spesies yang tidak terancam punah tapi bisa punah jika dieksploitasi terus-menerus, di Indonesia diketahui terus diburu. Beberapa bulan lalu, Jaring.id sempat melakukan pengamatan langsung di wilayah pendarat ikan di Pantai Utara Jawa, seperti Rembang, Tegal, dan Juwana. Dari tiga daerah itu kami menemukan pelbagai jenis hiu yang bebas diperjualbelikan, mulai dari hiu martil, pari, dan hiu cucut sebelum sirip-siripnya dipisahkan.

Baca juga: Jagal di Tengah Laut Arafuru

Sementara dari Indonesia Timur, mulai dari Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Papua, tak sedikit dari nelayan maupun anak buah kapal di daerah tersebut yang mengkhususkan diri berburu hiu. Salah satunya pria yang mengaku bernama Daeng. Nelayan Kepulauan Aru ini bisa berburu hiu sampai perbatasan Laut Arafura. “Saya sampai ke perbatasan Australia kalau menangkap hiu,” kata Daeng nelayan asal Dobo yang mengaku telah 40 tahun menangkap hiu.

Meski begitu, hasil tangkapan hiu yang dilakukan Daeng tak tercatat secara rinci di Pelabuhan Perikanan Dobo. Pelbagai jenis hiu yang didaratkan hanya dicatat sebagai “hiu,” padahal seharusnya pencatatan itu dilakukan sesuai dengan jenisnya. Sebab ada beberapa jenis hiu yang tidak boleh diperdagangkan. Hiu martil dan koboi, misalnya, tak boleh diekspor ke luar negeri. Sedangkan hiu lanjaman masih bisa diekspor, tapi dengan sistem kuota. Para pedagang yang tak memiliki izin SIPJI atau SAJI, atau surat rekomendasi jenis yang diperjualbelikan dilarang melakukan penjualan.

Pada 2023, pemerintah Indonesia memberikan izin ekspor sirip, daging, dan tulang Hiu Martil sekitar 30 SIPJI LN. Sementara pada 2024 sebanyak 13 perusahaan per Mei 2024. Kondisi itu meningkat dibandingkan periode 2021 yang hanya mengeluarkan 23 SIPJI LN dan 2022 sebanyak 13 SIPJI LN.

Salah satu perusahaan yang mendapatkan izin ialah CV Cahaya Bahari yang beroperasi di Jalan Ngesong Dukuh Kupang II Nomor 19 RT 001 RW 006, Dukuh Kupang, Dukuh Pakis, Kota Surabaya, Jawa Timur.
Perusahaan ini tercatat memiliki dokumen Surat Izin Pemanfaatan Ikan Luar Negeri (SIPJI LN). Jaring.id memperoleh salinan dokumen SIPJI LN milik CV Cahaya Bahari dengan Nomor Angkut Jenis Ikan 00385/SAJI/LN/PRL/2023. Tujuan pengiriman ke perusahaan Cutie Logistics Company yang beralamat di 7A.26/F Well Fung Ind Center 68 TA Chung Ping Street Kwai Chung N.T, Hong Kong, China.

Adapun sirip yang dikirim dari jenis hiu sutra (Carcharhinus falciformis) sebanyak 2.281,21 kilogram, pari kekeh (Rhynchobatus australiae) seberat 322,51 kilogram, hiu kepala martil bergigi (Sphyrna lewini) seberat 70,29 kilogram, dan Hiu Martil Besar (Sphyrna mokarran) seberat 30,38 kilogram yang seluruhnya masuk kategori Appendiks II. Dilihat dalam laman CITES, kesemua data tersebut tidak pernah tercatat di dalam laman resmi CITES.

Salah satu pekerja bagian administrasi CV Cahaya Bahari, Irma Nirwana membenarkan dokumen pengiriman sirip ke Hongkong. Pengiriman dilakukan menggunakan jalur laut melalui Tanjung Priok, Jakarta. Pada Januari 2024 lalu, perusahaan sempat mengirimkan 4 ton sirip ke Cutie Logistics Company. “Setelah dapat surat SIPJI LN lalu nunggu jadwal kapal. Selama ini pakai jalur laut menggunakan container. Harga sirip relatif. Kami sudah terikat dengan buyer jadi nggak bisa dipatok,” kata Irma saat ditemui di kantor perusahaan, 24 Desember 2023.

Namun, dalam penelusuran dokumen ekspor melalui Panjiva—platform internasional terkait perdagangan global, tidak ada satupun dokumen yang menerangkan penerimaan sirip di Hong Kong dari CV Cahaya Bahari. Cutie Logistic juga tak terekam menerima sirip asal Indonesia. Begitu juga ekspor sirip dari Hong Kong ke luar negeri, tak ada satu data perdagangan sirip yang terekam. Hal itu diperkuat bahwa penyalur dari perusahaan asal Hong Kong tidak ada satupun di Indonesia. Pengirim didominasi oleh Fishery Colombian inds dari perusahaan Colombia, Man Kang S.A perusahaan yang berasal dari Nikaragua Amerika Tengah, dan Productos Secos Del mar Prosec Marcas dari Colombia.

Mengenai surat dari CITES, KKP melalui Tim Kerja Pemanfaatan Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut menyatakan telah menyerahkan dan dan informasi mengenai perdagangan hiu kepada CITES sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Pemerintah pun mengklaim telah serius melakukan pendataan, termasuk mengelola industri perikanan berkelanjutan. “Kami komitmen untuk upaya mengatur dan mengelola perdagangan hiu agar tidak over,” ujar Sarminto kepada Jaring.id, Senin, 26 Februari 2024.

Sarminto menyatakan bahwa surat kepada CITES diberikan pada 18 Juli 2024 lalu. Dalam dokumen yang diperoleh Jaring.id, pemerintah Indonesia menyampaikan telah melakukan larangan ekspor sejak 2017-2019 pada spesies hiu martil, namun perdagangan dalam negeri masih diperbolehkan.

Baca juga: Lecit Sirip Sampai ke Cina

Sementara untuk kebutuhan ekspor, kuota mulai didistribusikan pada 2020 sejak adanya transisi pengelolaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ekspor yang dicatat pemerintah pada 2020 sebanyak 8815 ikan, pada 2021 sebanyak 7200 ikan mencakup seluruh bagian hiu martil. Pemerintah mengklaim tak ada pelanggaran pada perdagangan hiu martil. “Tapi pada 2021 realisasi ekspor hanya 2208,70 kilogram. Tidak ada indikasi pelanggaran perdagangan ilegal untuk hiu martil,” sebut dokumen Indonesia ke CITES.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (DJPRL) mengaku telah memperkuat upaya perlindungan terhadap habitat hiu dan pari di Indonesia. Menurut KKP tindakan itu sejalan dengan program ekonomi biru KKP, yakni memperluas kawasan konservasi laut.

Di sisi lain, Dirjen PRL, Victor Gustaaf Manoppo mengaku berkomitmen melindungi dan melestarikan hiu dan pari. Salah satunya dengan cara menetapkan kawasan konservasi, penetapan status perlindungan, dan mengatur perdagangan melalui konvensi CITES. “Hiu dan pari tingkat pemanfaatannya yang tinggi baik sebagai perikanan target maupun tangkapan samping. Untuk itu, upaya konservasinya mencakup perlindungan habitat maupun pengaturan pemanfaatannya” tutur Victor, 25 Mei 2024.

Tak Bekerja, Kelesah Pemuda Jakarta Utara

Burhan—bukan nama sebenarnya, menatap layar laptop dengan serius di rumahnya. Dahi mahasiswa semester 5 Bina Sarana Informatika (BSI) ini sejenak mengernyit ketika mendapati soal ujian

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.