Bahu-Membahu Alumni Sekolah Tani

Enam mesin pembajak sawah beserta penggiling padi berjajar di dalam sebuah ruangan milik Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pasawahan, Banjarsari, Ciamis, Jawa Barat. Sekolah alternatif ini dibangun secara mandiri oleh organisasi tani lokal dampingan Serikat Petani Pasundan (SPP).

Berdiri sejak 2004 lalu, sekolah ini sudah meluluskan lebih dari 60 siswa. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai petani, guru, perangkat desa dan pengacara. Yosep Nurhidayat ialah salah satu lulusan yang memilih untuk menjadi pengacara. Yosep kini berusia 29 tahun. Sebelum bersekolah di Pasawahan, Yosep tinggal di Desa Bangunkarya, Langkaplancar, Pangandaran.

Di sana sejak kecil ia merasakan bagaimana keluarganya hidup di bawah tekanan aparatur keamanan saat memanfaatkan lahan tidur milik perusahaan perkebunan. Saat itu, ayahnya yang aktif dalam organisasi tani lokal (OTL) Bangunkarya dampingan Serikat Petani Pasundan diburu polisi lantaran masuk daftar pencarian orang (DPO) pada 2007-2008.

Yosep Nurhidayat

Bapaknya dan sejumlah petani lainnya dianggap merusak lahan milik Perhutani. Bahkan dalam periode itu keluarganya mendapat kekerasan dan diancam oleh sekelompok orang yang hendak membakar rumahnya. “Saya melihat langsung kejadiannya, kekerasan, pengancaman, bahkan ada petani yang dipenjara ketika itu,” kata Yosep.

Petani yang dimaksud Yosep ialah Maman, pimpinan SPP Pangandaran. Menurut Yosep, Maman ditangkap sejumlah polisi di rumahnya sekitar pukul 2 dini hari. Sementara kedua orangtuanya meninggalkan rumah untuk tinggal di sebuah gubuk di tengah perkebunan. Yosep sendiri dilarikan ke Pasawahan untuk melanjutkan sekolah dan tinggal di asrama SMP Pasawahan. “Saya pindah ke SMP Pasawahan saat kelas 2, ketika itu baru ada dua kelas,” katanya.

Lulus dari SMP Pasawahan, Yosep pindah ke Ciamis untuk melanjutkan sekolah. Di Ciamis pula ia meneruskan pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Galuh hingga lulus pada 2015. Yosep berkomitmen untuk mendampingi petani yang tengah menghadapi konflik lahan di wilayah Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut dan sekitarnya.

Bagi Yosep, ekosistem pertanian di desanya tidak hanya butuh tenaga pertanian yang terampil, tetapi juga penasihat hukum. Pasalnya selama ini petani sering berseteru dengan proses hukum. “Saya punya tanggungjawab besar memikul SPP yang melakukan reclaiming. Saya terenyuh saat kejadian orang tua, tetangga dan keluarga saya dipenjara. Saya tidak bisa tinggal diam. Saya harus bisa melakukan upaya untuk membantu warga,” kata Yosep.

***

Sejalan dengan Yosep, Paryono (29) memilih untuk mengabdikan diri untuk petani Banjarsari. Sebelum dipercaya menjabat sebagai kepala sekolah SMK Pasawahan, alumni angkatan kedua SMP Pasawahan ini bekerja sebagai guru. Mula-mula Paryono kaget didapuk oleh Yayasan Petani Pasundan Indonesia (YP2I) untuk memimpin SMK pada 2019 lalu. Usia Paryono saat itu baru 27 tahun, sementara pengalamannya sebagai pengajar baru genap 2 tahun. “Saya tidak menyangka tokoh masyarakat memberikan opsi kepada saya untuk jadi kepala sekolah,” ujar Paryono saat ditemui Jaring.id di SMK Pasawahan, Sabtu, 11 April 2021.

Padahal, menurut Yosep, tantangan yang dihadapi SMK Pasawahan saat ini tidak mudah. Ia harus mampu memimpin agar siswa SMK Pasawahan dapat bersaing dengan sekolah nonpertanian di Ciamis. Ia mesti berkomitmen mengintegrasikan konsep pertanian dengan visi misi organisasi Serikat Petani Pasundan.

Menjadi kepala sekolah di SMK Pasawahan sama sekali tidak mudah. Paryono tak jarang dipandang sebelah mata karena usianya yang masih tergolong muda. “Di luar sekolah seperti masyarakat banyak yang meremehkan,” kata lulusan Sastra Indonesia Universitas Galuh Ciamis ini. Namun seiring berjalannya waktu, Paryono mampu membuktikan diri bahwa ia pantas memimpin sekolah tersebut. Pandangan itu semakin memudar ketika Paryono ditunjuk sebagai Sekretaris Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Negeri dan Swasta setingkat SMA di Kabupaten Ciamis.

Kepala Sekolah SMK Pasawahan, Paryono

SMP dan SMK Pasawahan merupakan salah satu sekolah yang dikelola oleh Serikat Petani Pasundan (SPP) melalui Yayasan Petani Pasundan Indonesia. Kedua sekolah tersebut berdiri di lahan hasil reclaiming bekas perkebunan karet perusahaan swasta seluas 7 hektar. Selain aktif sebagai kepala sekolah dan mengajar, Paryono juga aktif di Persatuan Guru Reforma Agraria (PGRA). Organisasi ini merupakan bentukan SPP untuk menaungi guru-guru yang mengajarkan muatan keagrariaan kepada siswa SD, SMP, dan SMK-sederajat. Menurut Paryono, PGRA rutin membicarakan isu-isu seputar pendidikan dan reforma agraria. “Kalau ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Kita juga bikin PGRA,” ujarnya dengan senyum tipis.

Melalui PGRA ini ia ingin anak-anak petani mandiri dan percaya diri di tanah kelahirannya. “Walaupun sekolah di gunung, tapi pemikiran international. Biar orang kampung, tapi berwawasan global. Itu selalu kami ingatkan kepada anak-anak di sekolah,” ujarnya.

Di antara prestasi yang telah ditorehkan SMK Pasawahan ialah juara dua lomba cerdas cermat SMA sederajat se-Jawa barat yang diadakan oleh Universitas Tasikmalaya, juara satu pencak silat se-Jawa yang diadakan oleh Prabowo Subianto, Ketua Umum dari Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) periode 2004-2012, serta menjadi pemenang dalam lomba penulisan artikel ilmiah tingkat Jawa Barat.

***

Sementara Rohman, lulusan sekolah tani lain masih berusia 26 tahun saat ditunjuk sebagai Kepala Sekolah SMP Pasawahan. Lulus dari sekolah SMP dan SMK Pasawahan, ia melanjutkan kuliah di Universitas Galuh Ciamis dengan beasiswa. Usai menandaskan mata kuliah selama 4 tahun, Rohman memilih untuk kembali ke kampung halamannya. Kepada Jaring ia mengaku sempat mendapat tawaran kerja di kota, namun kesempatan itu tidak ia ambil lantaran ia ingin mengajar di SMP Pasawahan.

“Saya punya tanggung jawab moril untuk mendidik anak-anak petani agar lebih maju dan tidak kalah dengan anak-anak di sekolah lain,” ujar Rohman saat ditemui di rumahnya, Sabtu 11 April 2021.

Salah satu yang ia perjuangan saat ini ialah akses internet di desanya yang bertopografi perbukitan. Selama pandemi Covid-19, menurut Rohman, para siswa kerap kesulitan mengakses jaringan internet. Masalah ini yang kemudian Rohman utarakan dalam musyawarah kepala sekolah SMP di Ciamis pada awal pandemi. “Saat pandemi sekolah disuruh belajar online. Tapi desa kami sulit akses internet, terus anak-anak sekolah juga tidak banyak yang punya handphone,” kata Rohman.

Saat ini jaringan internet sudah masuk ke desanya berkat bantuan Dinas Pendidikan Ciamis. Menurut Rohman, ada 64 siswa yang harus mengikuti pengajaran jarak jauh. Sekitar 40 persen dari jumlah itu tinggal di luar Desa Pasawahan. “Mereka juga masih rutin mengurusi ladang,” ujarnya.

Rohman, Kepala Sekolah SMP Pasawahan, Banjarsari, Ciamis

Sebagai sekolah pertanian, kata Rohman, butuh proses panjang meyakinkan anak didiknya untuk menjaga lahan orangtua mereka dari perampasan maupun iming-iming uang. Anak-anak petani di perbukitan Banjarsari tidak hanya butuh pendidikan tentang tata cara menggarap lahan, tetapi juga pengetahuan bagaimana mempertahankan lahan. Menurut Rohman, sangat penting memastikan bahwa sektor pertanian saat ini menarik bagi mereka. Pertanian tidak lagi identik dengan kemiskinan, terbelakang dan kotor. Bertani bisa menjadi profesi yang bergengsi dan menguntungkan. “Kami didik mereka mencintai tanah dan menikmati pertanian,” ujarnya.

Salah satu tantangan yang dihadapi sektor pertanian Indonesia ialah regenerasi petani. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Agustus 2019, penduduk yang bekerja pada sektor ini turun menjadi 34,58 juta orang atau hanya 27,33 persen dari total lapangan kerja utama. Jika dibandingkan dengan Agustus 2018 yang angkanya masih 35,70 juta orang, angka tersebut turun menjadi 1,12 juta orang (1,46 persen) dalam setahun. Oleh sebab itu, Serikat Petani Pasundan (SPP) berkomitmen mendirikan sejumlah sekolah pertanian di penjuru Jawa Barat.


Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tiga naskah yang menyoroti sepak terjang sekolah pertanian di Banjarsari, Ciamis, Jawa Barat. Liputan ini dilakukan Jaring.id berkolaborasi dengan Suara.com didukung oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Sebelumnya kami menerbitkan artikel berjudul “Petani Panen Petani” pada akhir April 2021 lalu.

 

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.