Jemari Mita Amelia telaten menyiangi gulma dari sela tanaman bawang merah di kebun milik Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pesawahan, Banjarsari, Ciamis, Jawa Barat. Kegiatan itu dilakukan siswa kelas XII ini saban pagi. Ia tidak ingin pertumbuhan rumput liar di lahan tanam (bedengan) yang dikelola kelasnya makin masif. “Di sini tiap kelas punya lahan sendiri,” ujarnya ketika ditemui Jaring.id dan Suara.com, Minggu, 11 April 2021.
Selesai menyiangi bawang merah, Mita berpindah ke kebun kacang buncis yang sudah berumur 3 bulan. “Kelas saya menanam bawang dan buncis,” kata dia. Sekitar satu minggu lagi, kacang buncis itu akan memasuki masa panen. Itulah masa yang ditunggu-tunggu Mita dan kawan-kawan. Selain memberikan hasil bumi untuk sekolah, siswa-siswi juga diperbolehkan membawa pulang sebagian hasil panen.
“Sekolah di sini mengajarkan kemandirian. Kami bisa menghasilkan uang sendiri,” kata Mita. Dari hasil panen sebelumnya, Mita bercerita menjual buncis 16 kilogram seharga Rp 50.000.
Refaldi Restu Pratama, juga mengungkapkan rasa bangganya bersekolah di SMK Pesawahan. Semula, siswa kelas XII jurusan Agrobisnis Tanaman dan Holtikultur, sempat ragu untuk masuk sekolah itu. Sebab sekolah tersebut dia kira hanya mengajarkan kegiatan harian petani, seperti memacul. “Banyak juga yang gengsi. Pikiran mereka lebih bagus sekolah di kota,” ujar dia kepada Jaring.id, Sabtu, 10 April 2021.
Belakangan, ketika memulai sekolah, Refaldi baru tahu bahwa SMK Pesawahan tak hanya mengajarkan teori. Ada juga praktik bercocok tanam dengan menggunakan teknologi pertanian. Kini, Refaldi semakin meyakini ilmu yang dia terima dari sekolah akan berguna untuk mengelola lahan kedua orang tuanya. “Saya di rumah menanam tanaman kayu bersama kapulaga. Saya merawatnya berbekal ilmu dari sekolah,” ujar dia sembari menunjukkan lahan garapan yang dikelolanya di sekolah.
SMK Pesawahan merupakan salah satu sekolah yang dibangun dan dikelola oleh Serikat Petani Pasundan (SPP), salah satu organisasi tani Anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di Jawa Barat. Selain SMK, di Banjarsari, SPP juga mengelola Sekolah Menengah Pertama (SMP) Plus Pesawahan. Kedua sekolah pertanian tersebut berdiri di atas lahan seluas 7 hektare, hasil reclaiming bekas perkebunan karet milik perusahaan swasta.
Kedua sekolah itu kini memiliki bangunan permanen dengan 14 ruangan. Empat ruang belajar untuk jenjang SMP. Sepuluh ruang lainnya dipergunakan siswa SMK, satu ruang di antaranya untuk gudang hasil pertanian dan dua ruang lain berfungsi sebagai gudang peralatan kerja, antara lain alat pembajak lahan. Sekolah tersebut juga menyediakan asrama bagi peserta didik dari luar Desa Pesawahan.
Sekitar 200 meter dari asrama siswa, terdapat petak-petak lahan untuk siswa dan guru menanam pelbagai jenis sayuran. Beberapa petak lahan tampak baru digemburkan. Sementara petak lahan lain sudah menyerupai bedengan yang siap ditanami.
Berjarak sekitar 58,1 kilometer dari pusat Kota Ciamis, fasilitas di SMP dan SMK Pesawahan memang masih terbatas bila dibanding sekolah-sekolah di perkotaan. Namun, bila pembandingnya adalah kondisi pada 15 tahun lalu, sekolah petani di Desa Pesawahan kini sudah sangat maju. Semua itu tidak dicapai dengan mudah.
***
Edi Baktiawan, salah seorang pendiri sekolah khusus anak petani di Desa Pesawahan, menceritakan perjalanan terjal untuk mendirikan kedua sekolah itu. Pada 2002, warga Desa Pesawahan yang mayoritas bekerja sebagai buruh kebun karet belum memiliki lahan garapan sendiri. Kondisi tersebut diperburuk oleh terbatasnya akses pendidikan untuk anak-anak petani. “Kami merasa tanah di sini lebar, tapi kami hanya dipekerjakan sebagai buruh. Ini tidak mendukung kesejehtaraan petani,” kata Edi Baktiawan yang biasa disapa Wawan, Sabtu, 10 April 2021.
Untuk bertahan hidup, warga Desa Pesawahan berusaha menguasai dan menggarap (reclaiming) tanah yang tidak lagi diurus oleh perusahaan perkebunan. Namun belum dua minggu tanah tersebut mereka garap, perusahaan mengusir warga dengan melibatkan preman dan aparat.
Sekuat tenaga, petani Desa Pesawahan berusaha mempertahankan lahan yang mereka duduki. Tapi, semakin petani bertahan, semakin banyak aparat gabungan dan preman yang membanjiri Desa Pesawahan. Bentrok fisik pun tak terhindarkan. Aparat dan preman tak hanya mengusir petani, mereka pun membakar sejumlah gubuk warga desa sembari menembakan senjata api ke udara. Edi menuturkan ketegangan antara petani dan perusahaan perkebunan yang didukung aparat dan preman itu berlangsung selama tiga tahun. “Saya dulu sering dipanggil polisi,” ujar dia.
Karena perlawanan petani tak mengendur, akhirnya perusahaan yang mundur. Warga yang sebelumnya hanya buruh mulai leluasa mengelola lahannya sendiri. Lepas setahun, kemandirian dalam mengolah lahan ini berhasil mendongkrak perekonomian warga. Petani mulai menghasilkan uang dari lahan tidur yang mereka garap. Dalam satu bulan, para petani dapat memeroleh jutaan Rupiah.
Meski begitu, perbaikan ekonomi dirasa tidak cukup oleh petani. Para petani menginginkan akses pendidikan lebih tinggi bagi anak-anak mereka. Hingga awal tahun 2000-an, kebanyakan anak petani dan buruh tani di Desa Pesawahan hanya lulus jenjang sekolah dasar. Mereka tak melanjutkan sekolah bukan semata karena tak punya biaya. Jarak menuju sekolah tingkat SMP pun sangat jauh, sekitar 20 kilometer untuk menjangkau satu-satunya SMP di Kota Banjar. “Pendidikan kami terbelakang. Kami mau mendirikan sekolah,” ucap Wawan.
Tak ingin melihat anak petani hilang arah, pada 2004, Wawan merelakan rumahnya dipakai sebagai ruang belajar. Ketika sekolah rintisan itu dibuka, 20 anak dari Desa Pesawahan dan sekitarnya berminat menjadi muridnya. Mereka dibagi dalam dua kelas. Guru-gurunya mahasiswa pendamping petani yang kuliah di Kota Garut dan Ciamis ada juga aktivis 98.
Dari waktu ke waktu, makin banyak saja anak desa yang ingin bersekolah. Belum sampai dua bulan, peserta didik sekolah rintisan bertambah menjadi 30 orang. Rumah Wawan pun tak memadai lagi untuk tempat belajar. Serikat Petani Pasundan lantas mengajak warga berembuk untuk mendirikan bangunan sekolah permanen. Karena tak ada lahan kosong, Wawan kembali menyumbangkan lahan garapannya seluas 7 hektare untuk pendirian sekolah. “Pembangunan sekolahnya atas swadaya masyarakat,” ujar Wawan.
Setelah mendirikan dua bangunan dari kayu, pengelola sekolah bersama SPP mulai mengurus izin pendirian sekolah melalui Yayasan Petani Pasundan Indonesia (YP2I). Semula, Wawan mengira tak bakal menemukan banyak hambatan. Sebab, sekolah rintisan telah memenuhi syarat pendirian sekolah jenjang SMP. Jumlah siswanya sudah melebihi 20 orang. Sudah ada pula seorang guru untuk setiap mata pelajaran. Sejak awal, sekolah rintisan pun sudah menggunakan kurikulum nasional.
Wawan dan kawan-kawan juga melengkapi semua berkas perizinan ke Kantor Desa Pesawahan, Kecamatan Banjarsari, kemudian ke Dinas Pendidikan Ciamis. “Kami mencoba mengurus semua persyaratan,” ujar Wawan.
Tak dinyana, jalan tidak semulus yang dibayangkan Wawan. Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis, melalui pemerintah Kecamatan Banjarsari, sempat tidak memberikan izin pendirian sekolah. Alasannya, tanah yang digunakan oleh SPP untuk mendirikan sekolah itu berstatus lahan sengketa. “Niat kami mendirikan sekolah untuk mencerdaskan bangsa, membantu program negara. Mengapa dipersulit. Kami lawan itu,” ujar Wawan dengan nada bicara meninggi.
Merasa diperlakukan tidak adil, warga Pesawahan kemudian berunjuk rasa ke kantor kecamatan, dinas pendidikan, hingga kantor Bupati Ciamis. Mereka mengajak para siswa untuk menuntut izin pendirian sekolah. Usaha mereka membuahkan hasil. Pada 10 April 2005, Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis mengeluarkan izin operasional dengan Nomor 4212/1183.
Kepala Bidang Pengawasan SMP Dinas Pendidikan Ciamis, Mahyail menyatakan bahwa polemik pendirian sekolah sudah selesai. Ia berharap sekolah pertanian itu dapat berkontribusi bagi peningkatan pendidikan warga. “Saya tidak mendapat informasi mempersulit. Saya tahu saat ini sekolah tersebut berdiri dan berkembang sebagaimana mestinya,” kata Mahyail memberikan keterangan tertulisnya, Rabu, 28 April 2021.
Dua tahun setelah SMP beroperasi, SPP mengurus izin pendirian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Tidak seperti ketika mengurus izin SMP, pengurusan izin jenjang SMK berlangsung lancar. Saat ini, tercatat ada 64 siswa untuk jenjang SMP dan 86 siswa SMK. Adapun guru yang mengajar di kedua sekolah berjumlah 40 orang.
Hingga saat ini, kedua sekolah swasta di Desa Pesawahan ini tidak memungut bayaran kepada para siswa. Selain mengandalkan sumbangan dari para petani, kedua sekolah juga mendapat dana bantuan operasional sekolah dari pemerintah daerah.
Kisah sukses membuat dua sekolah di Banjarsari menjadi inspirasi bagi petani anggota SPP di wilayah lain. Hingga 2021, Serikat Petani Pasundan telah mendirikan 18 sekolah mulai dari jenjang SD, SMP, hingga SMK. Sekolah khusus petani itu tersebar di tiga kabupaten di Jawa Barat, yakni di Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.
Dewan Pengurus Harian SPP Ciamis-Pangandaran, Isak Ramdani menuturkan keberadaan sekolah khusus anak petani itu menguatkan sistem tata kelola lahan warga berdasarkan prinsip yang dianut oleh Serikat Petani Pasundan. Sebanyak 400 keluarga petani di Desa Pesawahan kini menjadi pemilik sah 200 hektare lahan hasil reclaiming. Warga menerima sertifikat hak milik melalui program redistribusi tanah pada 2016. “Warga yang dulunya selesai sekolah pergi ke kota, sejak punya lahan sendiri memilih bekerja di desa,” kata Isak saat ditemui Jaring.id di kantor SPP Ciamis, Sabtu, 3 April 2021.
Keberadaan sekolah pertanian, menurut Isak, juga menguatkan alasan warga untuk tidak menjual lahan mereka kepada siapapun, termasuk perusahaan yang mencoba untuk membeli kembali lahan warga. “Sekolah mengajarkan bagaimana siswa harus bisa mengolah dan mempertahankan lahan milik petani,” kata Isak.
***
Kepala Sekolah SMP Plus Pesawahan, Rohman (28) menjelaskan ajaran untuk mempertahankan lahan melekat dalam kurikulum tambahan di kedua sekolah itu. Kurikulum tambahan itu memuat sejarah desa, keagrariaan, hingga latar belakang pendirian SPP. “Kami didik mereka mencintai tanah dan menikmati menjadi petani. Sekolah membantu menjaga lahan,” kata Rohman saat ditemui di rumahnya, Sabtu, 3 April 2021.
Peserta didik baru, misalnya, diperkenalkan dengan sejarah perjuangan petani desa memeroleh tanah mereka. Para tokoh yang terlibat pendirian sekolah pun dipanggil untuk membekali peserta didik tentang nilai SPP. ”Kami ajarkan tentang keberpihakan petani dan kaum lemah,” kata Rohman.
Salah satu cara memperjuangan hak petani, menurut Kepala Sekolah SMK Pesawahan, Paryono (29), ialah dengan cara melakukan unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta pada peringatan Hari Tani tiap 24 September. “Itu adalah upaya menyuarakan aspirasi,” kata Paryono, Sabtu, 3 April 2021.
Lanjut Paryono, para siswa juga diajarkan tentang pentingnya kepemimpinan dan menjadi petani. Lulus dari sekolah itu, ia berharap para siswa menjadi generasi yang dapat berkontribusi langsung memanfaatkan sumber daya alam di desa masing-masing. Tidak sedikit lulusan yang juga menjadi kepala dusun, perangkat desa, kepala sekolah, pendiri pondok pesantren, hingga advokat. “Biar orang kampung, kami haris berwawasan global. Alumni sekolah ini harus mampu bersaing,” ujar Paryono.
Kepala Seksi Pengawasan Wilayah III (Garut, Tasikmalaya dan Ciamis) Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Hendra Suderajat (56) tidak mempersoalkan sistem pendidikan yang diajarkan di SMP dan SMK Pesawahan. Menurutnya, hal tersebut menjadi keunikan yang dikembangkan setiap sekolah. Hendra merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 tentang muatan lokal kurikulum 2013. Belied tersebut memperbolehkan sekolah mengembangkan muatan lokal yang ada di desa maupun wilayah berdirinya sekolah. “Banyak potensi yang dikembangkan oleh sekolah itu,” kata Hendra saat dihubungi Jaring.id melalui telepon, Rabu, 21 April 2021.
Hendra menjelaskan keberadaan sekolah khusus pertanian dibutuhkan masyarakat maupun pemerintah. Sebab Jawa Barat memiliki lahan pertanian maupun perkebunan yang luas, namun tidak banyak lulusan sekolah maupun perguruan tinggi mau menjadi petani. “Sekolah seperti ini dijagokan. Mereka dapat memberikan pemahaman dengan mengubah image perhatian masyarakat yang tidak peduli dengan pertanian,” ujarnya.
Ia berharap sekolah pertanian ini dapat melahirkan generasi siswa-siswi yang lebih mencintai sektor paling tua di Indonesia. Pikir Hendra, dengan sekolah tersebut tata kelola pertanian ke depan dapat diurus oleh anak-anak muda yang sedari awal dididik tentang pertanian. “Ada harapan pertanian kita ke depan,” kata Hendra.
Sukses membangun sekolah dan menjadi inspirasi bagi banyak petani lain tak membuat petani Desa Pesawahan berpuas diri. Dari balik bukit di Banjarsari, Mita, Refaldi, Wawan, Rohman, Paryono dan para petani lainnya masih menyimpan asa mendirikan universitas. “Itu pekerjaan rumah besar yang ingin kami wujudkan,” kata Paryono. (Abdus Somad)
Artikel berjudul “Petani Panen Petani” merupakan satu dari tiga naskah hasil kolaborasi Jaring.id dengan Suara.com atas dukungan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Pada liputan kali ini, kami membahas kemandirian petani Banjarsari di Ciamis, Jawa Barat mendirikan sekolah pertanian.