Tiga puluh menit setelah 12.997 alat pereaksi spesimen Covid-19 (reagen) tiba di Papua pada 21 Agustus 2020, Antonius Oktavian bergegas menguji sampel lendir yang diduga terjangkit virus SARS-CoV-2. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Papua ini tidak ingin menunggu lebih lama untuk memastikan diagnosis terhadap 94 orang pasien. “Ini bahaya banget,” kata Antonius kepada sejumlah media yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI), terdiri dari Jaring.id, TEMPO, Suara.com dan Alinea.id pada Rabu, 23 Desember 2020.

Antonius tak menyangka seluruh hasil pengujian spesimen yang menggunakan reagen buatan China dengan merek Sansure tersebut menunjukkan hasil negatif. Ia sampai harus meminta stafnya untuk mengulang pemeriksaan sebanyak dua kali dengan menggunakan pereaksi serupa. Hasilnya tetap sama, negatif. “Begitu kita uji coba negative false-nya tinggi. Kan ajaib,” ujarnya.

Padahal, menurut Antonius, pasien yang melakukan tes usap saat itu sudah menunjukkan gejala Covid-19, seperti demam dan sesak nafas sebelum akhirnya meninggal. Daripada ragu dan khawatir salah diagnosa, Balitbangkes Papua akhirnya mengembalikan pereaksi kimia merek Sansure ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). “Pasien yang meninggal kan butuh hasil cepat,” kata Antonius sembari menjelaskan bahwa pandemi Covid-19 perlu diagnosis cepat agar sebaran kasus di provinsi paling Timur Indonesia itu bisa diisolasi.

Karena kejadian itu, Antonius sadar tidak bisa sepenuhnya bergantung pada pengadaan barang di Jakarta. Balitbangkes Papua memilih untuk mengadakan reagen sendiri. Kata Antonius, reagen yang dibeli saat itu bermerek Fortitude dan diproduksi Singapura. Pereaksi kimia ini dianggap paling cocok dengan alat pengujian yang dipunya laboratorium Balitbangkes Papua. “Kita beberapa kali menggunakan reagen itu, tetapi yang namanya pengadaan butuh waktu,” ungkapnya.

Kendala untuk memeriksa sampel dahak dari pasien yang diduga terinfeksi virus Corona tidak hanya terjadi di Papua. Rupanya Balai Besar Penyehatan Teknik Kesehatan Lingkungan Pencegahan Penyakit (BBPTKLPP) Jawa Timur pun mengalami kendala serupa.

Koordinator Tata Usaha yang juga penanggungjawab penanggulangan Covid-19 BBPTKLPP Jawa Timur, Joko Kasihono mengatakan bahwa laboratorium menerima 9.600 reagen Sansure dan Liferiver dari BNPB sepanjang April-Mei 2020. Namun, laboratorium yang bertanggungjawab memeriksa spesimen dari Bali hingga Nusa Tenggara Barat (NTB) ini tidak bisa menggunakan reagen tersebut. Padahal tiap hari, sampel yang diterima laboratorium BBPTKLPP mencapai 5.000. “Kami coba berkali-kali ternyata hasilnya tidak bisa memenuhi standar,” kata Joko Kasihono saat dihubungi KJI secara daring, Kamis, 17 Desember 2020.

Menurutnya, reagen yang berasal dari BNPB tidak cocok dengan mesin pengujian polymerase chain reaction (PCR) bersistem terbuka (open system) yang dipunya laboratorium BBPTKLPP Jatim. Reagen Sansure maupun Liferiver, kata dia, harus digunakan pada mesin bermerek sama atau biasa disebut single plate.  Oleh sebab itu, BBPTKLPP Jatim memutuskan untuk mengembalikan reagen Sansure dan Liferiver kepada BNPB. “Kami tidak bisa menerima. Kalau pun ada kiriman, langsung dialihkan ke lab atau rumah sakit yang cocok,” ujarnya.

Dari Jawa Timur, sedikitnya ada 11 rumah sakit dan laboratorium yang juga mengembalikan reagen kiriman BNPB. Hingga 3 September 2020, jumlahnya mencapai 49.481 unit. Ratusan dokumen yang diterima KJI menunjukkan sekitar 78 laboratorium dan rumah sakit di 29 provinsi yang mengembalikan alat deteksi virus ke BNPB. Dalam kurun waktu April-September 2020, jumlahnya mencapai 498.644 unit reagen. Dari jumlah itu, reagen merek Sansure berjumlah 483.819 unit. Sisanya merek Intron (1.000 unit), Wizprep (10.000 unit), Seggenne (300 unit), Liferiver (2.825 unit) dan Kogene (700 unit). Dari enam merek, diketahui hanya Sansure, Seggenne dan Liferiver yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 20 April 2020.

 

Sejak November tahun lalu, Jaring.id bersama wartawan yang tergabung dalam KJI telah mengecek sejumlah laboratorium maupun rumah sakit yang menerima reagen dari BNPB. Laboratorium di Rumah Sakit Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur adalah salah satunya. Pengembalian reagen merek Liferiver itu diantar melalui surat Nomor 2095/UN3.0.1/TU/2020 pada 3 September 2020. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa kondisi reagen Liferiver bernomor LOT P20200404 itu mendekati kedaluarsa pada 19 Oktober 2020.

Menurut Kepala Hubungan Masyarakat RS Unair, Brihastama Sawitri reagen yang dikembalikan ke BNPB sebanyak 1.850 unit. “Waktu itu memang kami kembalikan,” kata Brihastama saat dihubungi tim KJI melalui sambungan telepon, Jumat 12 Maret 2021.

Jakarta menjadi provinsi yang paling banyak mengembalikan reagen ke BNPB. Dari 15 rumah sakit, ada 85.168 reagen yang dikirim balik atau meminta BNPB mengambilnya kembali. Laboratorium milik Lembaga Biologi Molekuler Eijkmen mengembalikan 4.800 unit reagen karena dinilai tidak akurat. Sementara Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) meminta BNPB untuk mengambil kembali 10 ribu reagen merek Wixprep melalui surat F0.03.04/VIII.1/1640/2020.

RSCM menyebut bahwa reagen yang diterima pada Agustus 2020 itu tidak dapat digunakan lantaran waktu ekstrasinya lebih lama ketimbang reagen lain. Biasanya RSCM menggunakan reagen merek Sansure yang proses ekstrasinya membutuhkan waktu 2 jam lebih sedikit ketimbang Wixprep. Kepala Laboratorium Patalogi Klinik RSCM, Nuri Dyah Indrasari menjelaskan Wizprep butuh waktu 5-6 jam untuk melakukan 12 tahap pemisahan RNA virus Corona. “Kalau satu spesimen ada 12 tahap bagaimana dengan 300 spesimen? Sangat melelahkan sekali bagi petugas,” kata Nuri kepada tim KJI lewat wawancara daring, Kamis, 4 Maret 2021 lalu.

Meski begitu, menurut Nuri, reagen merek Wixprep tidak kunjung diambil, sehingga RSCM memutuskan untuk menaruhnya di gudang penyimpanan. Berdasarkan dokumen yang diperoleh tim KJI, reagen yang dibeli BNPB juga tersimpan di sejumlah gudang, antara lain Gudang BGR di Komplek Kelapa Gading, Jakarta Utara, lalu cold storage Rawa Bokor di Bogor, Jawa Barat, lalu Gudang Pusat Krisis Kementerian Kesehatan yang terletak di Jalan Percetakan Negara II Jakarta, serta Gudang Merpati Halim dan Gudang Jatiasih.

Dari pantauan tim KJI di Gudang BGR Kelapa Gading, tumpukan reagen disimpan dalam peti pendingin. Dalam peti tersebut, tampak tumpukan reagen Sansure terbungkus dalam kotak berbahan styrofoam berukuran sekitar 1×1 meter. Kata petugas di sana, pengembalian reagen masih terjadi hingga Maret 2021.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letnan Jenderal (TNI) Doni Munardo tak menyangkal perihal pengembalian ratusan ribu reagen yang dibeli BNPB pada saat awal pandemi Covid-19 di Indonesia. Ia mengklaim pembelian reagen saat itu sudah berpedoman pada rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan seturut penilaian dari Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Di mana produk Sansure telah mengantongi lisensi dari China Food and Drug Administration.

“Situasinya sangat dilematis. Dari Kemenkes belum ada list (kebutuhan laboratorium). Semuanya masih bingung saat itu. Kalau sekarang disalahin karena reagen tidak cocok, orang belum ada list-nya. Kalau tidak diambil, terus siapa nanti yang akan bertanggung jawab? Saya tidak punya pilihan. Dokter-dokter yang terkapar bisa semakin banyak,” jelas Doni saat ditemui tim KJI di lantai 10 Gedung BNPB, Kamis, 11 Maret 2021.

Saat reagen tersebut dibeli, Doni menjelaskan, para petugas penanganan Covid-19 tengah menghadapi kelangkaan reagen untuk menguji spesimen dahak orang yang diduga terinfeksi Covid-19. Sebab itu, pemerintah memutuskan untuk mempercepat pemenuhan alat kesehatan. Termasuk menunjuk PT Mastindo Mulia dan sejumlah perusahaan lain untuk memasok ratusan ribu reagen. Sebelumnya, PT Mastindo sempat menghibahkan 50 ribu reagen dengan merek sama sebagai bagian dari kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). “Pertimbangan terpenting dalam pemilihan penyedia adalah mereka yang pada saat darurat Covid-19 memiliki sumber daya dan mampu melaksanakan pekerjaan dalam waktu cepat dengan jumlah barang yang banyak,” ujarnya.

Menurut Doni, masalah pengembalian reagen oleh laboratorium di pelbagai daerah sudah ditangani Inspektorat BNPB. Proses pengadaan ini pun sudah diaudit oleh tim dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Kita recall seluruh RNA merek Sansure dan mengganti dengan produk sejenis beda merek. Selain itu, seluruh biaya penarikan produk ditanggung pihak penyedia,” ujarnya.

Biaya pertangung jawaban ini dikatakan sebesar Rp 7 miliar. Dengan uang itu, pihak penyedia melakukan redistribusi barang kepada laboratorium maupun rumah sakit yang alat PCR-nya cocok dengan reagen merek Sansure. “Saya tidak punya pengalaman. Tahunya senjata. Masalah reagen dan alat kesehatan tidak mengerti. Seluruh pengadaan melalui rapat,” tambah mantan Pangdam Patimura ini.

 

Sengkarut Penunjukan Langsung

PT Mastindo Mulia, salah satu perusahaan milik Prajogo Pangestu menandatangani kontrak senilai Rp 172,5 miliar pada 22 April 2020. Padahal perusahaan ini sebelumnya tidak memiliki rekam jejak sebagai penyalur alat kesehatan. Perusahaan ini bergerak dibidang keuangan, asuransi dan real estate. Baru pada 31 Maret, PT Mastindo melebarkan sayap dengan mencatatkan diri sebagai penyedia alat laboratorium, farmasi dan kedokteran dalam dokumen Admininstrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham.

Perwakilan manajemen PT Mastindo, Djoko Suyanto menyampaikan bahwa perusahaannya tidak tahu bahwa reagen merek Sansure tidak cocok digunakan hampir seluruh laboratorium dan rumah sakit. “Kami hanya menjalankan penunjukan BNPB,” tutur Djoko sebelum menyatakan bahwa seharusnya kebutuhan reagen sudah dicek BNPB.

Menurut Djoko, keterlibatan anak usaha Barito Group dalam pengadaan reagen di BNPB semata-mata untuk membantu penanganan pandemi Covid-19. ”Kami memiliki kepedulian besar. Kami lakukan pembelian mandiri,” kata Djoko melalui keterangan tertulis yang diterima tim KJI pada Jumat, 12 Maret 2021.

Adapun uang Rp 7 miliar yang disebut sebagai ongkos redistribusi tak lain berasal pengembalian selisih dari nilai tukar uang. “Uang Rp 7 miliar adalah pengembalian selisih kurs pembelian reagen dan selisih volume PCR kita,” ujarnya.

 

Berdasarkan penelusuran lembaga antikorupsi ICW yang tertuang dalam Kajian Tata Kelola dan Distribusi Alat Kesehatan dalam kondisi Covid-19 yang disusun pada 2021, BNPB tercatat membeli 1.956.644 unit reagen PCR, RNA dan Viral Transport Medium (VTM) dengan total anggaran mencapai Rp 549 miliar sepanjang April-September 2020.

Anggaran lebih dari setengah triliun Rupiah itu diserahkan kepada tujuh perusahaan. PT Mastindo Mulia mencaplok proyek pengadaan senilai Rp 172,5 miliar untuk menyediakan 500 ribu reagen merek Sansure. Perusahaan lain yang mendapat proyek ini ialah PT Makmur Berkah Sehat. Perusahaan ini mengantongi Rp 7 miliar guna mendatangkan reagen Wizprep sebanyak 100 ribu unit, PT Sinergi Indomitra Pratama mendapatkan anggaran Rp 199,9 miliar untuk menyediakan 559.020 reagen merek Liferiver dan PT Trimitra Sisesa Abadi mengadakan 441.832 reagen PCR, RNA dan VTM senilai Rp 110,4 miliar.

Seperti PT Mastindo Mulia yang baru mulai mengadakan alat kesehatan, PT Trimitra Wasesa Abadi yang diketahui milik Budiyanto A. Gani baru menambah jangkauan usahanya ke bidang medis 20 hari setelah kasus pertama Covid-19 diumumkan Presiden Joko Widodo pada Maret 2020. Mula-mula perusahaan ini bergerak dalam bidang konstruksi, transportasi, pertanian dan pengelolaan air. Informasi tersebut tertuang dalam dokumen administrasi umum (AHU).

Deputi Bidang Logistik dan Peralatan BNPB, Prasinta Dewi menyatakan bahwa dalam penunjukan langsung pengadaan reagen Covid-19, BNPB bertolok pada surat edaran WHO dan proses validasi terhadap perusahaan penyedia. Apabila perusahaan teridentifikasi sebagai penyalur alat kesehatan dan dapat menyediakan reagen, maka perusahaan tersebut berhak mendapat pengadaan. “Kalau syarat tak cukup, proses tidak berlanjut,” tuturnya.

Menanggapi hal tersebut, Direktur PT Trimitra Wasesa Abadi, Budiyanto menjelaskan bahwa pada awal pandemi semua perusahaan yang bergerak dalam bidang apapun dapat berpartisipasi dalam pengadaan di BNPB. Namun, hal itu hanya boleh di periode awal pandemi. Oleh sebab itu, Budiyanto memilih untuk mengubah akta perusahaan. “Semua bikin karena syaratnya begitu,” kata Budiyanto kepada tim KJI saat ditemui di restoran padang, Saru Ratu Kicthen yang juga salah satu usaha miliknya, Rabu, 10 Maret 2021.

Dalam pertemuan itu, Budiyanto pun mengaku kenal dengan Doni Monardo. “Saya kenal Pak Doni sejak 2004,” ucapnya.

Perkenalan terjadi saat Doni masih menjabat sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat. Doni merupakan keponakan dari istri Auwines, orang yang berkongsi dengan Budiyanto untuk membesarkan PT Inti Nusa Abadi, perusahaan yang berdiri pada 18 Januari 2018. Namun, kerjasama bisnis Budiyanto dan dengan keponakan Doni sudah berawal sejak 1984. Keduanya sepakat membesarkan Restoran Sari Ratu yang saat ini memiliki banyak cabang di Jakarta, salah satunya berlokasi di pusat perbelanjaan Plaza Indonesia.

Meski begitu, Budiyanto membantah kalau penunjukan langsung diperoleh karena ia berteman dengan Doni Monardo. “Perusahaan saya paling siap,” tegasnya.

PT Trimitra tercatat mendapat dana jumbo dalam penunjukan langsung di BNPB. Selain pengadaan yang dilakukan pada Juli-September 2020, perusahaan ini juga mendapat pengadaan serupa sebesar RP 310,7 miliar untuk menyediakan 4.632.123 reagen pada Oktober-Desember di tahun yang sama. “Memang kenapa kalau dapat paket? Ini soal berani ambil risiko atau tidak,” ujarnya.

Hingga Desember 2020, Budiyanto telah mendatangkan enam merek reagen dari China dan Korea Selatan, seperti Intron. Liferiver, Beaver, Toyoba, Cellpro dan Citoswab ke Indonesia. Dari dua kali pengadaan ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat perusahaan Budiyanto telah menyedot anggaran BNPB sebesar Rp 427 miliar atau 49,5 persen dari seluruh pengadaan reagen di BNPB sepanjang tahun lalu. “Mereka paling banyak berkontrak,” ujar peneliti ICW, Wana Alamsyah. Hebatnya, PT Trimitra luput dari pemeriksaan BPKP.

Sengkarut pengadaan reagen ini sebetulnya turut menjadi temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dalam surat atensi kedua terhadap tata Kelola pengadaan barang di BNPB pada 4 Agustus 2020 disebutkan bahwa pengadaan PCR kit tidak melewati uji coba kualitas, sehingga tidak cocok digunakan dengan alat-alat yang dipunyai laboratorium dalam negeri. Dengan begitu uang negara yang dihamburkan untuk membeli ratusan ribu unit reagen dalam pengadaan itu mencapai Rp 39,9 miliar.

Oleh sebab itu, BPKP menyarankan 4 hal kepada BNPB. Pertama ialah melakukan identifikasi dan menganalisa terhadap ketersediaan PCR, RNA dan VTM yang tidak dapat digunakan di daerah; kedua, menyusun tata cara pengembalian barang dari daerah-daerah yang tidak tersedia dry ice; ketiga, menarik seluruh RNA Kit dan VTM merek Sansure yang tidak dapat digunakan agar dapat mendistribusikan ulang kepada rumah sakit dan laboratorium lain; terakhir, mendorong Gugus Tugas di daerah agar melengkapi dokumen Berita Acara Serah Terima (BAST) tentang distribusi reagen PCR dan berkoordinasi dengan Gugus Tugas Pusat dalam melakukan perubahan kebijakan distribusi barang.

Meski begitu, Kepala Biro Hukum dan Komunikasi, Eri Satriana saat dikonfirmasi tidak banyak berkomentar soal temuan lembaganya. Ia hanya membenarkan isi dari surat yang dilayangkan BPKP ke BNPB. “Berdasarkan identifikasi suratnya, itu benar dari kami dan ditandatangani pejabat BPKP,” kata Eri saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa 9 Maret 2021.

Peneliti ICW, Dewi Anggreini menyangsikan rekomendasi BPKP yang hanya bersifat administratif. Menurutnya, pengadaan reagen sebanyak 498.644 unit tahun lalu berpotensi membuat negara rugi sebesar Rp 169,1 miliar. Sedangkan proses pengembalian reagen merek Sansure diduga merugikan negara Rp 166 miliar lantaran gagal guna. Sementara merek lain, yakni Lifeiver Rp 1 miliar, Intron Rp 200 juta, Kogene Rp 196 juta, Seggenne Rp 94 juta, dan Wizprep sebesar Rp 700 juta.

Hal ini, menurutnya, akibat dari praktik perencanaan yang tak sesuai kebutuhan. Dengan begitu BNPB melanggar Peraturan LKPP Nomor 13/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa. “Patut diduga bahwa mereka tidak menetapkan identifikasi kebutuhan dan ketersediaan alat,” kata Dewi.

Berdasarkan temuan tersebut, ICW berencana akan melaporkan kejanggalan proses pengadaan barang tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Kami berharap ini ditindaklanjuti,” pungkas Dewi.

 

Artikel Terkait


Artikel berjudul “Darurat Pengadaan Darurat Covid-19” merupakan 1 dari 4 laporan hasil kolaborasi sejumlah media yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI) dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Reportase dilakukan oleh Jaring.id, TEMPO, Suara.com dan Alinea.id sejak Desember 2020. Tim Jaring.id terdiri dari Abdus Somad (penulis), Damar Fery Ardiyan (penyunting), dan Kholikul Alim (infografis).

Jejak Alat Sadap Israel di Indonesia

Perangkat keras berlabel Cisco Router dan Dell Server yang dikirim oleh Q Cyber Technologies Sarl, Luksemburg—induk usaha pembuat perangkat lunak penyadapan bernama Pegasus, NSO Group,

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.