Cerobong asap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) VII Jawa menjulang di Desa Terate, Kramatwatu, Serang, Banten. Saban hari, setidaknya ada 20 ribu metrik ton batu bara yang dibakar PT Shenhua Guohua Pembangkit Jawa Bali (PT SGPJB) untuk memproduksi listrik. Muhammad Iqbal, warga setempat, bisa melihat jelas dari teras rumahnya bagaimana sisa pembakaran batu bara mengepul pada pucuk cerobong. Sementara itu, guguran abu halus jatuh persis di atas kepalanya.
“Asap hitam keluarnya malam,” kata Iqbal sembari meratapi kepulan asap, Sabtu, 14 November 2020.
Semburan asap itu, menurut Iqbal, akan dibarengi dengan pembuangan limbah bahang ke laut. Pipa pembuangan limbah itu berjarak sekitar 500 meter dari muara Sungai Berung, badan air yang kerap digunakan nelayan setempat melepas pantai. Selain bersuhu panas, menurut Iqbal, air laut yang digunakan PLTU untuk mendinginkan ketel uap tersebut berubah kecoklatan, menyebarkan busa ke permukaan laut, serta menghembuskan bau busuk.
“Itu gumpalan busa terlalu tebal, kotor baunya menyengat,” ungkap Iqbal.
Iqbal bukan satu-satunya nelayan yang dibikin repot oleh pembuangan limbah bahang. Di Desa Terate, tak kurang dari 1000 nelayan yang bernasib sama. Suheri (41) dan Ali (41) dua di antaranya. Tangkapan mereka merosot drastic setelah PLTU berdiri. Sebelumnya mereka bisa membawa pulang 20 kilogram ikan, seperti kakap, bandeng, hingga belanak. Namun sejak PLTU beroperasi, tangkapan mereka tak lebih dari 5 kilogram.
“Zona tangkap sekarang menyempit,” kata Heri saat ditemui di kediamannya di Desa Terate, Sabtu, 14 November 2020.
Bahkan nelayan lain yang berasal dari Cikubang, Pulo Ampel, Ali mengaku harus melempar jaring hingga 20 kali untuk membawa pulang ikan seberat 5 kilogram.
“Itu pun belum tentu dapat. Kita mau cari makan di mana? tempat kita dimakan PLTU. Terumbu karang habis. Dulu sangat mudah kita dapat ikan karena banyak terumbu karang,” timpal Ali.
Itu sebab, masyarakat nelayan yang beroperasi di sekitar PLTU-7 mengajukan protes ke Dinas Lingkungan Hidup Serang, Banten pada Juni 2020 lalu. Mereka menuntut agar pemerintah daerah turun tangan menangani dugaan pencemaran air laut. Namun, hingga kini yang diminta belum menampakkan batang hidungnya. Padahal busa limbah bahang yang dialirkan ke Teluk Banten semakin tebal dan menyebar hingga 3 kilometer dari lokasi pembuangan.
Pada Selasa, 4 Agustus 2020 lalu, Iqbal bersama sejumlah nelayan sempat mengajukan pemeriksaan terhadap sampel limbah bahang. Mereka membawa busa dan lumpur dari air bahang kepada Unit Pelaksana Lingkungan Hidup (UPLH) setempat. Namun, sampel tersebut tidak bisa diterima lantaran belum ada surat tembusan dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Serang. Beberapa hari berselang, para nelayan berhasil mendapatkan surat untuk mengajukan sampel limbah bahang.
“Barang sudah diterima ada penjelasan hasilnya akan keluar 14 hari kerja,” kata Iqbal mengingat proses penyerahan sampel limbah.
Lepas tiga bulan, tenggat waktu yang dijanjikan pemda tidak dipenuhi. Jangankan hasil pemeriksaan laboratorium, para nelayan juga tidak pernah menerima pemberitahuan apa pun terkait pengujian sampel.
”Harusnya keluar 18 Agustus lalu, sampai November belum ada hasil. Dinas bilang akan dikonfirmasi lagi. Nomor telepon juga sudah dikasih,” kata Iqbal yang mulai kesal dengan perlakuan dinas.
Iqbal berharap pemerintah daerah segera turun tangan meneliti limbah bahang di perairan yang sudah turun-temurun menjadi sandaran hidup nelayan setempat. Menurutnya, dugaan pencemaran lingkungan di sekitar PLTU tidak bisa ditampik. Salah satu bukti pembuangan limbah bahang ke laut tersimpan dalam video berdurasi 1.02 menit di telepon selulernya. Video tersebut menunjukkan bagaimana limbah mengairi laut hingga keruh dan berbusa. Kondisi ini, kata dia, berlangsung hampir setiap hari ketika pembangkit pembangkit dengan teknologi ultra sektor critikal (USC) membuang limbah bahang ke laut.
“Kami akan terus kawal,” ucap Iqbal.
***
Dihubungi terpisah, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Serang, Yani Setyamulida mengaku tidak mengetahui perihal sampel limbah bahang yang diberikan nelayan Desa Terate. Ia berjanji akan menelusuri hasil dari pengujian limbah tersebut.
“Saya akan konfirmasi. Saya harus cek ke bidang terkait. Akan saya lihat dan tindaklajuti,” kata Yani saat dihubungi Jaring.id melalui telepon, Rabu, 18 November 2020.
PLTU Jawa-7 yang berkapasitas 2×1,05 MW diklaim sebagai pembangkit listrik yang efisien dan ramah lingkungan. Alasannya, PLTU yang mulai beroperasi sejak September 2020 menggunakan sistem angkut batu bara dengan conveyor tertutup sepanjang 4 kilometer. Conveyer berbentuk tabung tersebut akan meminimalisir batu bara tercecer ke laut.
Yani menyebut, Dinas Lingkungan Hidup tidak akan segan menindak tegas perusahaan yang telah melakukan pencemaran air laut.
“Pengelolaan lingkungan harus berangkat dari diri sendiri. Jangan hanya ada pengawasan saja jadi baik, tetapi kalau tidak ada pengawasan jadi buruk,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dida Migfar menegaskan bahwa pemerintah akan melakukan pemantauan terhadap pengelolaan pembangkit lisitrik batu bara hingga Desember ini. Perusahaan diminta untuk mengendalikan limbah buang agar tidak memperparah perusakan ekosistem laut Teluk Banten.
“Kita coba apakah bisa dikendalikan ke depan. Bagaimana penanganan, itu tindakkan kita,” kata Dida saat dihubungi Jaring.id melalui telepon, Kamis, 19 November 2020.
Dalam hal ini, KLHK meminta PT Shenhua Gouhua Pembangkit Jawa Bali segera menyerahkan laporan triwulan terkait kondisi lingkungan. Setelah itu, tim KLHK akan melakukan inspeksi serta melakukan pengujian laboratorium terhadap sampel limbah bahang yang dialirkan PLTU-7 ke laut.
“Kami sudah sampaikan ke mereka. Minggu depan ada jawaban dari perusahaan,” ujarnya.
Hingga tulisan ini terbit, Jaring.id belum mendapat konfirmasi dari PT Shenhua Gouhua Pembangkit Jawa Bali. Permohonan wawancara, baik yang disampaikan melalui sambungan telepon maupun pos tidak berbalas. Sedangkan Juru bicara PT Shenhua Gouhua, Vicky Yang saat dihubungi terpisah mengaku belum dapat menjawab pertanyaan Jaring.id.
“Izinkan saya bertanya dulu dan saya akan membagikannya jika saya dapat konfirmasi,” kata Vicky saat dihubungi Jaring.id melalui WhatsApp, Rabu, 2 Desember 2020.
Meski begitu, perusahaan pengelola PLTU-7 tidak menampik adanya gelembung busa dalam proses pembuangan air bahang. Dalam keterangan singkat perusahaan yang diterima Jaring.id dan Suara.com, hamparan busa di sekitar pipa pembuangan PLTU disebabkan oleh derasnya debit air. Dalam proses pendinginan, tungku bakar PLTU-7 sedikitnya memuntahkan 70 meter kubik atau setara dengan 70 ribu liter air per detik ke laut. Hal ini yang diklaim membikin permukaan laut teraduk hingga menghasilkan busa.
“Busa yang muncul dapat bertahan lama terkait dengan faktor alam dan sebab lainnya,” demikian pernyataan perusahaan PT SGPJB dalam surat klarifikasi pada 10 Agustus 2020. (Abdus Somad)
Laporan berjudul “Melawan Bahang Kiriman PLTU-7” merupakan bagian ke-2 dari tiga naskah yang menyoroti dampak pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Banten. Sebelumnya, Jaring.id menerbitkan laporan utama dengan judul “Suam-Suam Bahaya di Teluk Banten.”
Penerbitan laporan ini dilakukan Jaring.id bersama Suara.com atas dukungan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Trend Asia. Sejak awal November 2020 lalu, kami melakukan kerja jurnalistik, mulai pengamatan sampai pengujian sampel limbah bahang yang dialirkan PLTU-7 ke Teluk Banten.