Jarum jam baru pukul 6 pagi pada Kamis, 14 Maret 2024. Tapi telepon seluler milik Roni Ahmad—bukan nama sebenarnya, sudah berdering berulang kali. Di layar telepon tertera nomor dengan nama “Kapten.”
“Halo,” ujarnya mengangkat panggilan telepon. Dari ujung telepon sayup-sayup terdengar ihwal pemeriksaan sejumlah polisi air dan udara (Polairud) terhadap kapal miliknya. “Kejadiannya di Selat Selayar,” ungkap Roni kepada Jaring.id melalui sambungan telepon, Rabu, 20 Maret 2024.
Selat Selayar merupakan perairan yang terletak di antara Pulau Selayar dan Pulau Pasitanete, Sulawesi Selatan. Pada pertengahan Maret lalu, nelayan asal Juwana, Pati, Jawa Tengah ini terpaksa melintasi perairan tersebut guna menghindari gelombang tinggi di Laut Jawa.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) saat itu mendeteksi bibit siklon tropis 91S dan 94S di Samudera Hindia bagian Tenggara dan Selatan Laut Jawa akibat aktivitas Madden Julian Oscillation (MJO) serta fenomena Gelombang Kelvin dan Rossby Equatorial mulai 8-14 Maret 2024.
Kalau bukan karena badai, menurut Roni, dua kapalnya tidak mungkin melewati Selayar. Selain waktu tempuh yang bertambah lama, ongkos perjalanan yang diperlukan juga akan membengkak, namun saat itu nahkoda kapal 100 gross tonnage tersebut tak punya banyak pilihan.
Dalam perjalanan menghindari badai tersebut sebanyak 5 polisi perairan di Selayar mendekat menggunakan speedboat. Kejadiannya persis terjadi di titik koordinat S 05’43.015 E 120’26.558. Salah seorang dari mereka diketahui bernama Sambo.
Tanpa diminta, kapten kapal menyodorkan Surat Layak Operasi (SLO) Kapal, Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dari atas geladak. Surat tersebut mesti dikantongi kapal nelayan sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 58/Permen-KP/2020 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Pasal 9 ayat 1 aturan tersebut menjelaskan bahwa setiap orang yang melakukan usaha perikanan tangkap di WPPNRI dan/atau laut lepas wajib memiliki izin usaha perikanan tangkap. “Semuanya lengkap, tapi mereka minta yang lain,” ungkapnya.
Salah seorang polisi diduga meminta uang sebesar Rp30 juta untuk dua kapal yang melintasi Selayar tanpa memberikan penjelasan kesalahan yang dilakukan. Bila tidak maka kapal-kapal tersebut tidak bisa melanjutkan perjalanan alias disandarkan di pelabuhan terdekat. “Sebelumnya minta Rp15 juta buat dua kapal tapi langsung berubah lebih besar,” ujar Roni.
“Padahal kami tidak ada kesalahan. Kami hanya lewat untuk menghindari badai dan gelombang tinggi. Sama kan? sama orang Indonesia masa nggak bisa lewat situ,” ia menambahkan.
Merasa tak bisa berbuat banyak selain bernegosiasi. Roni akhirnya meminta agar kutipan tersebut tak lebih dari Rp 17,5 juta untuk dua kapal. Alasannya karena harga ikan turun dan hasil tangkap pun hanya cukup untuk biaya operasional. “Akhirnya nego dan transfer. Setelah transfer nahkoda laporan lagi jika Polairud minta 2,5 juta secara cash ke kapten kapal. Jadi total ada Rp 20 juta. Kami saja kerja satu bulan belum tentu dapat 5-6 juta,” ujar Roni.
Uang puluhan juta kemudian ditransfer lewat Bank Nasional Indonesia (BNI) dengan nomor rekening pribadi 150000****. “Jadi setelah transfer disuruh kirim bukti transfernya. Kapal juga sempat diminta berhenti selama pengecekan sebelum diizinkan jalan kembali,” ungkap Roni sembari membenarkan nomor rekening tujuan.
Jaring.id telah memeriksa nomor rekening tersebut melalui mesin anjungan tunai mandiri (ATM) beberapa hari lalu. Hasilnya diketahui bahwa pemilik rekening atas nama seseorang berinisial AA. Namun ketika diperiksa ulang pada Jumat, 29 Maret 2024 tak lagi ditemukan nomor rekening dengan nama tersebut.
Sambo saat dikonfirmasi tidak membantah perihal pungutan di tengah laut. Ia menyampaikan bahwa hal itu dilakukan atas permintaan atasan. “Saya hanya di lapangan. Diberitahu komandan. Selebihnya (uangnya) urusan komandan,” katanya tanpa ingin mengungkap siapa atasan yang dimaksud saat dihubungi melalui telepon, Kamis, 28 Maret 2024.
Roni yakin bahwa ia bukan satu-satunya nelayan yang menjadi korban pungli. Meski begitu ia berharap ke depan tidak ada lagi praktik sungsang di tengah laut. Selain karena merugikan, pungli juga membuat nelayan tak nyaman dan aman ketika melaut. “Impact-nya kami itu seperti dianggap pencuri, padahal bukan. Kami merasa dikejar-kejar bukan dilindungi,” ujarnya.
Salah seorang yang pernah menjadi korban pungli ialah Anton—bukan nama sebenarnya. Salah satu kejadian yang ia ingat adalah ketika kapalnya sedang diperbaiki di wilayah Banyuwangi, Jawa Timur. Tiba-tiba datang orang yang mengaku dari kepolisian meminta uang tunai sebanyak Rp 70 juta. Padahal ia tahu persis tak ada yang dilanggar selama melakukan aktivitas melaut maupun perbaikan kapal. “Mintanya cash saat itu juga. Transaksinya adanya di kantor,” ceritanya mengingat kejadian dua tahun lalu.
****
Di hari yang sama, praktik pungli puluhan juta Rupiah yang dialami Roni seketika menyebar melalui grup Whatsapp milik asosiasi nelayan di Jawa Tengah. Sehari setelah kejadian itu, di lokasi lain, Polairud bersama Kepolisian Resor Kabupaten Bima memeriksa dokumen 50 kapal nelayan yang sedang menepi guna menghindari badai Laut Jawa di Murada, Lombok Utara pada 15 Maret 2024. Namun tanpa alasan yang jelas, dokumen berupa SIPI dan SLO milik nelayan malah ditahan.
Merasa tak berbuat salah, para nelayan melaporkan tindakan tersebut ke asosiasi nelayan di Jawa Tengah. Salah seorang pejabat asosiasi yang tidak ingin disebutkan namanya membenarkan adanya aduan itu. “Saat itu nelayan diminta kembali ke kapal tapi dokumen ditahan,” katanya kepada Jaring.id, Rabu 20 Maret 2024.
Pengaduan nelayan disampaikan kepada Plt Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Pung Nugroho Saksono. Nelayan meminta agar dokumen kapal segera dikembalikan tanpa uang tebusan. “Mohon kiranya ada perlindungan terhadap kapal kapal yang berlindung dari badai atau emergency. Sedang dalam perjalanan, dan saat operasi penangkapan ikan. Mengingat sudah ada kapal tenggelam di perairan Selayar yang tidak sempat berlindung dari badai,” kata dia.
Sementara pihak Dirjen PSDKP, menurutnya, menyatakan akan menyelesaikan penahan dokumen yang tidak sesuai dengan aturan. “PSDKP Menyampaikan oke akan bantu karena itu emergency. PSDKP bertanggung jawab akan bantu komunikasi dengan Polairud dan Baharkam,” ia menambahkan.
Tiga hari setelah laporan itu, tepatnya pada 20 Maret 2024, dokumen perizinan puluhan kapal baru dikembalikan. Proses penyerahan dokumen tersebut dilakukan langsung oleh Polairud dan Polres Bima. Namun saat nelayan mendokumentasikan penyerahan tersebut melalui rekaman video, pihak kepolisian melarang. “Pada pukul 15.30 WITA dokumen kapal diserahkan kepada para nahkoda,” ungkap dia.
Asosiasi nelayan menilai penahanan dokumen kapal selama beberapa hari sangat merugikan nelayan karena dapat berakibat pada membengkaknya ongkos operasional. Mulai dari biaya makan anak buah kapal, sampai bahan bakar untuk menghidupkan mesin pendingin agar ikan tangkapan tak rusak.
“Kalau penahanan berlama-lama ada dampak ekonomi. Satu kapal itu 40 orang, sehingga kita menanggung biaya makan. Lalu kalau ada ikan kan harus disimpan di freezer. Nelayan itu bagi hasil, jadi semakin besar biaya, maka makin berkurang yang diperoleh nelayan,” jelasnya.
Ia pun menyinggung kewenangan Polairud yang tak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam menindak maupun melakukan penyidikan di sektor perikanan. Kewenangan penindakan perikanan, menurutnya, merupakan wewenang PSDKP sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) terkait perikanan.
Sementara sanksi yang diberikan seharusnya tidak langsung meminta uang, melainkan proses administrasi terlebih dahulu. Jika diabaikan baru ada pemberian sanksi pidana. “Kami kan kapal perikanan dan sudah diatur dalam UU Perikanan namun dalam pemeriksaan kapal di laut, aparat penegak hukum selain KKP kadang selalu pakai aturan non regulasi perikanan. Dari itu kapal kami ini selalu dianggap kapal nggak benar. KKP harusnya punya inisiatif agar aturan penindakan tidak ada aparat penegak hukum lain yang cari-cari kesalahan,” ia menjelaskan.
Jaring.id telah mencoba menghubungi Plt Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Pung Nugroho Saksono. Mula-mula ia memberikan waktu wawancara pada Jumat, 22 Maret lalu, namun yang bersangkutan meminta untuk diundur. “Undur pekan depan ya, mas” kata Ipunk sapaan akrabnya. Sedangkan Direktur Polairud Polda Sulawesi Selatan, Kombes Polisi Bagus Setiyawan dan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Sandi Nugraha saat dihubungi melalui telepon maupun Whatsapp tak merespons hingga tulisan ini terbit.
Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Selatan, Didik Supranoto saat dihubungi melalui telepon mengaku tak tahu menahu adanya praktik pungutan liar kepada nelayan oleh satuan polisi air. Polda Sulawesi Selatan akan melakukan pemeriksaan dan pendalaman kepada anggota yang terlibat. “Waduh saya belum tahu datanya. Coba kita cek,” kata Didik, Rabu, 27 Maret 2024.