Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Pepatah ini bisa menggambarkan kisah Soewandi, warga Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Lewat mulut Khotimah, istrinya, kami mendapatkan cerita bagaimana nama tersebut membawa tuah.
Kematian Soewandi belum genap sebulan ketika Khotimah menerima kabar kalau nama suaminya tercatat sebagai penerima Bantuan Subsidi Upah (BSU). Program ini diluncurkan pemerintah untuk mengurangi beban ekonomi pekerja di masa pandemi Covid-19. Hanya penerima upah maksimal Rp5 juta per bulan yang berhak menerimanya.
Jumat, 25 September 2020, Khotimah bergegas ke kantor cabang Bank Rakyat Indonesia (BRI). Ia hendak memastikan kabar tersebut. Benar saja, dana sebesar Rp1,2 juta berhasil dicairkan. Tiga bulan berselang, dana dengan nominal yang sama kembali ia terima.
“Dapat BSU dua kali,” ujar Khotimah saat ditemui Jaring.id, Tempo, dan Philippine Center for Investigative Journalism (PCIJ), di rumahnya pada Rabu 11 Mei 2022.
Meski bersyukur mendapatkan bantuan, Khotimah tetap saja merasa janggal. Pasalnya, dua pekan sebelum BSU pertama cair, akta kematian suaminya sudah ia serahkan ke kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) cabang Sidoarjo, Jawa Timur.
“Kami laporan ke BPJS, tapi (BSU) tetap cair ke rekening BRI atas nama Bapak,” ujarnya.
Kalau dirunut, keganjilan soal uang BSU untuk almarhum Soewandi sebetulnya bertaut dengan keganjilan lainnya. Semua bermula pada hari kematian tetangga Soewandi, dua tahun lalu.
***
Suasana sedih di seberang rumah Soewandi berubah jadi kasak-kusuk setelah pegawai BP Jamsostek datang bersama perangkat desa. Mereka menyampaikan berita kalau ahli waris berhak mengklaim uang jaminan kematian BPJS ketenagakerjaan.
“Dari situ kami tahu, meski tidak bekerja (bisa) dapat asuransi dari (BPJS) ketenagakerjaan saat meninggal,” kenang Khotimah.
Tak sekadar membawa kabar soal uang jaminan kematian, warga yang bertakziah juga diajak mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS ketenagakerjaan. Syaratnya dua saja: menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
“Satu bulan setelah (mendaftar) dapat kartu kepesertaan BPJS,” ujarnya.
Khotimah dan Soewandi tercatat sebagai Penerima Upah (PU). Padahal Khotimah merupakan ibu rumah tangga dan Soewandi adalah sopir barang antar-provinsi yang bekerja lepas.
Hal tersebut tak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Aturan tersebut mengatakan bahwa Penerima Upah (PU) merupakan setiap orang yang bekerja pada pemberi kerja dengan menerima upah. Sementara Bukan Penerima Upah (BPU) merupakan orang yang mendapatkan gaji atas hasil usahanya sendiri, seperti pedagang, nelayan, hingga sopir.
Lantaran tercatat sebagai penerima upah, Khotimah dan Soewandi harus membayar iuran saban bulan secara mandiri. Beberapa narasumber yang kami temui tahu persis asal-muasal kekacauan status kepesertaan BPJS ketenagakerjaan, salah satunya Yamidi, (bukan nama sebenarnya).
***
Yamidi, mengaku ikut membantu BP Jamsostek Cabang Sidoarjo mencari peserta. Tugas itu ia emban setelah terdaftar sebagai agen Penggerak Jaminan Sosial Indonesia (Perisai) daerah Sidoarjo. Perisai merupakan perbantuan program yang bertujuan untuk mengenalkan BPJS Ketenagakerjaan kepada pekerja di Indonesia.
“Kerjanya mencari anggota sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. (Agen) Perisai harus merawat peserta, tugas tambahannya itu,” ujar Yamidi saat ditemui di rumahnya, Rabu 11 Mei 2022.
Untuk menjaring sebanyak mungkin peserta, ia mendatangi berbagai lokasi. Mulai dari perkampungan dan permukiman padat penduduk, hingga pasar. Mereka yang tertarik mendaftar, cukup menunjukkan KTP. Sisanya, diproses Yamidi melalui aplikasi di telepon pintarnya.
Usai proses pendaftaran dilakukan, menurut Yamidi, penentuan status kepesertaan ditentukan oleh pegawai BP Jamsostek. Ia sempat heran lantaran semua peserta yang didaftarkannya dikategorikan sebagai penerima upah. Padahal, banyak di antaranya yang semestinya berstatus bukan penerima upah.
“Kantor cabang hanya mengejar target. Agar PU (penerima upah) mencapai target. Kami bekerja untuk menutupi (target) itu, tidak melihat risiko,” ujarnya.
Satu momen yang paling diingat Yamidi adalah ketika dirinya diminta menjaring ketua Rukun Warga (RW) dan ketua Rukun Tetangga (RT) untuk dijadikan peserta. Oleh atasannya, mereka dimasukkan sebagai penerima upah.
Langkah itu berlawanan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat. Peraturan tersebut mengatakan bahwa ketua RT dan RW hanya menerima insentif, bukan upah.
Meski sudah coba menjelaskan, tetapi atasan Yamidi kukuh dengan keputusannya.
“Kantor cabang malah instruksikan (ketua) RT/RW masuk PU,” keluhnya.
Status kepesertaan juga bikin heran Surti. Ia adalah salah satu pedagang di Pasar Prambon, Sidoarjo, Jawa Timur yang tercatat sebagai peserta BPJS ketenagakerjaan.
***
Akhir Desember 2018, ada riuh yang tak biasa di Pasar Prambon. Surti ingat betul kalau hal tersebut terjadi setelah kedatangan pegawai BP Jamsostek cabang Sidoarjo. Mereka melakukan sosialisasi dan meminta pedagang yang mau mendaftar BPJS ketenagakerjaan untuk menyerahkan KTP. Tak ada batasan umur yang ditetapkan.
“Umur di atas 60 akhirnya pada daftar,” kata Surti saat ditemui Jaring.id, Tempo, dan PCIJ, Rabu 11 Mei 2022.
Tak terkecuali Surti. Ia tergoda iming-iming jaminan kematian dan jaminan kecelakaan kerja. lalu mendaftarkan dirinya, ibu, dan mertuanya yang berusia lanjut. Tak sampai tiga bulan, kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan sudah di tangan.
“Cepat kok keluarnya (kartu),” ujarnya.
Belakangan, Surti baru ngeh kalau nama mereka dimasukkan sebagai penerima upah dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.
“Ibu saya enggak kerja (sebagai penerima upah), tetapi dulu jualan di sini. (Dia) malah dapat BSU, umurnya 70 tahun,” ujarnya.
Kepala Hubungan Masyarakat BP Jamsostek, Oni Marbun tak menyanggah bahwa terdapat penerima BSU yang berstatus bukan penerima upah.
“Bagi pekerja yang mendapatkan BSU pada tahun 2020 dan 2021, namun masuk dalam kategori pekerja Bukan Penerima Upah (BPU), maka besar kemungkinan yang bersangkutan juga terdaftar pada kategori pekerja Penerima Upah (PU),” jelasnya dalam jawaban tertulis yang disampaikan kepada tim liputan pada Selasa, 19 Juli 2022.
Meski demikian, ia menyebut bahwa seharusnya pedagang termasuk dalam kategori bukan penerima upah lantaran tidak memiliki atasan.
“PU itu (di) formnya diminta nama pemberi kerja. jenis usaha, SIUP, micro atau kecil. Sudah ada di persyaratan di pengumpulan. Kalau BPU cukup KTP, NIK, (dan) pekerjaan apa,” ujarnya dalam jawaban terpisah yang disampaikan pada Kamis, 29 Juli 2022.
***
Pertengahan 2020, terjadi peningkatan minat warga untuk menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Menurut seorang agen Perisai di Sidoarjo, Jatim penyebabnya adalah kabar yang beredar kalau peserta bakal dapat Bantuan Subsidi Upah (BSU) dari pemerintah.
Meningkatnya minat beriring dengan usaha BPJS Ketenagakerjaan untuk menjaring jutaan peserta baru. Deputi Bidang Kepesertaan Kantor Wilayah BP Jamsostek Jawa Timur Arifianto setiap kantor wilayah punya target peserta yang dibebankan oleh kantor pusat.
“Kalau enggak sesuai target, bisa turun peringkat. Kantor wilayah ada kelas kelas A dan B. Kelas A (terdiri dari) DKI, Jabar, dan Jatim,” ujarnya saat ditemui di kantornya pada Jumat, 15 Mei 2022.
Dalam praktiknya, penggunaan data BPJS Ketenagakerjaan sebagai acuan pemberian BSU berujung pada berbagai temuan yang berpotensi merugikan negara. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Simak serial kedua liputan Karut-marut Data BPJS Ketenagakerjaan dan Bantuan Subsidi Upah.
Liputan ini merupakan kerja sama Jaring.id, Tempo.co, Philippine Center for Investigative Journalism (PCIJ), Tempo Institute, dan Kini Academy dalam program Fellowship SEA Covid-19 Financial Stimulus Package.