Jelang Pemilihan Umum 2024, pelbagai kalangan, termasuk partai politik mulai ramai membicarakan ambang batas pencalonan presiden. Antara lain Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrat, dan sejumlah partai baru, seperti Partai Ummat, dan Partai Buruh. Ada pun warga yang sempat menggugat ambang batas 20 persen ialah Busyro Muqoddas, Hadar Nafis Gumay, Rizal Ramli, dan Bambang Widjojanto. Mereka tegas menolak ambang batas 20 persen karena dinilai terlampau tinggi dan menghambat kemunculan calon pemimpin alternatif.
Pada Rabu, 26 Januari 2022 lalu, giliran Partai Ummat mengajukan gugatan terhadap ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, MK telah menolak 15 gugatan yang sama. “Sudah didaftarkan ke MK dan kami sedang melengkapi administrasi persyaratan yang dibutuhkan,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Ummat, Nazarudin kepada Jaring.id, Rabu, 27 Januari 2022.
Aturan terkait syarat pencalonan muncul pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan kemudian dalam UU 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Atas dasar Pemilu 1999 dan 2004, electoral threshold dijadikan syarat keikutsertaan dalam Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Pada Pemilu 2009, aturan ambang batas pemilu ini tak lagi digunakan sebagai syarat mengikuti Pemilu 2014.
Ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 tetang Pemilihan Umum menyebutkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Ini berarti perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil pileg sebelumnya sangat menentukan bagi partai politik.
Meski dibayangi penolakan oleh MK, Partai Ummat optimistis gugatannya dapat diterima Hakim Konstitusi. Menurut Nazarudin, ada tiga alasan yang mendorong partainya mengajukan gugatan. Pertama terkait legal standing di mana penggugatnya belum ada yang berasal dari partai. Kedua, Partai Ummat menilai ketentuan ambang batas melanggar hak asasi manusia dan bertentangan dengan Pasal 22E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Tingginya ambang batas pencalonan presiden dan wakilnya ini pun dianggap menguntungkan segelintir partai yang memiliki kursi terbanyak di parlemen. “Ini tidak fair. Siapapun yang menjadi presiden pengalaman menunjukkan perpanjangan tangan dari oligarki,” ujar Nazarudin.
Baca: Perjudian Iklan Politik Daring
MK sebelumnya menyatakan bahwa pihaknya masih terbuka mengubah ambang batas pemilihan presiden dari 20 persen menjadi 0 persen. Wakil Ketua MK, Aswanto menyarankan agar pemohon memperkuat legal standing-nya dan mempelajari putusan sebelumnya. “Saran saya bisa dielaborasi lagi soal legal standing ini bahwa mestinya perseorangan bisa diberikan legal standing. Ini yang kelihatannya belum tampak,” kata Aswanto dalam sidang sidang di MK yang disiarkan lewat akun YouTube, Senin 17 Januari 2022.
Gugatan yang kini bergulir di MK menguatkan asa partai-partai baru untuk mengajukan kandidatnya sebagai bakal calon presiden dan wakil presiden. Juru Bicara Partai Adil Makmur (Prima), Farhan Abdillah Dalimunthe berharap hakim konstitusi mengabulkan ambang batas menjadi nol persen. “Kita ingin mengembalikan demokrasi. Ambang batas 20 persen melanggar prinsip berdemokrasi,” ujar Farhan kepada Jaring.id.
Farhan menilai penetapan ambang batas pencalonan presiden oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak ubahnya otoritarianisme yang membatasi hak politik warga negara. Selain itu, norma ambang batas juga dianggap akan menyuburkan praktik politik uang. Partai besar, menurutnya, akan sangat menentukan calon pemimpinan 2024 mendatang. Sedangkan partai baru akan sulit sejak awal untuk menembus sistem pencalonan tersebut. “Ini akan mengakibatkan money politik besar. Oligarki bermain mengatur siapa calon presiden yang diajukan,” kata dia.
Hal yang sama diungkapkan Partai Buruh. Ketua Bidang Pemilu Partai Buruh, Ilhamsyah menyatakan bahwa ambang batas tak lebih dari akal-akalan partai yang saat ini memiliki kursi di parlemen. “Pemilu yang diharapkan menghadirkan tokoh baru dari gerakan rakyat sulit. Lagi-lagi akan lahir tokoh yang ditopang oligarki dan pemodal besar,” kata Ketua Bidang Pemilu Partai Buruh, Ilhamsyah, Jumat 4 Februari 2022.
Anggota Komisi II DPR RI, Guspardi Gaus mengakui pencalonan presiden dengan batas 20 persen cukup berat. Dengan ketentuan tersebut partai yang kini berada di parlemen juga tidak bisa tidak berkoalisi. “Jelas berat 20 persen,” ujarnya kepada Jaring.id, Jumat, 4 Februari 2022.
Ambang batas 20 persen juga berpotensi akan mengulangi pemilihan presiden 2014 dan 2019 dengan dua calon kandidat. Pada saat itu, Joko Widodo berpasangan dengan Jusuf Kalla sementara Prabowo Subianto berpasangan dengan Hatta Rajasa. Pada 2019, petahana Joko Widodo gandeng Ma’ruf Amin, sementara Prabowo dengan Sandiaga Uno.
Akibatnya, menurut Anggota Dewan dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) ini, kontestasi tersebut menimbulkan polarisasi berkepanjangan. Bahkan, sampai saat ini. ”Dua kali pilpres terjadi pembelahan masyarakat. Kurang elok dalam persatuan dan kesatuan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, F-PAN sempat mengusulkan agar ambang batas pencalonan presiden diturunkan menjadi 4 persen. “Dengan begitu, paling tidak muncul kandidat 3-4 di pilpres 2024,” ucapnya. Namun, upaya tersebut kandas setelah DPR dan pemerintah sepakat tidak merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. “PAN pernah mengusulkan, partai politik yang ada di Senayan diberi ruang untuk mengajukan presiden karena ada wakilnya. UUD tidak ada mengatur pembatasan. Pada dasarnya tidak diatur pembatasan di UUD. Jangan sampai jadi head to head, bisa terjadi pembelahan masyarakat,” kata Guspardi.
Baca: Beda Ujian Partai Politik Baru
Meski begitu, PAN tidak tinggal diam menjajaki bakal calon presiden 2024 mendatang. Menurut Guspardi, partainya telah melakukan pendekatan kepada beberapa nama yang memiliki elektabilitas tinggi, seperti Anies Baswedan, Erick Thohir, dan Ridwan Kamil. “Ketua Umum PAN menyampaikan pidato kebangsaan. Itu bagian dari pengenalan dan penjajakan kandidat yang sesuai harapan masyarakat,” ujar Guspardi Gaus, Jumat 4 Februari 2022.
Begitu pula dengan PKS. Menurut Hidayat Nur Wahid, sampai saat ini partainya masih mendorong Ketua Majelis Syuro PKS, Salim Segaf Al Jufri sembari mengkaji elektabilitas beberapa nama. “Capres dan cawapres belum ditentukan PKS. PKS membuka mata dan telinga membuka kerjasama siap berkoalisi, PKS tidak mungkin sendiri,” ujarnya. Jelang 2024 mendatang, menurutnya, PKS harus bisa meningkatkan elektabilitasnya. “PKS yang utama saat ini meningkatkan kualitas partai,” tambah dia.
Pasalnya, ambang batas 20 persen yang berlaku saat ini tak hanya menyulitkan partai non parlemen. Partai parlemen pun ketar-ketir mengingat hasil pemilihan sebelumnya. PKS saat ini hanya punya 49 kursi atau 8,54 persen di DPR. Artinya PKS perlu berkoalisi dengan partai lain untuk mencalonkan presiden. “Sudah terbukti selalu menghadirkan kontroversi,” ujarnya.
Menurut Hidayat, ambang batas pencalonan telah mengeliminasi hak rakyat dalam menentukan kandidat yang bisa dipilih. Ambang batas 20 persen hanya akan menghadirkan calon presiden yang terbatas. “Ini mengurangi makna hak rakyat yang lebih beragam,” ujar Hidayat Nur Wahid kepada Jaring.id, Kamis, 3 Februari 2022. Dia pun
Karena alasan itu, PKS mendukung judicial review yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil hingga partai politik di Mahkamah Konstitusi. PKS berharap mekanisme pencalonan presiden kembali mengikuti pola pemilihan 2004 lalu. Saat itu, pemilihan presiden yang diikuti lima pasangan calon tidak mengakibatkan polarisasi di tengah masyarakat. “Harus dikoreksi. Kalau ada ambang batas dan pengaturan kami mengusulkan ambang batasnya mengikuti pola lama,” ungkapnya.
Tanpa Penyeimbang
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Ferry Amsari mengungkapkan bahwa ambang batas tidak tertera di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mekanisme pemilihan calon presiden dan wakil presiden secara umum diatur Pasal 6A UUD RI Tahun 1945. Pemilihan dilakukan dalam satu pasangan capres dan cawapres dan dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasangan capres-cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Namun, pemerintah dan DPR memasukan syarat tambahan, yakni ambang batas dengan perolehan kursi 20 persen atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
Baca: Giat Medsos Pejabat Minim Transparansi
Direktur PUSaKO (Pusat Studi Konstitusi) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini menyebut ambang batas merupakan permainan partai besar. Akibatnya partai menengah dan kecil tidak bisa menjadi penyeimbang. “Ini tambahan untuk memudahkan mereka bertahan di kekuasaan,” ujar Ferry kepada Jaring.id, Rabu 2 Februari 2022.
Di sisi lain, ia pun menyesalkan keputusan MK. Menurut dia para hakim MK tidak menganalisa pemberlakuan ambang batas 20 persen dengan tajam. Ia berharap MK tidak terbawa arus politik dengan menguatkan penetapan ambang batas. “Ada kelalaian yang mestinya dibenahi MK untuk kepentingan demokrasi ke depan. MK sebagai pelindung konstitusi gagal melindungi maksud konstitusi itu dibuat,” katanya.
Pemerhati pemilu, Titi Anggraini pun mengaku heran dengan alasan MK menolak gugatan perkara Nomor 49/PUU-XVII/2018 terkait dengan ambang batas pemilihan presiden. Dalam pertimbangannya MK selalu menggunakan dalil bahwa kebijakan ambang batas ditentukan oleh pembuat undang-undang, yakni pemerintah dan DPR. Mk pun mengklaim bahwa syarat pencalonan dapat menguatkan sistem presidensial. “Sistem presidensial tidak tergantung pada kekuatan parlemen karena legitimasi presiden diperoleh melalui pemilihan langsung. Dia tidak disandera oleh kekuatan parlemen,” ujar Titi Anggraini kepada Jaring.id, Jumat, 28 Januari 2022.
Padahal, Pasal 222 dalam UU Pemilu tidak hanya mendiskriminasi partai, tetapi juga menutup peluang bagi anak muda, masyarakat adat, perempuan, dan penyandang disabilitas untuk terlibat lebih jauh dari sekadar pemberi suara lima tahunan tersebut. “Alih-alih menguatkan perdebatan program gagasan, yang terjadi malah masyarakat terbelah, terjebak pada politik identitas, dan adanya hegemoni identitas yang dapat berujung pada sara,” kata Titi.
Sementara itu, pengamat demokrasi regional Asia, Ichal Supriadi menilai ambang batas di Indonesia terlalu tinggi. Penetapan ambang batas ini, kata dia, bertujuan untuk mengontrol kekuasaan. “Selain itu partai takut untuk berkompetisi. Kalau berani mengapa harus dibatasi 20 persen,” kata Ichal kepada Jaring.id, Sabtu, 5 Februari 2022.
Di Asia Tenggara, menurut Ichal, ada tiga negara yang menerapkan ambang batas pemilihan presiden, yakni Nepal, Filipina, dan Indonesia. Dari ketiga negara itu, proporsi suara atau kursi di Indonesia yang paling tinggi. “Di Filipina dan Nepal ambang batasnya hanya berlaku untuk pemilu lokal saja,” kata Ichal. Dengan begitu, maka tidak ada partai kuat yang dapat berkuasa berturut-turut di Nepal dan Filipina. “Sementara di Indonesia empat periode terakhir dikuasai Demokrat dan koalisi PDIP. Jadi dominasi partai politik di Indonesia cukup kuat,” ujar Ichal.
Menurut Ichal yang juga menjabat Direktur Asia Democracy Network, penerapan ambang batas 20 persen telah mengesampingkan oposisi, sehingga berdampak buruk bagi demokrasi di Indonesia. “Ini harus dihentikan atau diubah kalau ini akan membuat demokrasi akan mati. Demokrasi berkembang karena ada oposisi dan kesamaan politik,” ucapnya. (Abdus Somad)