Lelaki itu membenahi kemeja putihnya. Ia duduk dengan menyorongkan badan lebih dekat ke layar handphone dan sesekali meluruskan punggungnya ke sandaran kursi. Di bagian bawah paling kiri layar perangkat lunak berbasis video, Zoom tertera nama Lakso Anindito. Sejak 2015 ia bekerja sebagai penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karenanya ia jarang muncul ke muka publik, meski tempatnya bekerja saat ini kerap kali mendapat sorotan. Mulai dari pengubahan aturan perjalanan dinas, sampai penyaringan pegawai untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN). “Saya sudah enam tahun di KPK,” kata Lakso kepada Jaring.id, Selasa,16 Agustus 2021.
Pada tahun ke-5, tepatnya pada September 2020 Lakso terbang ke Swedia untuk melanjutkan pendidikan master di Universitas Lund. Tugasnya di KPK untuk sementara diserahkan kepada rekan kerjanya di Satuan Tugas (Satgas) 19. Sementara jurusan yang ia pilih saat berkuliah di Swedia adalah hukum perdagangan. “Di KPK masih minim keahlian ini,” ucap lelaki yang menempuh pendidikan sarjana hukum di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Baca juga: Ke Presiden Polemik Kepegawaian KPK Berujung
Lepas tiga bulan sejak pertama kali belajar di universitas yang sudah didirikan sejak 1666, Lakso menerima surel dari Jakarta. Isinya mengenai tes wawasan kebangsaan dalam proses pengalihan status kepegawaian KPK menjadi ASN. Pimpinan KPK bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN) menggelar penyaringan melalui ujian menulis esai, indeks moderasi bernegara dan wawancara pada 9-15 April lalu.
Tak lama, surel tersebut langsung dibanjiri ribuan pesan dari pegawai, termasuk Lakso. Ia mempertanyakan dasar hukum, sekaligus mengingatkan potensi pelanggaran hukum dari penyelenggaraan TWK. Sebab Undang-Undang KPK hasil revisi yang mulai berlaku sejak ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019 lalu sejatinya tidak mensyaratkan TWK sebagai ujian saringan masuk menjadi ASN. Pasal 69 C hanya menyebutkan pegawai KPK beralih status menjadi ASN paling lama 2 tahun sejak UU itu berlaku. “Saya mengingatkan pimpinan KPK,” kata dia.
Belakangan ucapan Lakso terbukti benar. Ombudsman RI (ORI) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan adanya pelanggaran administrasi dan HAM dalam pelaksanaan TWK. Komnas HAM menduga penyelenggara TWK melakukan tindakan terselubung dan ilegal, seperti profiling lapangan yang hanya ditujukan kepada beberapa pegawai. Namun pimpinan KPK menampik melakukan hal itu semua. Sementara kepada Lakso, tak satu pun dari lima pimpinan yang mau menjelaskan urgensi dari penerapan TWK tersebut.
Alih-alih mendapat jawaban, pimpinan malah memintanya dan tiga pegawai lain yang sedang berada di luar negeri untuk pulang pada 5 April 2021 atau empat hari sebelum tes dilakukan. Namun permintaan itu tak dapat dipenuhi Lakso dan juga tiga pegawai lain yang sedang kuliah di luar negeri. Alasan penolakan yang saat itu diajukan Lakso ialah peningkatan kasus Covid-19 di Indonesia. Ia pun tidak yakin dapat mengikuti penyaringan tersebut sesuai jadwal karena harus melakukan karantina selama dua pekan terlebih dahulu. “Kabarnya mendadak,” ungkapnya singkat.
Baca juga: Mereka-reka TWK Pegawai KPK
Oleh sebab itu, Lakso mengusulkan agar penyelenggara menggelar ujian di Kedutaan Indonesia di Swedia atau melalui daring. Tapi usulan tersebut ditolak. Seluruh pegawai tetap diminta untuk segera pulang. “Saya tidak tahu mengapa ditolak,” ujarnya.
TWK pegawai KPK pada akhirnya tetap digelar sesuai jadwal tanpa kehadiran pegawai yang tengah meneruskan kuliah di luar negeri. Ketua KPK, Firli Bahuri melalui Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Assesmen Tes Wawasan Kebangsaan mengungkapkan bahwa sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tak memenuhi syarat menjadi ASN pada 7 Mei 2021. Meski begitu, 24 orang di antaranya dinyatakan masih bisa dibina, sisanya tak lagi bisa bergabung di KPK.
Dua bulan berselang setelah pengumuman hasil TWK, Lakso baru kembali ke Indonesia. Ia menuntaskan pendidikannya pada Juli 2021 lalu. Hal pertama yang ia lakukan setelah tiba di Jakarta ialah mencari informasi mengenai TWK susulan, serta menyiapkan sejumlah rencana untuk memperkuat pengusutan KPK terhadap kejahatan transnasional. Hal ini penting karena sejak kepemimpinan Firli Bahuri, pengusutan kasus kejahatan korporasi di KPK menurun.
Dalam laporan tindak pidana korupsi (TPK) berdasarkan profesi, kejahatan korporasi pada 2018 berhasil diungkap sebanyak 4 kali, setelah itu tidak ada satupun kejahatan korporasi yang diungkap hingga 2021. “Kita lihat dengan semakin kompleksnya transaksi bisnis internasional, maka dibutuhkan bagaimana sistem bisnis internasional. Saya melakukan pendalaman untuk itu,” kata Lakso.
Baca juga: Karena Aturan Setitik, Rusak KPK Sebelanga
Tapi rencana besar tersebut buyar. Dengan nada suara lirih, Lakso merasa tak lagi berwenang melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Dari daftar nama-nama penyidik dan penyelidik yang dikukuhkan menjadi aparatur sipil negara pada Selasa, 3 Agustus 2021, namanya tak tertera. Surat tugas nomor 2113/KP. 01. 04./50-54/08/2021 hanya memuat 140 nama-nama penyidik dan penyelidik KPK, sedangkan dalam surat keputusan terkait pegawai yang tidak memenuhi syarat TWK, nama Lakso tak termasuk 57 pegawai yang diklaim gagal. “Status saya mengambang. Saya masih menunggu waktu ujian yang sampai sekarang belum jelas kapan,” kata Lakso sembari berharap mendapatkan kepastian waktu pelaksanaan TWK susulan.
“Di sini saya dirugikan. Ini melanggar hak saya sebagai warga negara yang berhak mendapatkan hubungan kerja yang adil dan layak sesuai konstitusional,” tambah Lakso dengan sorot mata yang seakan mampu menembus layar komputer.
Kendati demikian, Lakso tetap memilih untuk menyambangi kantor KPK. Saban hari ia berangkat ke kantor Pukul 08.00 dan pulang jelang sore sekitar Pukul 17.00 WIB. Praktis tak ada pekerjaan yang dapat dilakukan, kecuali membuka kembali dokumen kasus yang sempat ia tangani, berbagi data kepada rekan-rekannya, hingga mengajak diskusi di internal KPK. “Saya melakukan apa yang bisa saya lakukan,” ungkapnya.
Beberapa waktu lalu, Lakso bahkan sempat mengajukan permohonan surat perintah penyidikan kepada atasan di KPK sekembalinya dari Swedia. Tapi permohonan itu tak bersambut karena Lakso belum berstatus PNS. Padahal, menurutnya, ia tidak pernah mendapatkan surat pengalihan tugas kepada atasan seperti yang diperoleh oleh 57 pegawai KPK. “Saya semestinya bisa melakukan pemeriksaan tersangka atau saksi yang terlibat perkara KPK. Tanpa sprindik saya tidak bisa melakukan itu,” kata Lakso.
Kepada Jaring.id, Lakso mengaku telah berusaha mengonfirmasi status kepegawaiannya, baik kepada pimpinan maupun kepada biro yang mengurusi sumber daya manusia. Tapi semua usaha itu nihil. Lakso tidak pernah mendapat kepastian. Sementara dalam dua bulan ke depan, pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat akan diberhentikan pada 17 Oktober 2021. “Sebagai orang hukum, kepastian hukum itu penting. Saya tidak diam,” kata Lakso.
Hal ini mengakibatkan Lakso tak dapat leluasa bekerja. Sejak kembali ke Indonesia, ia tak pernah lagi dilibatkan dalam proses penyidikan. Padahal ia merupakan salah satu penyidik yang andal. Sederet kasus pernah ia tangani. Antara lain kasus dana alokasi khusus (DAK) yang menyeret pimpinan DPR RI, perkara korupsi terkait lingkungan hidup, hingga kasus korupsi di proyek infrastuktur. Lakso juga tercatat sebagai orang pertama di KPK yang mampu menangani kasus pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi. Tapi dengan statusnya kini, lelaki yang pernah menggugat hak angket DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan perkara e-KTP ini tidak yakin dapat kembali bekerja di lembaga antirasuah. “Saya tidak akan dapat bekerja di KPK selamanya,” ujarnya.
Baca juga: Ketika Warga Tuntut Ganti Rugi Korupsi Bansos
Lakso menilai pemberhentian secara paksa terhadap 57 pegawai KPK, termasuk tak memberikan kepastian status kepegawaian kepada dirinya dan 3 pegawai lain yang masih kuliah di luar negeri merupakan kerugian besar bagi KPK. “Adanya ketidakjelasan itu saya takut ini menjadi kemunduran KPK setelah belasan tahun membangun institusi yang kredibel yang statusnya diakui nasional maupun internasional,” kata Lakso.
Seharusnya, menurut Lakso, kepulangan para pegawai KPK dari luar negeri dapat menjadi titik balik kemajuan KPK. Tapi saat ini yang terjadi justru sebaliknya. Lakso merasa tidak lagi dapat menyalurkan ilmu yang ia peroleh karena hampir kehilangan pekerjaannya. “Kita punya niat baik kembali ke Indonesia untuk bekerja bersama KPK,” pungkas Lakso sebelum mengakhiri pertemuan daring dengan Jaring.id. (Abdus Somad)