Yang Berubah Dengan Jurnalisme Data di Masa Pandemi

Visualisasi data mendapatkan momennya tahun ini seiring dengan terus bertambahnya jumlah orang yang terinfeksi Covid-19. Istilah “melandaikan kurva” jadi bahan obrolan sehari-hari dan orang-orang yang tak punya latar belakang pengetahuan soal epidemi mulai membicarakan angka R (tingkat penularan) serta pertumbuhan eksponensial.

“Ini adalah pertama kalinya saya melihat jurnalisme data dan visualisasi meretas jalannya menuju keseharian,” ujar jurnalis multimedia Javier Sauras.

Sauras, bersama dengan ahli data sains, jurnalis, penyedia layanan Kesehatan, dan filantropis berbincang secara virtual dalam acara 2021 Northeastern University Computation + Journalism Symposium yang dihelat Jumat, 19 Februari 2021. Mereka berdiskusi soal bagaimana jurnalisme data memengaruhi pekerjaan yang mereka lakukan.

Grafik berbentuk peta menjadi hal jamak untuk menunjukkan persebaran kasus Covid-19, kematian, dan vaksinasi. Salah satu yang terbaik adalah US Covid Atlas yang dibuat Center for Spatial Data Science at the University of Chicago. Dylan Harper dan beberapa rekannya membeberkan pengalamannya saat menggarap peta tersebut.

Salah visualisasi paling menarik dari pandemi ini adalah Atlas COVID AS yang dibuat oleh Center for Spatial Data Science University of Chicago. (Gambar: Tangkapan layar)

US Covid Atlas menunjukkan jumlah kasus yang dibandingkan dengan populasi di wilayah tersebut untuk menghasilkan visualisasi mengenai zona rawan penyebaran Covid-19. Fitur rentang waktu dalam peta juga memungkinkan pengguna untuk melihat perubahan jumlah kasus dari waktu ke waktu. Keunggulan lain dari peta ini adalah aksesibilitas data yang dimungkinkan dengan penyediaan API agar pengguna bisa berinteraksi dengan data dan menarik simpulan sendiri.

“Wabah ini bukanlah yang terakhir. Mempunyai perangkat yang mudah diakses menjadi hal penting dalam kondisi tersebut,” kata Halpern.

Adrián Blanco, jurnalis The Washington Post and Sauras—dari Columbia University—ingin tahu bentuk lain visualisasi data, selain peta, yang turut mendefinisikan hal yang disebut Sauras sebagai “tata bahasa grafik soal pandemi”. Mereka melakukan survei terhadap lebih dari 50 orang jurnalis data, jurnalis grafis, editor, dan ahli visualisasi dari berbagai media di dunia untuk mengetahui tantangan apa yang mereka hadapi dan bagaimana cara menyelesaikannya.

Hasil survei menunjukkan kalau, selain peta, grafik garis dan grafik batang merupakan favorit. Adapun ungu dan oranye adalah dua warna yang banyak dipilih. Banyak responden merasa kalau wabah Covid-19 telah menyadarkan rekan kerja mereka mengenai pentingnya memiliki kemampuan untuk meletakkan beberapa visualisasi secara bersamaan. Hal tersebut, menurut para peserta konferensi, menjadi berkah di tengah wabah.

[irp posts=”10288″ name=”Memeriksa Video yang Viral di Sosial Media”]

Survei tersebut juga menyatakan bahwa menemukan ahli yang bisa menjelaskan soal data merupakan sebuah tantangan. Hal itu terutama dialami oleh para responden yang bekerja untuk media kecil. Mereka yang berhasil mendapatkan penjelasan dari ahli mendapatkan gambaran lain soal data dan mampu melaporkan informasi baru kepada audiens. Sementara itu, media yang gagal beroleh akses, terseok mengejar ketertinggalan.

Hal lain yang juga menjadi tantangan adalah cara mengkomunikasikan jumlah yang besar. Sebagai contoh adalah pernyataan kalau “hampir 500 ribu orang di Amerika Serikat meninggal lantaran Covid-19” yang nyatanya tak berdampak besar. THE CITY, media nirlaba yang berbasis di New York mencoba memecahkan masalah tersebut dengan sebuah proyek liputan bertajuk Missing Them.

Terry Parris Jr., Director of Engagement THE CITY bersama dengan Anjali Tsui dari the Stabile Center for Investigative Journalism, dan Derek Kravitz dari the Columbia Journalism School membeberkan bagaimana proyek tersebut bekerja. Mereka mengumpulkan nama penduduk New York yang meninggal akibat Covid-19 dan menulis obituarinya, hal yang tak dilakukan oleh media lain.

“Untuk memasang obituari di New York Daily News, rata-rata biaya yang harus dikeluarkan sebesar US$600,” ujar Parris. Besarnya ongkos, menurutnya, membuat 70% berita duka cita diisi oleh warga New York berkulit putih. Diskriminasi bahkan terjadi dalam kematian.

Untuk mendapatkan nama-nama orang yang meninggal karena Covid-19, THE CITY menyisir berita di media lain, daftar dari serikat pekerja yang tersedia untuk publik, dan data dari tenaga kesehatan. Model crowdsource dengan menggunakan formulir Google yang dipasang di portal berita juga dipakai. Dari 2.000 nama yang terkumpul, 500 di antaranya didapat secara crowdsource. Untuk menulis berita duka cita gratis, mereka menggunakan bantuan sukarelawan dan mahasiswa yang memiliki kemampuan jurnalistik. Dengan cara tersebut, komposisi rasial dari berita kematian yang dibuat secara gratis berhasil diselaraskan dengan profil kematian terkait Covid-19 yang sesungguhnya. Hanya 25 persen dari berita tersebut yang berisikan warga New York berkulit putih.

[irp posts=”10266″ name=”Pengakuan Intelijen yang Disewa Harvey Weinstein”]

Dengan tersedianya vaksin, terbit harapan kalau relawan THE CITY bakal lebih sedikit menulis berita duka cita di masa mendatang. Namun, kampanye soal vaksin juga menghadapi tantangan dari sisi logistik. Saintis Kate Miller dan Rebecca Weintraub dari Ariadne Labs, Vilas Dhar dari the McGovern Foundation, dan Stuart A. Thompson dari The New York Times Opinion bicara soal kolaborasi yang menghasilkan model distribusi vaksin yang adil. Model itu bisa digunakan pemerintah untuk membuat perencanaan vaksinasi sembari memberikan pemahaman pada orang-orang yang menunggu divaksin.

Langkah pemerintah memprioritaskan individu berisiko tinggi untuk divaksin, menghitung berapa banyak orang yang masuk dalam berbagai kategori berisiko tinggi, dan kemungkinan tumpang tindihnya data antarkategori disebut Miller, “menghasilkan kesaling-silangan data yang kompleks”. Menentukan tumpang-tindihnya data antarkategori masyarakat berisiko yang berbeda bakal membuat masyarakat lanjut usia bisa mendapatkan vaksin lebih dulu daripada tenaga kesehatan. Miller mencontohkan ketika mendata masyarakat berusia di atas 65 tahun yang masuk dalam satu kategori orang berisiko, mereka akan menemukan kalau 85 persen di antaranya sudah divaksin lantaran masuk dalam orang komorbid yang masuk dalam kategori lain orang berisiko.

Agar membantu publik mengerti soal kerumitan data tersebut, Thompson dari The New York Times membuat sebuah perangkat daring. Dengan menggunakan perangkat itu, orang bisa memperkirakan posisi mereka dalam daftar antrian penerima vaksin berdasarkan umur, pekerjaan, dan kondisi kesehatan.

Villas Dhar, Presiden MvGovern Foundation berharap perangkat itu bakal membantu publik mengerti dan berperan aktif dalam situasi wabah yang di luar kendali mereka. “Pada akhirnya, kerumitan dan abstraksi data menjadi penting karena hal tersebut mempengaruhi orang,” ujarnya. (Saima Sidik/ penerjemah: Kholikul Alim)


Saima Sidik adalah jurnalis lepas dan mahasiswa di MIT Graduate Program for Science Writing. Ia fokus pada liputan sains, termasuk perubahan iklim, kesehatan, dan biologi. Beberapa tulisannya bisa disimak di MIT News, Eos, dan Hakai Magazine.

Tulisan ini pertama terbit di Storybench, platform bercerita digital yang dikembangkan oleh Northeastern University School of Journalism. Mendapat izin untuk diterbitkan ulang oleh GIJN dengan tajuk How the COVID-19 Pandemic Has Shaped Data Journalism.

 

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.