Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) bersama Hivos dan Yayasan Humanis meluncurkan website womenunlimited.id, sebuah situs yang menyediakan data terpusat tentang profil perempuan dari pelbagai latar belakang. Mulai dari pendidikan, lingkungan, gender, seksualitas, perdamaian, ekonomi dan politik. Menurut pengelola situs, Tunggal Pawestri, pengembangan situs yang didukung oleh Pemerintah Belanda dan Kanada ini bertujuan untuk memperluas ruang percakapan perempuan di ranah publik. “Apalagi pada saat pandemi. Banyak acara atau kegiatan yang didominasi oleh laki-laki,” ujar Tunggal Pawestri pada Jumat, 26 Maret 2021.
Padahal, menurut Tunggal, tidak sedikit perempuan yang memiliki kapasitas untuk berbicara di hadapan publik. Pada tahap awal peluncuran, womenunlimited.id merekomendasikan sekitar 200 perempuan yang bisa dijadikan narasumber maupun pembicara oleh media massa, pemerintah maupun organisasi nirlaba (NGO). Antara lain Olvi Tumbelaka yang saat ini bekerja sebagai aktivis di Perempuan Aman Lou Bawe, Veronica Koman seorang pengacara publik yang fokus pada isu minoritas utamanya di Papua dan Shita Laksmi yang bergelut pada bidang keamanan digital.
Sementara hingga akhir tahun ini, Tunggal menargetkan 500 nama yang dapat mengisi daftar narasumber. “Tentu saja sebagai sebuah living database, kami akan kembangkan. Akan kami lengkapi, karena masih banyak bidang yang biasanya didominasi laki-laki, seperti tata kota,” katanya.
Jamshed M. Kazi dari United Nation (UN) Women perwakilan Asia Tenggara sangat mendukung peluncuran situs womenunlimited.id. Menurutnya, dominasi laki-laki di ruang publik harus bisa diimbangi dengan kehadiran perempuan. “Keragaman bukan hanya gender, tetapi latar belakang, profesi agar lebih kaya dan bisa belajar ketimbang panel yang berisi laki-laki semua,” ujarnya.
Minimnya ruang bagi perempuan untuk mengisi perbicangan publik, menurut akademisi Universitas Melbourne Australia Dina Afrianty, bukan disebabkan oleh kapasitas perempuan. Melainkan dipengaruhi oleh budaya patriarki yang menganggap laki-laki lebih penting untuk berbicara di hadapan publik. “Ini isu hirarki. Ruang publik menjadi ruang kompetisi. Di sana perempuan tidak terlihat. Apakah itu sengaja atau tidak sengaja? itu yang harus kita bongkar,” kata Dina yang juga menjadi salah satu narasumber dalam peluncuran situs womenunlimited.id.
Selama ini, kata dia, peran perempuan dalam pembicaraan publik sangat terbatas. Kalau bukan urusan domestik, perempuan hanya dijadikan pelengkap acara, seperti moderator maupun petugas penerima tamu. “Perempuan hanya di depan pintu. Ini intinya tentang justice. Ini karena dunia yang patriarki atau memang sudah terjadi di mana-mana, microfon, layar dan podium itu sepertinya hanya untuk laki-laki, bukan perempuan,” ujarnya.
Redaktur senior Kompas, Ninuk Pambudy dalam acara yang sama mengungkapkan bagaimana sulitnya bekerja di tengah dominasi laki-laki. Menurutnya, perempuan di media massa seringkali terbelenggu dengan budaya, mitos dan tak jarang kompetensinya di ranah produktif dipinggirkan. Tidak sedikit pula anggapan bahwa perempuan pekerja akan lebih kesulitan mengambil keputusan, sekalipun kompetensinya melampaui laki-laki.
“Jumlah perempuan saja tidak cukup kalau perempuan tidak punya gender sensitive. Maria Hartiningsih di Kompas disebut ‘perempuan galak.’ Itu sebetulnya pola pikir. Untung saya berdua dengan dia, kalau sendiri saya juga capek karena harus menghadapi editor yang laki-laki,” ujar Ninuk yang juga pernah memimpin Harian Kompas sebagai pemimpin redaksi.
Itu sebab, menurut Ninuk, representasi perempuan di media massa saat ini tidak melulu soal konten. Satu hal yang sama pentingnya ialah kebijakan dan peran perempuan di perusahaan. “Jam kerja saja masih maskulin. Lingkungan tempat bekerja itu memengaruhi,” kata Ninuk.