Wayang Sasak Penghormatan Terhadap Keberagaman

 

Made Darundya dalang wayang sasak itu tak kuasa berkata-kata. Sesaat dia tertegun. Lalu memeluk Jayengrana dan Munigarim–dua buah karakter wayang yang sudah berusia ratusan tahun–kepunyaan Muhammad.

Air matanya meleleh. Dia membayangkan memeluk sang kakek, Nengah Gowang—seorang dalang wayang sasak legendaris yang sangat mahsyur di pulau Lombok pada zamannya. Darundya melepas rindu.

“Dia benar-benar terharu waktu saya tunjukkan dua buah wayang peninggalan kakeknya,” cerita Muhammad yang juga seorang dalang, saat ditemui dikediamannya di Desa Gunung Agung, Pemepek, Lombok Tengah, akhir April lalu.

Dua karakter utama wayang sasak yang membuat Darundya menangis, memang bukan wayang sembarangan. Setidaknya bagi Muhammad dan Darundya. Keduanya menyimpan rasa masing-masing dengan wayang kulit itu.

Muhammad menuturkan dua wayang itu diwarisakan dari Amaq Madim, seorang dalang generasi pertama di Desa Bonjeruk, Lombok Tengah. “Amaq Madim berguru mendalang dari Nengah Gowang, kakeknya Darundya,” cerita Muhammad.

Meskipun mejadi guru dari Amaq Madim, Nengah Gowang sangat takjub pada cara muridnya itu memainkan wayang. Di tangan Amaq Madim, kulit-kulit mati yang muncul dalam betuk bayangan wayang itu menjadi sangat hidup.

“Nengah Gowang heran, bagaimana bisa Amaq Madim memainkan wayang sehingga wayangnya jadi sangat hidup dalam kelir,” tangan Muhammad mencoba menirukan cara Amaq Madim memainkan wayang yang membuat Nengah Gowang takjub.

Nengah Gowang dan Amaq Madim adalah dua orang dalang wayang sasak dari latar belakang yang berbeda. Nengah Gowang beragama Hindu sementara Amaq Madim adalah seorang Muslim. Mereka menjadi sahabat, bahkan seperti saudara. Sebagi bentuk persaudaraan itu, Nengah Gowang menghadiahkan dua wayang Jayengrana dan Munigarim kepada Amaq Madim.

Kedua wayang itulah yang membuat Darundya menangis. Muhammad dan Made Darundya seakan mengulang kisah persahabatan antara Nengah Gowang dan Amaq Mudim. Persaudaraan dua orang dalang wayang sasak dalam bingkai keberagaman.

Wayang sasak adalah sebuah seni pertunjukan rakyat yang hingga saat ini masih hidup di pulau Lombok. Berbeda dengan wayang jawa atau wayang bali yang memainkan cerita Ramayana dan Mahabarata, sumber cerita dalam wayang sasak adalah Serat Manak–yang bertutur tentang penyebaran agama Islam. Wayang sasak dikenal sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam di Lombok.

Karakter-karakter dalam wayang sasak sangat mudah dikenali, wayang kanan – letaknya di sisi kanan dalang adalah tokoh protagonis dari kerajaan Islam yang dipimpin Raja Jayengrana atau Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad SAW–tokoh sentral dalam Agama Islam.

Sementara wayang kiri – di sisi kiri dalang — adalah tokoh antagonis, dari kerajaan-kerajaan yang tak beragama yang memerangi kerajaan Jayengrana. Cerita-cerita dalam lakon wayang sasak berakhir dengan ditaklukkannya kerajaan wayang kiri oleh pasukan Raja Jayengrana. Raja yang kalah diberikan pilihan, menjadi tahanan atau masuk Islam mengikuti syariat Nabi Ibrahim.

“Kalau mau ikut ajaran Islam, maka diajarkan cara membaca dua kalimat syahadat, tandanya masuk Islam,” cerita Darundya seraya melafalkan dua kalimat syahadat dengan fasih. Dalang yang lahir di Lombok, 12 Agustus 1966 ini, mengaku menghafal rukun Iman, rukun Islam dan silsilah nabi-nabi dalam agama Islam. Dia bahkan selalu berpuasa selama sepekan sebelum menggelar sebuah pertunjukan.

Kendati secara hitam putih, wayang sasak adalah media penyebaran Agama Islam, akan tetapi dalam perjalanan sejarahnya, terdapat sejumlah dalang beragama Hindu yang memainkan lakon Serat Menak tanpa mengubah alur ceritanya. Salah satu dalang yang mahsyur itu adalah Nengah Gowang.

Kehadiran Gowang seorang penganut agama Hindu dan memainkan cerita wayang bertemakan penyebaran agama Islam, menjadi sesuatu yang unik. Gowang dikenal sebagai dalang yang memainkan pakem cerita Serat Menak. Hal yang sama juga dilakukan saat ini oleh sang cucu Made Darumbia. “Kalau mendalang, saya pakai pakem. Tidak berani saya ubah cerita,” kata Darundya.

Sejumlah dalang dan warga yang ditemui TEMPO mengkonfirmasi cerita Darundya. Tidak ada alur cerita yang diubah oleh dalang-dalang wayang sasak yang beragama Hindu itu. “Justru dalang-dalang Hindu itu memainkan cerita pakem,” kata Haji Syafwan, salah seorang dalang, guru Sekolah Pedalangan Wayang Sasak.

“Sebenarnya orang Sasak ini bersyukur dan berterima kasih, yang pertama menangkap cerita wayang dan mahir dalam seni pertunjukannya adalah teman Bali, Nengah Gowang, Jero Giyur. Bahkan Nengah Gowang adalah guru dari banyak dalang di Lombok ini.” Kata Syafwan.

Saat menonton pertunjukan wayang sasak, dengan mudah kita akan bisa membedakan apakah dalangnya beragama Islam atau Hindu. Kalau yang main adalah dalang muslim, wayang yang pertama muncul adalah gunungan dengan pasangan Jayengrana dan Munigarim. Jika dalangnya adalah seorang Hindu, maka pertunjukan akan dibuka dengan keluarnya tokoh Rurah dan Kembung.

“Kalau yang keluar pertama kali adalah tokoh Rurah dan Kembung, itu pasti dalang Hindu,” kata Made Kantun (70), salah seorang dalang wayang sasak beragama Hindu, yang hari ini sudah tak lagi mendalang setelah menjadi seorang pemangku.

Kehadiran para dalang wayang sasak beragama Hindu, sejauh ini diterima baik oleh masyarakat. Tidak hanya oleh masyarakat muslim, masyarakat Hindu di Lombok juga kerap menanggap wayang sasak jika ada hajatan. Biasanya hajatan itu berupa janji, atau nazar akan menaggap wayang jika terpenuhi sebuah harapan. “Saya bisa main wayang bali. Saya tawarkan mereka mau wayang bali atau wayang sasak, tapi mereka pilih wayang sasak,” kata Darundya.

Tak hanya itu, dalam upacara-upacara tertentu wayang sasak bahkan dimainkan di Pura. Dari selembar kertas catatan pertunjukan wayang, milik ayahnya yang sempat disimpan Darundya, tercatat dua kali kelompok dalang yang dipimpin ayahnya bermain di Pura Penganjolan, tanggal 7 dan 8 April 1988.

Wayang sasak tak hanya akrab di kalangan Muslim dan umat Hindu, di kalangan umat Budha, pertunjukan itu juga bisa diterima. Adalah Amaq Wasiah (70) dalang senior yang menetap di Desa Mapak, Lombok Barat yang sempat memainkan Wayang Sasak di Komunitas umat Budha, Di Bentek, Lombok Utara. “Mereka bisa menerima dengan baik. Tidak ada penolakan,” cerita Amaq Wasiah.

“Kesenian memang tidak beragama,” kata Muhammad Yamin, salah seorang budayawan Lombok, menjelaskan fenomena wayang sasak, sebuah media Islamisasi tradisional yang diterima oleh semua kalangan, termasuk dimainkan oleh dalang beragama Hindu.

“Peran seni memang sering menjadi jembatan dua konspep budaya yang berbeda, itu semacam pengetahuan umum. Rupanya para dalang Hindu ini melihat wayang ini sebagai sebuah kesenian, di samping ada kesamaan substansi teologis antara agama Islam dan Hindu,” kata Yamin.

Adanya unsur artistik yang sangat besar dibading dengan misinya, yang juga membuat wayang sasak bisa diterima semua kalangan. “Unsur artistiknya besar, dibanding pesan misi. Misi dititipkan di pesan artistiknya,” kata Yamin.

Wayang sasak ternyata bisa menyatukan keberagaman tanpa rasa curiga. Sebuah tradisi penganut Islam di Lombok yang dihormati oleh pemeluk Hindu di Nusa Tenggara Barat.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.