Wayang Sasak Juru Damai Perselisihan Warga

 

Situasi di Lingkungan Petemon, Kelurahan Pagutan, Kota Mataram, malam itu belum pulih benar. Suasana hangat akibat pertikaian warga Petemon dengan warga kampung tetangganya, Lingkungan Karang Genteng masih terasa.

Tapi Darundya tetap memenuhi undangan Arpah (50) warga Petemon untuk mendalang. Di bawah kawalan aparat keamanan, pertunjukan wayang dengan lakon Perang Purwe Konde berlangsung lancar dan aman malam itu.

Menurut Arpah, tuan rumah pertunjukan, orang-orang di kampungnya kangen ingin menonton wayang seperti yang pernah dimainkan Nengah Gowang dan Nengah Giyur. Darundya datang atas rekomendasi Sukirno, seorang pegiat pedalangan wayang sasak, di Desa batu Kumbung, Lingsar, Lombok Barat, dia mengetahui bahwa ada dalang bernama Made Darundiya, cucu Nengah Gowang yang merupakan guru Nengah Giyur. “Kebetulan ada rezeki, waktu anak saya sunatan saya undang Darundya,” kata Arpah.

Tak sekedar membayar rindu dan menggelar hiburan sebagai rasa syukur atas sunatan anaknya, pertunjukan yang digelar malam itu ternyata punya muatan lain. Lakon yang dipilih adalah Purwe Konde. “Itu cerita tentang perang saudara di keluarga Amir Hamzah,” kata Arpah. Menurut Arpah, yang memilihkan lakon Purwe Konde adalah almarhum, Haji Saman ayahanda Arpah.

“Sepertinnya beliau ingin mengingatkan kami lewat pertunjukan wayang bahwa perang sesama saudara itu tidak ada manfaatnya, yang memang tidak akan dapat apa-apa, apalagi yang kalah,” kata Arpah. Benturan antarwarga memang kesia-siaan. Menang jadi arang, kalah jadi abu.

Penggunaan wayang sebagai media pendamai pertikaian antar warga, konon sudah dilakukan oleh dalang Nengah Gowang pada masanya. Dan malam itu Darundiya seperti mengulang apa yang dulu dilakoni kakeknya. “Cerita bapak saya, kakek juga sering diminta mendalang di wilayah-wilayah yang sedang berkonflik, main wayang seperti syarat untuk meredam konflik,” tutur Darundiya.

Kehadiran dalang-dalang beragama Hindu yang memainkan Wayang Sasak bertemakan cerita Islam adalah sebuah kekayaan masyarakat Pulau Lombok yang plural. Pedande Gede Made Jelantik Dwija Gautama, seorang pemuka umat Hindu di Mataram sangat mengapresiasi upaya menjaga warisan budaya toleransi yang dilakukan oleh para dalang wayang sasak. Dia sama sekali tidak mempersoalkan dalang-dalang Hindu yang memainkan wayang bertemakan ajaran Islam.

Sedari muda, Jelantik bahkan sangat menggandrungi wayang sasak. “Itu dia istimewanya di Lombok, wayang sasak itu muatannya penuh dengan cerita bernuansa agama Islam, tapi kami juga senang dan ikut melakoni, seperti dalang Pak Kantun, yang beragama Hindu dan diterima oleh semua kalangan. Itu tidak ada di daerah lain, itu istimewanya di Lombok,” kata Jelantik.

Apa yang dicontohkan para dalang itu, menurut Jelantik semestinya bisa jadi teladan bagi generasi muda Lombok, menjadi jawaban atas kondisi masyarakat hari ini yang cenderung terpolarisasi.

Dalam sejarahnya, masyarakat Lombok memang pernah mengalami penjajahan oleh Kerajaan Karang Asem Bali, sekitar abad XVIII. Meski sejarah pendudukan Bali atas Lombok itu sudah berlangsung berabad lamanya, akan tetapi warisan polarisasi masih tersisa.

“Sejarah kami mewariskan polarisasi, suka tidak suka dan membangun di atas polarisasi itu tidak mudah, karena sewaktu-waktu bisa meletup, kecuali ada gerakan untuk berdamai dengan sejarah,” kata Tuan Guru Hasanain Juaini, pimpinan Pondok Pesantren Nurul Haramain, Narmada.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.