KATHMANDU, JARING.id – Walter Robinson adalah inspirasi. Setidaknya hal itu terlihat saat ia hadir dalam Asian Investigative Journalism Conference 2016 di Kathmandu, Nepal, 23-25 September 2016 yang dihelat Global Investigation Journalism Network (GIJN).
Di hadapan lebih dari 300 jurnalis dari berbagai media di Asia, mantan editor Spotlight—tim investigasi Boston Globe—tersebut mengatakan bahwa demokrasi tidak akan efektif tanpa adanya liputan-liputan mendalam dan tanpa adanya jurnalisme investigasi. “Jurnalisme investigasi adalah sinar yang berpendar dalam kegelapan,” katanya, Sabtu 24 September 2016.
Lelaki yang akrab dipanggil Robbie ini mengaku bukan jurnalis terbaik, meski deretan penghargaan jurnalistik, termasuk Pulitzer, telah ia terima karena kerja-kerja investigasinya. Ia lebih memilih menyebut dirinya sebagai jurnalis yang beruntung setelah seorang sutradara Hollywood mem-film-kan kerja investigasinya bersama tim Spotlight saat menelusuri kasus pelecehan seksual yang dilakukan pastor Katolik di Boston.
Di hadapan ratusan para jurnalis investigasi yang mendengarkan pidatonya dengan terkesima, Robbie justru menyatakan kekagumannya pada Martha Mendoza yang bersama timnya di Associated Press (AP) memenangkan Pulitzer tahun ini atas liputannya tentang perbudakan nelayan di Benjina, Kepulauan Aru, Indonesia.
Investigasi Mendoza dkk mengungkap bagaimana ribuan nelayan direkrut dari Thailand dan dibawa ke Indonesia dengan menggunakan dokumen perjalanan palsu. Mereka mendapat perlakuan sangat buruk dan diperbudak selama bertahun-tahun. Para nelayan tersebut dipekerjakan dalam industri makanan laut yang produknya dijual ke jaringan-jaringan besar di Amerika Serikat, seperti Wal-Mart, Sysco, Kroger, Fancy, Meow Mix dan Iams. Ikan hasil tangkapan juga diekspor ke Eropa. Gara-gara pemberitaan tersebut, April 2016 aparat Indonesia bergerak dan membebaskan lebih dari 2.000 nelayan.
Mendoza hadir dalam konferensi di Kathmandu dan saat Robbie menceritakan tentang ia, Mendoza berdiri tersipu. “You are in my mind,” ujar Robbie kepada Mendoza di hadapan ratusan jurnalis lainnya.
“Kalian semua adalah reporter Spotlight,” kata Robbie kemudian kepada ratusan jurnalis dari sekitar 50 negara yang hadir di ruangan itu. Robbie berpendapat, seluruh jurnalis investigasi digerakkan oleh energi, gairah, keberanian, antusiasme dan komitmen yang serupa. “Karena kalian selalu bertanya ‘ada apa’ di balik sesuatu,” ungkapnya.
Jurnalisme investigasi, menurut Robbie, punya kontribusi dalam efektivitas demokrasi karena jurnalis mampu membuat segala hal menjadi berbeda, mampu menggerakkan institusi dan berani mengambil risiko.
Robbie mengisahkan bagaimana pascapenayangan liputan investigasi tentang pelecehan seksual pastor-pastor di Boston, ia menerima banyak email dari berbagai belahan belahan dunia yang menceritakan bagaimana hal serupa terjadi di wilayah mereka. Email-email tersebut dikirim dari Afrika Selatan, India, Korea Selatan, hingga Italia. “Ada seorang lelaki berusia 72 tahun yang mengirimkan email dan mengisahkan bagaimana ia diperkosa pada usia 15 tahun,” tutur Robbie.
Jurnalisme investigasi, menurut Robbie, pada akhirnya adalah sebuah kebutuhan jika ingin melihat demokrasi bisa berjalan efektif. Jika ada perusahaan media yang masih berpikir bahwa jurnalisme investigasi adalah jurnalisme yang mahal karena membutuhkan ongkos produksi yang besar maka itu adalah pemikiran yang salah.
Robbie meminta para jurnalis dan media yang memiliki komitmen untuk kerja-kerja investigasi harus memiliki optimisme tentang masa depan jurnalisme investigasi. Tumbuhnya jurnalisme nirlaba, berkembangnya platform kolaborasi, dan makin banyaknya lembaga yang memiliki komitmen dalam pengembangan jurnalisme investigasi adalah angin segar dalam pertumbuhan jurnalisme investigasi.
Saat seorang peserta konferensi bertanya, apa yang masih menjadi mimpinya setelah apa yang ia lakukan sejauh ini, Robbie menjawab, “Aku ingin melihat bagaimana di masa depan akan banyak pihak yang mendanai pekerjaan (investigasi) yang kita lakukan,” ungkapnya.