Lembaga pegiat hak asasi mendesak kepolisian segera menangkap pelaku teror terhadap keluarga pengacara HAM, Veronica Koman. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengingatkan bahwa Negara wajib melindungi seluruh orang dari tindakan teror. “Apalagi orang tersebut tidak punya kaitan dengan pelanggaran hukum. Kami mendesak pemerintah dan polisi untuk bisa menemukan pelakunya dan mengajukan ke pengadilan,” ujarnya dalam siaran pers daring Senin, 8 November 2021.
Tindakan teror berupa ledakan yang berasal dari paket tersebut terjadi di rumah orang tua Veronica sekitar Pukul 10.45 WIB di kawasan Jakarta Barat pada Minggu, 7 November 2021. Pengiriman paket diduga dilakukan dua orang bersepeda motor. “Dua orang berkendara menggunakan motor. Pengendara motor menggunakan jaket ojek online,” ungkapnya.
Selain ledakan dan bungkusan cat berwarna merah yang pecah saat terjadi ledakan, secarik kertas juga ditemukan di rumah orang tua Veronica. Isinya bernada ancaman yang menyatakan bahwa Veronica akan dibumihanguskan jika polisi tidak dapat menangkapnya. “Serangan ini dilakukan terhadap kerja-kerja pengacara HAM. Veronica adalah anggota Peradi. Dia banyak mendampingi Papua,” ucapnya.
Veronica, 33 tahun, merupakan advokat publik yang kerap menyuarakan kemerdekaan Papua dan pelanggaran hak asasi sejak insiden penembakan di Paniai, Papua pada 8 Desember 2014. Saat itu, ada 5 warga sipil yang tewas di Lapangan Karel Gobai. Mereka ditembaki hanya karena meminta penjelasan atas penganiayaan warga yang terjadi sehari sebelumnya.
Menurut Usman, serangan di kediaman orang tua dari Veronica bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, dua orang yang juga mengendarai sepeda motor pernah menggantungkan bungkusan yang kemudian terbakar pada Minggu, 24 Oktober 2021. Kata dia, serangan ini telah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan nomor STTLP/B/5302/X/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA. “Polanya sama. Insiden pertama telah dilaporkan ke Polda Metro,” ungkap Usman.
Sementara itu, salah satu dari kerabat Veronica menerima bungkusan yang berisi bangkai ayam beserta secarik kertas bernada ancaman pada hari yang sama saat ledakan terjadi. “Barang siapa pun yang menyembunyikan Veronica Koman akan bernasib sama dengan bangkai ini,” begitu tulisan yang terdapat dalam bungkusan tersebut. Padahal menurut pengacara Veronica, Nelson Nikodemus Simamora, tidak ada satu pun dari keluarga yang menyembunyikan Veronica. “Tidak ada yang menyembunyikan. Stop mengaitkan aktivitas Vero, padangan politiknya. Advokasinya tidak ada hubungannya dengan keluarga,” tegasnya.
Nelson berujar, aksi teror terhadap Veronica sudah berlangsung sejak 2019. Saat itu, Veronica dituduh menyebarkan berita bohong alias hoaks terkait kasus rasisme di Surabaya, Jawa Timur. Veronica yang tengah berada di Australia ditetapkan tersangka dengan tuduhan penghasutan yang mengkibatkan aksi demonstrasi besar di Papua. Sementara paspornya dicabut.
Veronica dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 160 Kitab Hukum Pidana, serta Undang-Undang Penghapusan Diskriminatif Ras dan Etnis. Selama dua tahun belakangan, Veronica juga telah menghadapi pelbagai intimidasi dan tindakan rasial, serta ancaman pembunuhan dan pemerkosaan. Termasuk tekanan yang dilayangkan oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) ketika meminta Veronica untuk mengembalikan beasiswa sebesar lebih dari Rp 770 juta.
“Serangan dan teror ini tentu mengakibatkan trauma kepada orang tua Veronica Koman. Pada saat bersamaan, serangan dan teror ini juga mengakibatkan keresahan kepada warga yang menjadi tetangga mereka,” kata dia.
Dia yakin rangkaian teror terhadap keluarga Veronica dilakukan secara terencana. Sebab para pelaku, kata dia, terlihat sudah memetakan hubungan keluarga dan kekerabatan dari Veronica. “Dari mana dia tahu? Dia dengan santai melempar bahan peledak, menaruh sesuatu yang mudah terbakar,” ujar Nelson.
Ketua Dewan Pengawas Public Virtue Research Institute, Tamrin Amal Tomagola yang juga menjadi salah satu narasumber dalam konferensi pers secara daring kemarin, Senin, 8 November 2021, juga menyoroti perihal kerahasiaan data penduduk dalam kasus penyerangan keluarga Veronica. “Ada kerentanan akses ke data pribadi. Ada banyak kepentingan sektoral yang bermain. Kita berharap Jokowi, mengambil komando secara tunggal. Tapi kalau lihat kasus KPK, kelihatannya sukar berharap adanya komando yang tunggal,” ungkap Tamrin.
Sosiolog dari Universitas Indonesia ini meminta agar kepolisian segera menangkap pelaku dan dalang kejahatan tersebut. Serangan terhadap keluarga Veronica tak ubahnya serangan yang merendahkan wibawa Negara dalam menunaikan amanat konstitusi. Negara wajib melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
“Kita harus tahu ada perbedaan yang tegas antara orang dan warga negara. Orang menunjuk latar belakang budaya. Tetapi warga negara itu menunjuk status hukum yang bersangkutan. Sehingga apa pun latar belakangnya dia adalah warga negara yang sah harus dilindungi,” jelasnya. Tamrin berharap kepolisian bisa mengembalikan wibawa Negara dengan cara menuntaskan kasus penyerangan terhadap pembela HAM ini.
Hingga saat ini, pihak kepolisian belum dapat menyimpulan motif dari penyerangan terhadap rumah keluarga Veronica. Dugaan sementara ledakan berasal dari petasan.
Terkait hal ini, Kepala Divisi Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban tindak Kekerasan (Kontras), Andi Muhammad Rezaldy mendorong agar polisi menggunakan metode pembuktian secara ilmiah untuk mengungkap dalang dari aksi penyerangan ini. Polisi, menurutnya, bisa mendalami data terkait transaksi pemesanan ojek online maupun call data record yang berlangsung di sekitar lokasi penyerangan. “Jangan sampai terjadi abuse of process,” ujarnya. Andi tidak ingin, pengusutan kasus serangan terhadap keluarga Veronica bernasib sama dengan kasus lain yang melibatkan aktivis.
Dalam catatan Kontras, setidaknya terjadi lebih dari 100 serangan terhadap aktivis pembela HAM. Salah satu kasus yang sampai saat ini masih mandek ialah pengusutan kasus pembakaran rumah dan mobil Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB) Murdani pada Januari 2019. “Dari beberapa kasus tersebut, kami menilai seringkali kasus mengalami stagnasi. Tidak ada kemauan yang begitu kuat untuk mengungkap. Padahal sarana dan prasarana aparat itu mampu,” ungkap Andi.
Komisioner Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Theresia Iswarini mengatakan aktivis perempuan lebih rentan akan tindakan kekerasan. Komnas Perempuan mendapati pola kekerasan dan intimidasi yang menimpa aktivis perempuan diarahkan ke keluarga. “Ini indikasi teror yang dialami Veronica berkorelasi dengan aktivitasnya,” kata Theresia.
Sementara itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan akan berkomunikasi dengan Veronica dan keluarganya ihwal perlindungan. Ketua LPSK Hasto Atmojo Suryo menganggap serangan terhadap pembela HAM sebagai bentuk intimidasi. Lembaganya, kata dia, siap memberikan perlindungan kepada saksi dan korban tindak pidana, termasuk bagi pihak keluarga Veronica yang menjadi target serangan atau teror dari pihak tertentu. “Sebab negara melalui LPSK menyiapkan mekanisme perlindungan bagi mereka yang menjadi saksi dan korban kejahatan,” kata Hasto dalam siaran pers, Senin, 8 November 2021. (Damar Fery Ardiyan)