Tragedi Santa Cruz: Peluru di Paru-paru dan Pencarian Para Pahlawan

Peristiwa Santa Cruz yang terjadi pada 12 November 1991 masih menyisakan banyak hal. Dari 200 lebih korban tewas, banyak jasadnya yang belum ditemukan sampai sekarang. Ada juga peluru yang masih tertanam di tubuh korban, menyisakan sakit berkepanjangan.


Dor…dor…dor..

Ratusan orang tunggang-langgang. Mereka kocar-kacir, berlarian hilang arah, berpacu dengan amukan senjata milik aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ribut teriakan perlahan menghilang, dilumat desing peluru yang bersarang di kaki, dada, hingga kepala.

Januario de Jesus menyaksikan beberapa rekannya ambruk. Ia memanjat dan melewati tembok permakaman Santa Cruz setinggi 3 meter untuk mencari tempat berlindung. Segera setelah kakinya menjejak tanah, dingin menjalari sekujur tubuhnya.

Pria berambut ikal tersebut mengarahkan telunjuknya ke belakang dan menyadari ada lubang di punggungnya. Jarinya basah oleh campuran lumpur dan darah. ”Saya kena tembak di belakang. Saya masih bisa jalan lalu saya merayap,” ujarnya kepada Jaring.id.

Detail tragedi Santa Cruz masih bisa diingat Januario meski sudah berlangsung lebih dari tiga puluh tahun lalu. Dua pekan sebelum peristiwa berdarah tersebut, tepatnya pada 28 Oktober 1991, sekelompok aparat mendatangi beberapa pemuda yang sedang nongkrong. Cekcok kemudian terjadi dan menewaskan seorang aparat dan seorang pemuda Timor Timur bernama Sebastiao Gomes.

Ribuan orang memperingati kematian tersebut dengan mengikuti misa arwah pada pagi hari 12 November 1991. Seusai misa, ratusan massa bergerak ke permakaman Santa Cruz, tempat jasad Sebastiao disemayamkan. Mereka menuntut pemisahan diri dari Indonesia sembari membawa poster, spanduk, dan bendera Timor Leste. Rupanya, ratusan tentara sudah menunggu di sekitar kompleks permakaman.

”Kami awalnya yakin TNI tidak akan menembak. Kalau ada penembakan pasti ada efek (buruk) ke pemerintah Indonesia,” terang Januario.

 

***

 

Patung Sebastião Gomes jadi salah satu pengingat tragedi Santa Cruz di Timor Leste (sumber: José Fernando Real, Wikimedia)
Patung Sebastião Gomes jadi salah satu pengingat tragedi Santa Cruz di Timor Leste (sumber: José Fernando Real, Wikimedia)

Pekuburan Santa Cruz yang semula bakal jadi titik akhir peringatan kematian Sebastiao, beralih jadi ladang pembantaian. Ratusan demonstan berusaha lari dari kejaran peluru, melompati pagar kompleks permakaman untuk mencari tempat berlindung. Ada juga yang menyerbu pintu masuk pekuburan hingga ambruk.

Mereka yang bertahan, berkumpul di altar doa yang terletak di tengah kompleks pekuburan. ”Saya sudah mau mati. Semua berkumpul di dalam Makam Santa Cruz,” kenang Januario.

Berusaha memupus ketakutan dengan harapan, lantunan doa terlantun dari bibir yang bergetar. Namun, teriakan histeris kembali terdengar ketika prajurit TNI masuk dan menyisir kompleks permakaman. Para demonstran diangkut dengan menggunakan truk, termasuk Januario, menuju Rumah Sakit TNI Wira Husada.

Di sana, aparat menyemprotkan air lewat selang untuk membersihkan tubuh-tubuh yang terluka. Luka kemudian dibasuh cairan antiseptik. Di tengah rasa sakit dan ketakutan, mereka diminta menyebutkan nama beserta alamat. Aparat mencatatnya.

Kisah Januario adalah sekeping cerita dari tragedi yang dikenal sebagai Peristiwa Santa Cruz. Ada juga yang menyebutnya sebagai pembantaian Dili. Lebih dari 200 orang orang diyakini tewas dalam peristiwa tersebut. Lewat video yang direkam Max Stahl dan diselundupkan ke Australia, masyarakat internasional bisa mengetahui detail kengerian peristiwa ini.

Bagi Januario, tragedi Santa Cruz tak hanya meninggalkan memori buruk tetapi juga rasa sakit yang tak kunjung hilang. Saat ini, tiga peluru masih bersarang di badannya dan satu sudah menyatu dengan paru-paru. ”Jadi ada empat peluru masih menempel di badan saya,” katanya.

Organisasi veteran Timor Leste sempat menyarankannya untuk berobat ke rumah sakit di Jakarta. ”Dokter spesialis bilang ada satu biji masuk paru-paru. Kalau mau diambil harus operasi pembelahan paru-paru,” terangnya.

Setelah berkonsultasi dengan istrinya, Januario memutuskan membiarkan peluru tetap berada di tubuhnya. Lantaran itu ia kerap merasakan sakit ketika cuaca dingin. Terkadang sekujur tubuhnya mati rasa. ”Biarkan saja sudah. Kalau mati ini akan jadi kenang-kenangan,” ujarnya.  

 

***

 

Dalam ingatan Apolinario Magno, Tragedi Santa Cruz adalah kesunyian. ”Saat pembantaian itu situasi hening karena ketakutan. Anjing pun tak menggonggong,” ujarnya saat ditemui di makam Santa Cruz, Rabu, 10 Mei 2023 lalu.

Setelah memberondong massa dengan senapan, ingat Magno, aparat TNI menyeret tubuh-tubuh tak bernyawa dan mengangkutnya dengan truk tentara. Selepas itu, mobil pemadam kebakaran menyapu darah di sepanjang jalan Permakaman Santa Cruz.

Magno tak tahu pasti kemana ratusan jenazah itu dibawa. Beberapa korban pembantaian Santa Cruz mencoba mencari keberadaannya.

Dari beberapa lokasi yang diduga merupakan lokasi kuburan massal, identifikasi baru berhasil dilakukan di Hera. Ahli forensik asal Australia menemukan sebanyak 16 kerangka manusia di lokasi tersebut pada 2009, 3 diantaranya telah diidentifikasi. ”Setelah ditemukan, kami bawa pulang (untuk) dimakamkan secara kultural. Ada juga yang langsung bawa ke taman makam pahlawan,” ujar Magno.

Sebelumnya pada 25 November 1999 Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) dibentuk oleh Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Mereka menitikberatkan penyelidikan pada sejumlah insiden kekerasan yang terjadi sejak April hingga September 1999, termasuk insiden Pembantaian di Gereja Suai.

KPP HAM menemukan 26 jenazah di Pantai Metamauk di Malaka yang letaknya hanya beberapa kilometer dari perbatasan Indonesia dan Timor Timur. Jenazah terdiri dari 16 laki-laki, delapan Perempuan, dan dua lainnya tidak dikenali jenis kelaminnya. Usia mereka berkisar lima hingga 40 tahun.

Bagi Magno dan organisasi korban peristiwa Santa Cruz, mereka adalah pahlawan kemerdekaan Timor Leste. ”Kami masih mencarinya (jenazahnya) sampai saat ini,” tegasnya.


Catatan redaksi: Januario de Jesus meninggal dua bulan setelah kami mewawancarainya. Gangguan pernafasan akibat peluru yang masih tertanam di paru-parunya diduga menjadi penyebab kematian.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.