Tiga Zanambani di Tangan TNI

Lebih dari 8 bulan nama Apinus dan Luther tercantum dalam selebaran informasi orang hilang. Keterangan terkait fisik keduanya tertera pada kertas berukuran A3 yang tertempel di area publik sepanjang Jalan Supaga, Kabupaten Intan Jaya, Papua. “Keluarga menuliskan ciri-cirinya dan menempel foto. Sekarang masih terus mencari,” kata Agium, bukan nama sebenarnya, kepada Jaring.id melalui sambungan telepon pada Kamis, 12 November 2020 lalu.

Apinus dan Luther ialah pemuda berusia 22 dan 23 tahun. Mereka berasal dari fam Zanambani—salah satu marga di Papua yang juga menjadi nama belakang Pendeta Yeremia, Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Hitadipa di Intan Jaya. Pada Sabtu sore, 19 September 2020 lalu, Pendeta Yeremia ditemukan tewas. Ia diduga dibunuh oleh pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sedangkan dua kemenakannya lebih dulu raib sejak 21 April 2020.

Sebelum Pendeta Yeremia tewas, menurut Agium, ia sempat mempertanyakan keberadaan Apinus dan Luther kepada petugas di Koramil Sugapa. Pendeta Yeremia mendapat kabar bahwa keduanya dibawa sejumlah anggota Yonif Rider 433 JS Kostrad wilayah Komando Distrik Militer (Kodim) Paniai ketika tengah berada di Jalan Sugapa. Para prajurit disebut mengenakan pakaian dinas lengkap, rompi antipeluru, helm, dan menenteng senjata api laras panjang. “Jarak penangkapan dari pos tentara sekitar 200 meter. Mereka antar pakai jalan saja,” ujar Agium mengulang kesaksian dua orang melihat penangkapan Apinus dan Luther.

[irp posts=”9441″ name=”Satu Nyawa, Ribuan Pengungsi”]

Namun, saat itu Pendeta Yeremia tak berhasil membawa pulang kemenakannya. Sejumlah personel TNI yang ditanya pun bergeming. “Kalau dia masih hidup, posisi mereka ada di mana biar keluarga cari. Kalau mati kubur di mana?” tanya Pendeta Yeremia seperti ditirukan Agium.

Dua minggu berselang, Komandan Kodim Nabire, Letkol Inf. Benny Wahyudi memanggil keluarga Zanambani ke Koramil Sugapa. Agium adalah salah satu dari 15 orang yang menemui Benny. Dari pertemuan sekitar 30 menit tersebut, Benny mengakui bahwa pihaknya yang menangkap Apinus dan Luther. Keduanya ditangkap lantaran tidak membawa kartu tanda penduduk (KTP) dan tidak jujur menyebut nama, sehingga dicurigai sebagai bagian dari kelompok kriminal bersenjata (KKB). “Dandim menjelaskan penangkapan dari pihak kesatuannya,” ungkap Agium.

Meski begitu, TNI mengklaim telah melepas keduanya di hari yang sama sekitar Pukul 18.30 WITA. Sejak itu keduanya tidak pernah kembali. “Kami punya kesimpulan, mereka sudah tidak hidup,” kata Agium kepada Jaring.id.

Mulai akhir November lalu Jaring.id mencoba untuk mengonfirmasi kabar hilangnya dua orang dari keluarga Zanambani. Panggilan telepon maupun pesan singkat yang dilayangkan kepada TNI Angkatan Darat dan Kapuspen TNI, Mayjen Achmad Riad belum berbalas.

 

***

 

Kabut yang menyelubungi keberadaan Apinus dan Luther mulai terang setelah Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat (Danpuspomad), Letjen Dodik Widjanarko menyingkap kasus tersebut pada Rabu, 23 Desember 2020 atau 8 bulan setelah mereka menghilang. Jebolan Akademi Militer pada 1985 ini memastikan tentara yang berada di balik pembunuhan keduanya. “Satuan Batalyon Para Raider 433 JS Kostrad saat melaksanakan sweeping. Dicurigai sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata atau KKB, selanjutnya dilakukan interogasi terhadap dua orang tersebut di Koramil Sugapa Kodim Paniai,” ungkap Dodik dalam keterangan pers yang disampaikan di Gedung Puspom AD Jakarta, Rabu, 23 Desember 2020.

[irp posts=”9505″ name=”Operasi Jelang Hajat Demokrasi”]

Dalam proses interogasi itu lah tentara menyiksa kedunya hingga nyawa Apinus melayang. Sementara Luther kritis sebelum meregang nyawa di dalam truk kuning bernomor polisi B9745PGD saat hendak dibawa ke Komando Taktis (Kotis) Yonif PR 433 JS. “Di tengah perjalanan Luther Zanambani meninggal dunia,” ujar Dodik.

Untuk menghapus jejak kekerasan dan pembunuhan tersebut, anggota TNI lantas membakar tubuh Apinus dan Luther sebelum mengalirkan abunya ke Sungai Julai, Hitadipa.

Puspomad telah memeriksa 19 prajurit TNI AD, termasuk keluarga Zanambani. Di antaranya Enius Zanambani dan Jaya Zanambani. Dari pemeriksaan tersebut Mapuspomad menetapkan 9 prajurit sebagai tersangka. Mereka adalah Mayor Inf ML dan Sertu FTP yang bertugas di Kodim Paniai. Sementara sisanya merupakan anggota Yonif Pararider 433 JS Kostrad yakni, Mayor Inf YAS, Lettu Inf JMTS, Serka B, Sertu OSK, Sertu MS, Serda PG dan Kopda MAY.

Mereka terancam hukuman pidana 12 tahun karena telah melanggar Pasal 170 (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, Mapuspomad juga menjerat para tersangka dengan Pasal 351 (3), Pasal 55 (1), Pasal 181 KUHP dan Pasal 132 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer. “Akan diproses secara transparan, tuntas dan tidak ada yang ditutup-tutupi,” kata Dodik.

[irp posts=”4748″ name=”Papua dalam Kicauan Parpol”]

Keluarga Zanambani melalui kuasa hukumnya, Yohanis Mambrasar berharap kasus pembunuhan Apinus dan Luther dibawa ke Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) adhoc. Menurutnya, kasus hukum berupa penyekapan, penyiksaan, pembunuhan dan upaya menyembunyikan kasus sudah masuk kejahatan kemanusiaan. Selain menyebabkan kematian, kata dia, operasi militer di Papua telah mengakibatkan ketakutan massal, sehingga tidak sedikit dari warga yang mengungsi.

Hal ini penting dilakukan mengingat penyelesaian kasus di Peradilan Militer cenderung tertutup. Merujuk catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) sepanjang tahun 2020, setidaknya dari 196 kasus yang berhasil masuk Pengadilan Militer, hanya 114 tindak pidana umum yang diadili oleh Pengadilan Militer. Kasus tersebut mulai dari narkoba, penipuan, penggelapan, KDRT, kesusilaan dan lainnya dengan sanksi mayoritas di bawah satu tahun.

“Proses hukumnya tidak akan menyentuh semua pelaku, dan juga mengungkit peristiwanya secara terang benderang dan benar,” kata Yohanis dalam keterangan rilis yang diterima oleh Jaring.id, Rabu, 23 Desember 2020.

Yonais merujuk Pasal 9 Junto Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam UU ini disebutkan bahwa Pengadilan HAM dapat digelar ketika terjadi kekerasan pembunuhan secara sistematis dan meluas. “Indonesia telah memiliki instrumen hukum untuk memproses hukum kasus-kasus ini. Mestinya negara menaati hukumnya dengan mendorong kasus-kasus ini diselesaikan di Pengadilan HAM,” ujar Yohanis.

[irp posts=”6869″ name=”Papua Tak Siap Hadapi Lonjakan Pasien Corona”]

Senada dengan Yohanis, Direktur Eksekutif Amnesty International di Indonesia, Usman Hamid mendesak agar TNI tunduk pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 65 UU tersebut memungkinkan peradilan dilakukan di luar pengadilan militer.

“Impunitas di kalangan anggota militer harus disudahi. Jika mereka bersikukuh menggunakan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 yang dibuat pada masa Orde Baru, itu sama saja dengan melanjutkan sistem lama yang selama ini menjadi mekanisme impunitas.” kata Usman Hamid dalam keterangan pers yang diterima Jaring.id Kamis, 24 Desember 2020.

Amnesty International menyesalkan tindakan di luar hukum yang dilakukan TNI di Papua. Menurut Usman, TNI tidak bisa mendasarkan penangkapan dan penahanan seseorang hanya pada kecurigaan tanpa bukti permulaan yang cukup. Tindakan hukum perlu bertolok pada aturan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

Sepanjang 2020 Amnesty mencatat 20 kasus pembunuhan di luar hukum di Papua. Di Intan Jaya sendiri sedikitnya ada empat kasus, antara lain pembakaran rumah Dinas Kesehatan di Hitadipa, hilangnya dua orang bernama Luther Zanambani dan Apinus Zanambani, kekerasan dan pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani dan penembakan Gembala Gereja Katolik di sekitar Bandara Sugapa. Amnesty meminta agar pemerintah serius menuntaskan pelanggaran HAM di wilayah Timur Indonesia. “Sudah lama keluarga dari korban pelanggaran hak asasi manusia di Papua menanti keadilan,” ujarnya.

Amnesty mendesak agar pemerintah melakukan rehabilitasi maupun pemulihan hak-hak keluarga korban selama proses penyidikan, peradilan, hingga keluarga mendapatkan jaminan pemulihan dan keselamatan, “Serta menjamin bahwa itu tidak terulang kembali.” kata Usman.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi memastikan lembaganya akan mendampingi keluarga korban dalam proses hukum. Menurutnya, keluarga korban masih takut dan trauma. Mereka juga kurang percaya dengan proses hukum yang dilakukan saat ini. “Kita putuskan memberikan perlindungan kepada korban dan saksi,” kata Edwin saat dihubungi Jaring.id melalui telepon, Jum’at, 25 Desember 2020. (Abdus Somad)

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.