Tiga Hari Penuh Prasangka

 

Penuh syak wasangka dan keengganan. Dua hal itu yang saya rasa menyeruak lalu memenuhi setiap sudut ruangan 50×50 meter. Sebanyak 16 orang muslim dan 12 pemeluk Kristen berkumpul untuk mengikuti kemah lintas iman yang dihelat Young Interfaith Peacemaker Community. Ditajuk Student Interfaith Peace Camp, acara ini berlangsung di Surabaya, 18-20 Oktober 2019.

Seorang peserta dengan rosario menjuntai di dada duduk berdekatan dengan rekan Kristennya di satu sisi. Di sisi lainnya, seorang perempuan berjilbab memilih duduk bersisian lengan dengan rekan Muslimnya. Formasi tersebut terjadi alamiah, tanpa perintah.

Kondisi macam itu, menurut Ketua Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Jawa Timur Faiz Miftahul Huda, terus berulang saban kemah lintas iman dilaksanakan. Peserta memilih duduk berdekatan dengan peserta lain yang seagama.

Mendapat penjelasan tersebut, saya mencoba menyusuri mata para peserta, menerka isi kepala mereka. Namun, perhatian segera teralih ketika seorang peserta berdiri sambil tersipu. Dengan gugup ia membuka sesi perkenalan.

“Saya Jody Fernando Ongkres, dari Ambon, saya Kristen,” ujarnya.

Ini kali pertama Jody berkumpul bersama pemeluk agama lain dalam satu ruangan. Keengganan bergaul dengan pemeluk Islam terbentuk oleh pengalaman masa kecilnya. Dua puluh tahun lalu, ketika umur Jody belum genap sepuluh, konflik berbalut agama membakar kampung halamannya.

Tak ingin anaknya menjadi korban, orangtua Jody memboyongnya ke Sulawesi, lalu pindah ke Bali. Lanjut ke Jakarta hingga berakhir di Surabaya. Namun, pergi menyeberang pulau tak mampu menghapus memori konflik yang kadung terekam di kepala. Gambaran kekerasan niscaya bangkit jika bebunyian tiang listrik dipukul menghampiri gendang telinganya.

“Di sana (Ambon-red), benar-benar ada bunyi tiang listrik (sebagai tanda-red) lari menyelamatan nyawa. Dari situ (muncul-red) trauma,” terangnya.

Kerusuhan Ambon yang terjadi di penghujung 1990-an, menurut Jody, membuatnya sulit membayangkan masyarakat yang berbeda agama hidup damai berdampingan.

***

Liana Lukita Puri, Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa), punya pengalaman berbeda. Ia terbiasa hidup dengan keberagaman lantaran tumbuh besar di keluarga yang majemuk. Keberagaman dihargai dengan saling menjaga.

“Saya sebagai muslim nggak boleh makan babi. Ketika mereka (anggota keluarga lain-red) dapat makanan dari gereja, mereka memastikan tak mengandung sesuatu yang tidak dibolehkan Islam,” bebernya.

Berbekal informasi dari kakaknya yang beragama Kristen, Liana mencoba turut serta kemah lintas iman. Perempuan berjilbab tersebut membayangkan kegiatan ini bakal diisi dengan pembahasan mengenai persamaan persepsi antara Islam dan Kristen.

Perkiraannya meleset. Selepas perkenalan, ia diminta berkelompok dengan peserta sesama Islam. Peserta Kristen dapat perlakukan serupa. Mereka lalu diminta menuliskan prasangka soal agama lain dalam selembar karton putih berukuran A0.

Meski lahir dan besar dalam keluarga berbeda agama, Liana rupanya masih memendam prasangka. Bersama peserta Muslim lainnya, ia mempertanyakan soal rutinitas ke gereja umat Kristiani yang kelewat jarang jika dibandingkan dengan perintah salat lima waktu dalam Islam. Konsep trinitas pun tak luput dipertanyakan.

Sementara itu, peserta Kristen mempertanyakan ajaran Islam yang memperbolehkan poligami dan perintah berjihad.

Keterusterangan yang muncul lewat geliang pena mengejutkan saya. Belum lagi celetukan-celetukan yang menyisip di sela aktivitas menulis prasangka.

“Kafir,” tukasan seorang peserta dari kelompok Kristen terdengar lantang.

Karton prasangka kemudian ditempel di dinding ruangan. Saya membacanya satu per satu sambil diliputi rasa muram. Tiga hari ke depan sudut-sudut ruangan ini bakal disesaki prasangka soal agama lain.

Namun, prasangka nyatanya tak dibiarkan berkembang-biak. Sesi menuliskan prasangka dilanjut dengan sesi klarifikasi. Para peserta diminta untuk menjelaskan soal prasangka mengenai agama mereka yang ditudingkan peserta dari agama lain.

Penjelasan bersambut pertanyaan lanjutan, terus menggelinding hingga matahari lingsir. Liana yang saya temui selepas sesi klarifikasi mengaku takjub dengan metode tersebut. Mengubah paradigma berpikir seseorang, menurutnya, bukan perkara mudah. Namun, itu bisa diusahakan dengan mengutarakan prasangka secara terbuka dan membuka diri untuk menerima pandangan orang lain.

Liana berjanji tidak akan berhenti belajar memahami agama lain. Dengan suara mantap ia bilang “,Saya ingin belajar lagi memahami agama lain.”

***

Adzan Subuh belum terdengar kumandangnya ketika pintu kamar berkali-kali diketuk kencang. Para peserta lekas terjaga meski beberapa dari mereka, termasuk saya, hanya sempat tidur tak lebih dari tiga jam. Beberapa peserta Muslim gegas menunaikan salat subuh selepas azan menyeru, sementara peserta Kristen melingkar dan membaca doa tak jauh dari tempat tidur peserta.

Acara hari kedua dimulai dengan scriptural reasoning. Seumur hidup, tak pernah sekalipun saya menyaksikan kitab dari dua agama berbeda dibacakan dalam satu forum. Tabu, istilahnya. Gambaran soal perdebatan alot yang bakal muncul karena setiap orang memegang keyakinannya masing-masing lekas membayang.

Peserta dibagi dalam lima kelompok dan didampingi seorang fasilitator. Berbeda dengan kemarin, hari ini peserta berbeda agama diharuskan berbaur.

Saya memilih sekelompok dengan Jody, peserta dari Ambon. Lamat suaranya membacakan beberapa ayat Injil yang mewartakan kebaikan mulai terdengar. Sementara yang lain khusyuk menyimak meski kantuk masih betah menggelayuti kelopak mata.

Ganti Jody menyimak ketika seorang peserta Muslim melantunkan ayat Al-Quran. Seutas senyum mengembang di bibirnya. Ia kemudian diminta untuk membaca arti dari ayat tersebut.

Sesi scriptural reasoning diisi dengan membaca beberapa ayat dari Injil dan Al-Quran yang mengajarkan kebaikan, peduli, dan tolong-menolong. Peserta kemudian diminta mendiskusikan nilai-nilai kebaikan tanpa hasrat mempertandingkan mana yang paling benar.

Jody mulai paham bahwa ajaran kebaikan yang dibawa Muhammad SAW senafas dengan ajaran Kristiani. Para peserta muslim mengangguk mengiyakan.

“Perbedaan itu indah, bagaimana kita bisa mencari kesamaan untuk mendekatkan, bukan membeda-bedakan yang dapat menjauhkan,” kata Jody dengan senyum paginya.

***

Suara kicauan burung gereja yang saling bersahut membangunkan saya pada hari ketiga kemah lintas iman. Di luar kamar, para peserta bersiap diri menyambut sesi. Semuanya mengenakan pakaian berkelir hijau bertulis damai dalam tiga bahasa, “ Salam, Peace, Shalom”.

Pagi itu tampak lebih meriah. Peserta ramai berbincang saat beranjak dari kamar menuju ruang kegiatan. Jody dan Liana berjalan beriring sembari membicarakan sesuatu yang tidak begitu terdengar jelas. Namun, air muka mereka meneduhkan pagi saya.

Sesampainya di ruangan,  peserta membentuk lingkaran. Tanpa perbedaan agama mereka diminta bergandengan tangan satu sama lain sambil merenungkan prasangka yang masih tersisa.

Selang beberapa menit lampu dimatikan. Mata saya tak mampu menangkap apapun, hanya genggaman tangan rekan yang terasa semakin erat. Suara seorang fasilitator membacakan renungan mulai memecah senyap.

Di sela renungan, isak yang entah datang dari siapa memecah sunyi. Tangisan mengeras seiring renungan yang terus diucap.

Pikiran saya melayang pada kekerasan antar agama semasa tinggal di Yogyakarta beberapa tahun lalu. Bayangan perempuan menangis saat salib di makam suaminya dipotong diam-diam, penolakan tempat ibadah Kristen, pemaksaan jilbab di sekolah, penyerangan gereja, hingga pembubaran pondok pesantren untuk waria berseliweran di kepala.

Sulit menahan diri, pelupuk mata saya perlahan membasah. Pandangan jadi berbayang ketika lampu dinyalakan. Genggaman tangan rekan mulai mengendur dan dilepas. Satu-satu peserta mengangkat dagu, saling menatap dalam diam.

Seorang fasilitator menyisip di tengah lingkaran. Ia meminta para peserta untuk menyampaikan maaf lantaran memupuk prasangka soal agama lain.

Tetiba Prilly Arista, peserta beragama Kristen buka suara. Ia memberanikan diri menceritakan rasa pahit yang dialami semasa sekolah. Ketika itu, salah satu gurunya enggan menerima jabat tangannya dan hanya mau menerima salam dari murid seagama.

Saya berang mendengar penuturan itu, tetapi Liana tidak. Sambil menahan tangis, ia justru meminta maaf kepada Prilly lantaran umat seagamanya bersikap diskriminatif. Kebesaran hati Liana bersambut pelukan Prilly.

Di pengujung kegiatan, saya menemui Jody untuk terakhir kalinya. Kami berjabat tangan, berpelukan menyampaikan pesan mendalam perihal perbedaan.

“Aku mencari kegiatan seperti ini. Ada rindu buat memupuk keberagaman,” utas Jody.

Sore itu, Minggu 20 Oktober 2019, tumpukan prasangka dipupus oleh permintaan maaf dan sebuah pelukan.


*Liputan ini hasil reportase kolaboratif yang melibatkan wartawan Pikiran Rakyat Tri Joko Her Riadi, Abdus Somad dan Kholikul Alim dari JARING (Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi), serta Ivany Atina Arbi dari Jakarta Post.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.