Tergusur “Ratu Belanda” di Perairan Spermonde

Enam jam mengarungi perairan laut Pulau Kodingareng, Sangkarrang, Makassar pada Minggu, 23 Agustus 2020, Iwan (36) tak kunjung mendapat ikan. Padahal lokasi tersebut merupakan zona tangkap yang sering didatangi nelayan setempat. Putus asa dengan situasi tersebut, ia memutar haluan mencari wilayah tangkap lain.

Di tengah perjalanan ia terhenyak melihat kapal Queen of the Netherlands kembali beroperasi menyedot pasir laut hingga membikin air laut keruh. Ikan-ikan yang biasanya tampak dari permukaan air perlahan menghilang.

Kondisi tersebut dihadapi para nelayan Kodingareng, Kepulauan Sangkarrang, Makassar sejak penambangan pasir beroperasi pada 12 Desember 2019. Tangkapan Iwan dan nelayan lain tak lagi melimpah. Jangankan tenggiri, cumi saja susah ia peroleh. Padahal, biasanya ia kerap membawa sejumlah tenggiri yang kalau dirupiahkan senilai Rp 2-3 juta.

“Ini bukan bohong ki,” ujar Iwan yang mengaku sudah merugi selama 8 bulan terakhir.

Kepada Jaring.id, Iwan menyatakan kalau tidak lagi bisa membeli bensin untuk melaut. Sedangkan di rumah, ia harus menghidupi isteri dan seorang anak.

“Bahkan perhiasan harus digadaikan untuk bisa makan. Mau kerja apa ki pak? Masa depan anak bagaimana ta?” ungkap Iwan tersedu menceritakan hidupnya kini.

 

Selain Iwan, ruang hidup Suhadi (36) pun ikut tergusur. Alih-alih bikin sejahtera, menurutnya, penambangan pasir demi proyek strategis nasional Makassar New Port (MNP) yang makan biaya triliunan rupiah justru membikinnya was-was.

“Gelisahan itu kalau musim barat (musim hujan) ombak akan semakin besar. Ketakutannya tempat pencaharian di Copong besar dan Copong kecil sampai Bone Pate jadi rusak,” kata Suhadi kepada Jaring.id, Selasa, 25 Agustus 2020.

Sementara Risdawati (31), seorang ibu rumah tangga, tersedu saat menceritakan kisah pilu di tanah kelahiranya sendiri. Meski tambang pasir dilakukan di tengah laut, dampak buruknya justru terjadi di daratan. Pasalnya hampir 90 persen penduduk di Pulau Kodingareng bekerja sebagai nelayan.

“Di sini ada 2000 penduduk,” ujarnya kepada Jaring.id, Selasa, 25 Agustus 2020.

Keterpurukan itu coba Risdawati suarakan bersama ibu-ibu Kodingareng dengan menemui Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah pada 13 Agustus 2020 lalu. Mereka menuntut agar gubernur mencabut ijin penambangan pasir laut.

“Kita tidak pernah dilibatkan rapat, sosialisasi tentang tambang pasir. Pak gubernur selalu janji terus, dua kali didatangi ke kantor tapi tidak mau datang,” ujar Risdawati.

Hingga Selasa, 1 September 2020, Jaring.id mencoba menghubungi Gubernur Nurdin, baik melalui sambungan telepon maupun meninggalkan pesan lewat WhatsApp. Namun, yang bersangkutan tidak menjawab.

Ruang Hidup Terancam

Protes terhadap penambangan pasir pada Minggu, 23 Agustus lalu bukan kali pertama dilakukan nelayan di perairan Spermonde, Makassar, Sulawesi Selatan. Perjuangan mempertahankan ruang hidup tersebut sudah dilakukan para nelayan sejak Februari.

Sedikitnya lima kali mereka melancarkan aksi guna menuntut perusahaan untuk menghentikan perusakan ekosistem laut. Sebagai informasi proyek reklamasi pembangunan dermaga baru Makassar (MNP), melibatkan PT Pelindo IV selaku pemilik proyek, PT Banteng Laut Indonesia sebagai pemilik konsensi, dan PT Royal Boskalis yang merupakan kontraktor tambang.

“Mereka mau ganggu. Warga berkumpul untuk usir ternyata (mereka) tidak mau pulang,” Iwan, nelayan Kodingareng, menceritakan kepada Jaring.id saat dihubungi melalui telepon, Selasa, 25 Agustus 2020.

Menurut Iwan, masyarakat dan perusahaan pemegang izin usaha penambangan (IUP), yakni PT Banteng Laut Indonesia sebetulnya sudah sempat beraudiensi di Baruga Kelurahan Kodingareng Lompo pada 8 Juli lalu. Dalam rapat yang turut dihadiri Polairud Polda Sulsel dan pemda setempat tersebut, para nelayan meminta agar perusahaan menandatangani kesepakatan bersama untuk menghentikan penambangan pasir laut. Namun, perusahaan tidak bersedia menandatangani tuntutan tersebut.

Oleh karena itu, masyarakat nelayan meminta Boskalis berhenti menambang sebelum tercapainya kesepakatan bersama. Selang seminggu setelah pertemuan tersebut, tepatnya pada 15 Juli 2020, kapal perusahaan Belanda tersebut kembali menguras pasir laut. Nelayan yang geram akhirnya ramai-ramai berusaha untuk mengusir kapal tersebut dari wilayah penangkapan ikan pada Minggu, 23 Agustus 2020.

View this post on Instagram

Gubernur belum Bersikap, ASP aksi Lagi Tuntut Hentikan Reklamasi MNP dan Cabut Tambang Pasir Laut Aliansi Selamatkan Pesisir kembali melayangkan tuntutan dengan melakukan aski damai di depan PT. Pelindo IV sore ini, 26 Agustus 2020. ASP melakukan aksi dikarenakan penolakan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan dan perempuan pesisir tidak pernah di respon baik oleh Gubernur sulsel. Roy selaku Jendlap aksi ASP menyatakan, Nelayan dan perempuan pesisir sudah berulangkali melakukan aksi, dimulai dari aksi laut hingga mendatangi kantor Gubernur untuk menemui Pak Nurdin Abdullah, tapi beliau tidak pernah mau mendengar dan menemui masyarakatnya. “Kami akan terus menyuarakan masalah ini, menghentikan Reklamasi MNP, menuntut cabut izin tambang pasir dan mengecam kriminalisasi nelayan karna inilah tuntutan masyarakat yang merasakan dampak dari seluruh kegiatan pembangunan dan tambang pasir laut ini”. Kami akan terus bersuara sampai Gubernur mewujudkan tuntutan Masyarakat. Lanjutnya Peserta aksi yang berjumlah sekitaran 50an itu berlangsung dengan damai di depan PT. Pelindo IV. #bebaskanpakmanre #StopKriminalisasiNelayan #TolakTambangPasirLaut #HentikanReklamasiMNP #akuiIdentitasNelayan

A post shared by Makassar Tolak Reklamasi (@makassartolakreklamasi) on

Tak dinyana, satu kapal patroli Polairud beserta 4 sekoci tiba-tiba memecah barisan para nelayan dengan menggunakan kapal berkecepatan 150 PK. Di saat nelayan lain tunggang langgang, Iwan tak sempat melarikan diri. Perahu miliknya disergap dua polisi yang gegas hendak memborgolnya.

“Jangan ki naik, kalau tenggelam mi kapal bagaimana?” cerita Iwan mengulang kejadian beberapa hari lalu kepada Jaring.id.

“Biar tenggelam nanti kita bayar,” lanjut Iwan menirukan pernyataan salah seorang anggota Polairud.

Benar saja. Perahu tersebut karam. Beban yang terlampau berat ditambah luapan air yang terlalu cepat menelan membikin upaya Iwan mempertahankan alat kerjanya nyaris sia-sia.

“Apa yang saya pakai (kerja-red) kalau tenggelam perahu saya? Saya sudah tidak ada perahu,” keluh Iwan.

Dua perahu lain milik warga pun bernasib sama. Iwan menduga hal itu sengaja dilakukan polisi perairan.

“Orangnya (nelayan-red) dibawa (polisi air-red) tapi perahunya ditinggal,” ujar Iwan.

Nelayan yang ditangkap, menurut Iwan, di antaranya Safaruddin, Faisal dan Nazarudin. Mereka dibawa ke Markas Direktorat Polairud yang berlokasi di Makassar. Pada prosesnya polisi membebaskan Safarudin dan Faisal, sementara Nazarudin dinyatakan sebagai tersangka perusakan kapal milik PT Royal Boskalis. Ia diklaim melanggar Pasal 170 Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman penjara paling lama 12 tahun.

Direktorat Polairud kemudian memanggil puluhan nelayan yang terlibat protes tambang pasir. Surat Nomor: Spg/81/VII/2020/Dit Polairud yang dilayangkan pada 24 Agustus 2020 tak lain merupakan pemeriksaan sebagai saksi dugaan tindak pidana yang terjadi di sekitar New Port Makassar.

“Kita tong diganggu (penambang pasir-red) mengapa kita dipanggil,” kata Iwan bingung dengan kondisi yang ia alami.

Pemanggilan tersebut membuat Iwan dan sejumlah nelayan takut. Saking takutnya, mereka enggan keluar rumah apalagi melaut. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar yang mendampingi nelayan Kodingareng menyoroti perlakuan aparatur polisi terhadap para nelayan. Penenggelaman kapal disertai panggilan polisi dinilai berlebihan. Bahkan pada 18 Juli lalu, berdasarkan catatan Walhi Sulsel, Polairud di Pelabuhan Kayu Bangkoa sempat memblokir distribusi bahan bakar minyak (BBM) ke Pulau Kodingareng Lompo.

Kepala Divisi Tanah dan Lingkungan LBH Makassar, Edy Kurniawan menjelaskan bahwa tindakan polisi melanggar Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2019 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

“Penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian,” ujar Edi Kurniawan saat dihubungi Jaring.id, Selasa 25 Agustus 2020.

Tanpa pendampingan

Hingga kini pengacara publik dari LBH Makassar belum dapat melakukan pendampingan hukum. Saat mengunjungi kantor Polairud Sulawesi Selatan, Edy bersama tim pendamping justru ditolak untuk bertemu nelayan. Surat yang ditujukan kepada Direktur Polairud, Kombes Hery Wiyanto terkait hal itu pun tak berbalas. Padahal, menurut Edy, pihaknya sudah mengantongi surat kuasa pendampingan hukum yang ditandatangani pihak keluarga.

“Kami tidak diberikan alasan, pihak Polairud tidak mengizinkan tim LBH Makassar untuk menemui nelayan,” katanya.

Sesuai Pasal 14 (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifkasi Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum hingga memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut Edy, hal tersebut diperkuat dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Aturan ini menyatakan bahwa setiap petugas yang melakukan tindakan pemeriksaan terhadap saksi, tersangka atau terperiksa wajib memberikan kesempatan terhadap saksi, tersangka atau terperiksa untuk menghubungi dan didampingi pengacara sebelum pemeriksaan dimulai. Karenanya LBH Makassar berencana melaporkan Polairud kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) dan Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri .

“Ada dugaan pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin,” kata Edy.

Sementara Kepala Humas Polda Sulawesi Selatan, Kombes Ibrahim Tompo menolak bila pihaknya dikatakan telah menghalang-halangi proses pendampingan hukum. Mantan Kabid Humas Polda Sulawesi Utara itu mengungkapkan bahwa proses tersebut merupakan hak semua orang.

“Terus terang bukan mencoba untuk men-delay dengan memilah milih siapa yang boleh dan tidak (mendampingi-red). Kita berusaha seobjektif mungkin. Kami prihatin sampai ada tindak pidana dan anarkis,” katanya.

Insiden yang melibatkan nelayan dengan PT Boskalis, menurutnya, sudah berulang kali terjadi. Hal ini yang mendorong perusahaan rekanan dari Pelindo IV tersebut meminta perlindungan polisi hingga 2023 mendatang sesuai ijin tambang yang sudah diberikan.

“Kalau kita di Kepolisian melihat yang ada di permukaan. Apa yang ada di atas itu yang kita hadapi,” ujar Kombes Ibrahim Tompo saat dihubungi Jaring.id, Selasa 25 Agustus 2020.

Dihubungi terpisah, Direktur Polairud Polda Sulawesi Selatan, Kombes Hery Wiyanto menjelaskan bahwa anggotanya tidak sengaja melakukan penenggelaman. Saat itu, menurutnya, kapal nelayan tidak mampu menahan hempasan gelombang laut.

“Tidak ada penenggelaman. Waktu itu kondisi laut ombak besar,” kata Hery saat dihubungi Jaring.id, Rabu, 26 Agustus 2020.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.