Ketidakhadiran Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian dalam rapat bersama Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rabu, 6 Oktober lalu menguatkan penolakan pemerintah terhadap usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menggelar pemungutan suara pada 21 Februari 2024 mendatang. Lembaga penyelenggara pemilu ini sebelumnya menginginkan persiapan selama 25 bulan atau 5 bulan lebih panjang dari tahapan pemilu serentak yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Namun pemerintah menilai jadwal pemilu yang ditawarkan KPU terlalu panjang dan tidak efisien.
Di mata pemerintah, tahapan yang dimulai lebih cepat dapat memanaskan suhu politik nasional dan daerah, sehingga dapat berakibat pada gangguan keamanan. Oleh sebab itu, pemerintah mengusulkan tiga alternatif jadwal pemungutan suara pemilu 2024, yakni 24 April, 8 Mei dan 15 Mei. Pemerintah, menurut Tito, khawatir jadwal pemilu versi KPU akan mengganggu program pembangunan yang tengah dicanangkan pemerintah. “Dampaknya akan kurang kondusif terhadap stabilitas keamanan. Akan terjadi polarisasi ditingkat elit dan akar rumput,” kata Tito dalam rapat bersama DPR, KPU, Bawaslu dan DKPP pada 16 September 2021.
Meski begitu, mantan Kepala Kepolisian Indonesia itu tak merinci perbedaan ancaman keamanan yang akan ditimbulkan pada kedua jadwal tersebut. Ia hanya beranggapan bahwa pemerintah bertanggungjawab menjaga stabilitas keamanan dan politik agar kinerja pemerintah daerah, pemerintah pusat dalam penanganan krisis pandemi Covid-19 solid. Sementara polarisasi akibat pemilu, menurutnya, berpotensi menganggu fokus pemerintah.
Salah satu yang menjadi perhatian pemerintah ialah situasi keamanan di sejumlah daerah, antara lain di Mebramo Raya. Daerah ini tercatat baru melantik bupati terpilih pada September 2021. Dengan adanya jadwal pemungutan suara 21 Februari 2024, kata Tito, maka daerah ini akan kembali memasuki tahapan pemilu legislatif pada Januari 2022. Saat itu bupati terpilih baru bekerja selama tiga bulan. Kondisi serupa akan terjadi di Nabire, Boven Digoel dan Yalimo. Bahkan daerah ini belum menetapkan kepala daerah terpilih hasil Pilkada 9 Desember 2020 akibat konflik dan sengketa yang belum tuntas.
Sementara situasi politik nasional diperkirakan akan memanas imbas dari beberapa tahapan krusial yang sudah dimulai pada 2022. Dalam proses pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu, misalnya, partai politik dinilai sudah mulai bermanuver, tak hanya bekerja untuk menggaet suara rakyat, tetapi juga mulai memperjuangkan kepesertaan dalam Pemilu 2024. Hal ini tidak hanya akan dilakukan oleh partai-partai politik nonparlemen, tapi juga oleh partai baru, antara lain Partai Gelora, Partai Ummat, Partai Masyumi, Partai Dakwah Rakyat Indonesia, Partai Rakyat Adil Makmur dan Partai Buruh. Mereka diprediksi akan memperjuangan untuk mendapat perlakukan yang sama dalam kepesertaan pemilu.
Empat parpol nonparlemen bahkan telah mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keempat parpol itu ialah Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Beringin Karya (Berkarya), Partai Perindo dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Mereka mengklaim punya kedudukan hukum (legal standing) untuk menguji Pasal 173 Ayat (1) UU Pemilu yang berbunyi ”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU.”
Baca juga: Melawan Disinformasi Pemilu di Asia
Dalam sidang perdana September lalu, parpol nonparlemen ini meminta agar MK membagi proses verifikasi administrasi dan faktual kepesertaan pemilu menjadi tiga kategori. Pertama, bagi partai yang sudah ikut Pemilu 2019 dan dinyatakan lolos dan mempunyai wakil-wakilnya di parlemen tidak perlu lagi mengikuti verifikasi, baik faktual maupun administrasi. Sementara kategori kedua, parpol yang sudah diverifikasi administrasi, faktual dan sudah ikut pemilu terakhir, tapi tidak lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) cukup diverifikasi administrasi. Sedangkan ketiga, verifikasi administrasi dan faktual dilakukan terhadap parpol baru yang sama sekali belum pernah ikut pemilu.
Selain itu, tahapan pemilu yang diperpanjang hingga 5 bulan dinilai tidak efisien karena dapat menghabiskan anggaran Negara. Padahal, menurut Tito, efisiensi anggaran pemilu perlu dilakukan karena pemerintah tengah fokus memulihkan ekonomi nasional yang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Efisiensi anggaran agar tidak terjadi pemborosan dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada 2024 ini juga merupakan Putusan MK No 55/PUU-XVII/2019 tentang keserentakan Pemilu.
Pada Pemilu 2024 nanti, KPU mengajukan total kebutuhan anggaran sebesar Rp 86 triliun. Ada tiga pos anggaran yang mengalami kenaikan, yaitu honor petugas pemilu, infrastruktur kantor dan kendaraan operasional. Sekitar 70 persen dari total anggaran tercatat sebagai honorarium penyelenggara adhoc yang hendak disesuaikan dengan upah minimum regional masing-masing kabupaten/kota. Angka ini jauh lebih besar ketimbang pemilu sebelumnya yang hanya Rp 16 triliun pada 2014 dan Rp 27 triliun untuk menggelar Pemilu 2019.
Oleh sebab itu, Tito meminta agar KPU mengkaji ulang rancangan anggaran Pemilu 2024. Salah satu mata anggaran yang disoroti pemerintah ialah rencana pembangunan kantor KPU di daerah. Ketimbang membangun, menurut Tito, KPU lebih baik memanfaatkan fasilitas daerah. Dalam rapat pada Kamis, 16 September lalu, Tito juga menyarankan agar anggaran penyelenggaran pemilu dihemat dengan cara mempersingkat tahapan, seperti kampanye yang semula 7 bulan menjadi 4 bulan.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pun menyarankan agar pemilu dilakukan pada 15 Mei 2024. “Jadwal KPU itu akan membuat pemilu panjang ke depan dan panjang ke belakang. Artinya tahapan dimulai lebih awal, dan jarak dengan pelantikan terlalu jauh,” kata Mahfud dalam keterangan persnya setelah rapat yang juga dihadiri Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Panglima TNI Mayjen Hadi Tjahjanto, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal (Purn) Budi Gunawan, Senin, 27 September 2021.
Apabila mengacu jadwal pemilu yang dibuat KPU, maka jarak pemungutan suara 2024 dengan pelantikan presiden dan wakil presiden bisa mencapai 8 bulan. Ini berpatokan pada pelantikan presiden yang biasanya dilakukan pada Oktober. Sementara pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 lalu, jarak pelantikan dengan pemungutan suara hanya 6 bulan.
Mahfud berharap jadwal pemilu segera diputuskan. Pasalnya UU Pemilu mensyaratkan partai politik yang ingin ikut pemilu harus terdaftar di Kemendagri minimal 2,5 tahun sebelum pemilu. “Jika pilihannya jatuh pada tanggal 15 Mei, maka partai politik baru sudah bisa mempersiapkan diri. Kalau masih ada yang ingin mendirikan partai baru masih terbuka kemungkinan sampai awal November 2021,” kata Mahfud.
Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan bahwa pihaknya sudah merampungkan kajian terhadap jadwal pemungutan suara. Mereka merekomendasikan agar tahapan pemilu dimulai Januari 2022 – April 2024. Jika terjadi pemilihan presiden putaran dua, maka tahapan akan diperpanjang sampai Juli 2024. Sementara tahapan Pilkada Serentak 2024 akan dimulai pada September 2023 – Januari 2025. Dengan demikian, maka tahapan pemilu dan pilkada akan beririsan dengan tahapan yang tidak terlalu krusial, seperti pembahasan program dan anggaran, serta penyusunan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. “KPU berkesimpulan 21 Februari 2024 paling ideal dilakukan pemungutan suara karena tidak akan banyak tahapan pemilu dan pilkada yang beririsan,” katanya ketika diwawancara pada Kamis, 7 Oktober 2021.
Dewa menilai tumpang tindih tahapan akan berimbas pada beban kerja penyelenggara. Ia tidak ingin tragedi Pemilu 2019 yang mengakibatkan sedikitnya 894 petugas meninggal dan lebih dari 5100 lainnya sakit akibat kelelahan terulang. KPU juga ingin memastikan tahapan pemilihan serentak selesai dan hasilnya bisa ditetapkan sebelum masuk ke tahapan penting pilkada. Sebab hasil Pemilu Serentak 2024 akan menjadi dasar pencalonan kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten/kota.
Baca juga: Inovasi Selamatkan Demokrasi
Sementara jika pemilu diselenggarakan 15 Mei sesuai keinginan pemerintah, maka terlalu banyak tahapan penting yang beririsan. Antara lain proses rekapitulasi suara berjenjang yang akan beririsan dengan proses verifikasi dukungan calon perseorangan. Selain itu, jadwal sengketa pencalonan dan sengketa hasil pemilu di MK juga berpotensi belum tuntas ketika mendekati pendaftaran calon kepala daerah. Belum lagi jika terjadi pemilihan presiden putaran kedua, maka pilkada tidak mungkin terselenggara di November 2024. Karenanya KPU mendorong revisi undang-undang maupun penerbitan peraturan presiden pengganti undang-undang (Perppu). Dalam perubahan ini, KPU meminta agar pemerintah dan DPR memundurkan jadwal pilkada dari November 2024 menjadi Februari 2025.
Revisi UU ini menjadi krusial karena KPU tidak bisa serta merta memotong jadwal kampanye sesuai dengan keinginan pemerintah. Sebab jadwal kampanye di UU Pemilu ditetapkan sejak tiga hari setelah penetapan pasangan calon sampai 3 hari sebelum pemungutan suara. Saat itu, KPU juga harus menyiapkan logistik kampanye yang seluruh pengadaan dan waktunya terikat dalam tata cara pengadaaan barang dan jasa. “KPU berharap ada opsi terbaik yang memperhatikan semua aspek dan tidak hanya fokus pada satu sisi saja. Ada hak penyelenggara, hak perserta pemilu dan hak pemilih yang harus dipenuhi,” kata Dewa
Meski begitu, menurut Wakil Ketua Komisi 2 DPR RI, Saan Mustopa, DPR dan pemerintah sudah sepakat tidak akan mengubah UU Pemilu. Politikus dari Fraksi Nasdem ini mengatakan bahwa Inovasi dan efisiensi pemilu cukup diatur lewat peraturan KPU. Apabila diperlukan perubahan mendasar setingkat UU, maka akan diusulkan lewat Perpu.
DPR, pemerintah dan penyelenggara pemilu sedianya akan melanjutkan pembahasan pemilu pada November 2021 mendatang. Saan mengatakan pembahasan jadwal masih berlarut-larut akibat pemerintah dan KPU belum satu perspesi. DPR juga ikut terpolarisasi karena ada yang sepakat dengan usulan KPU maupun pemerintah.
Fraksi yang setuju dengan usulan pemerintah, antara lain Nasdem, Golkar, PAN dan Gerindra. Sementara Fraksi PDIP, PPP, PKB dan PKS sepakat melangsungkan pemilu pada 21 Februari 2024. “Penting menetapkan secepat mungkin agar tahapan disiapkan. Karena kalau tidak diputuskan tahun ini, maka akan menimbulkan ketidakpastian,” kata Saan dalam webinar Nasional Sinergisitas Penyelenggara Pemilu dengan Pemangku Kepentingan Mensukseskan Pemilu 2024 pada Kamis, 7 Oktober 2021.
Fraksi Nasdem di DPR mendorong agar KPU dapat merancang pelaksanaan pemilu yang efisien dari sisi anggaran dan tahapan. Perkembangan teknologi digital, menurut Saan, bisa dimanfaatkan KPU untuk memangkas tahapan pemilu. Kata Saan, penggunaan aplikasi Sirekap perlu dioptimalkan untuk melakukan rekapitulasi suara. Selain itu, KPU juga perlu menyederhanakan surat suara.
Sementara itu, anggota Komisi 2 Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mewanti-wanti pemerintah berhati-hati ketika mengusulkan jadwal pemilu. Ia menilai usulan pemerintah tidak memperhatikan kesiapan KPU melaksanakan pilkada serentak pada November 2024. “Pak Jokowi ikut KPU saja. Simulasinya sudah matang dan KPU punya waktu persiapan yang cukup biar pemilu kita berkualitas,” katanya lewat pesan singkat kepada Jaring pada Rabu, 6 Oktober 2021.
Mardani menganggap jadwal pemilu 15 Mei terlalu dekat dengan pilkada. Sementara alasan pemerintah menolak pemilu 21 Februari dengan alasan pandemi dan stabilitas kemanan, menurutnya, tidak cukup kuat. “Husnuz zhan-nya untuk mengefisienkan pemilu. Tapi tetap harus waspada bisa ditunggangi kepentingan lain,” katanya.
Peneliti Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) Hadar Nafis Gumay pun menganggap alasan keamanan yang disampaikan pemerintah untuk menolak jadwal pemilu tidak kuat. Dalam kontestasi politik, pemerintah harusnya tidak alergi pada persaingan dan polemik. Terlebih masalah keamanan bukan tanggung jawab KPU. Baik pemilu digelar Februari maupun Mei 2021, Kepolisian Indonesia lah yang perlu memastikan keamanan terhadap proses demokratisasi tersebut.
Ia mengkritik langkah pemerintah yang terlalu mengintervensi KPU dalam perumusan jadwal pemilu. Padahal posisi pemerintah dan DPR harusnya hanya memberikan pertimbangan kepada KPU. Terlebih pemerintah, DPR dan KPU sudah membuat tim kerja bersama sejak Maret 2021 untuk membahas pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan 2024. “Sikap pemerintah mengecewakan dan kurang menghargai KPU sebagai lembaga mandiri. Jika ada pertimbangan, sebaiknya cukup disampaikan kepada KPU. Tidak perlu sampai menentukan tanggal dan membuat simulasi sendiri,” katanya ketika diwawancara pada Kamis, 7 Oktober 2021.
Hadar menegaskan bahwa dalam hal penyelenggaran pemilu, KPU berhak mempertimbangkan beban kerja sebagai faktor utama perumusan tahapan pemilu. Apalagi dari sisi penyelenggara juga akan dihadapkan pada agenda pergantian komisioner, baik KPU maupun Bawaslu, di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. “Dari pada pemerintah bikin detail simulasi, sebaiknya pemerintah cukup menyampaikan pandangan saja. Biarkan KPU memutuskan kalau memang saling menghargai antar lembaga,” pungkasnya.