“Saya korban KDRT. Saya justru dilaporkan balik dengan UU ITE atas nama pencemaran nama baik,” terang Siti Rubaidah (Ida) saat menghadiri audiensi dengan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Selasa, 5 Juli 2022.
Ida ialah satu dari 16 korban UU ITE yang berani memberikan kesaksian di hadapan DPR kemarin. Mereka tergabung dalam Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (Paku ITE).
Sambil menahan tangis, Ida menceritakan kisahnya di hadapan Baleg, tenaga ahli DPR, dan jurnalis. Kisahnya bermula saat ia menuntut keadilan dalam kasus KDRT yang dilakukan oleh suaminya. Sejak kasus bergulir, Ida tidak diperkenankan bertemu dengan kedua anaknya. Ia kemudian membuat petisi di Change.org 10 tahun lalu guna menuntut pertemuan dengan anaknya. Petisi yang ditujukan kepada mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi itu ditandatangani sebanyak 7.611 orang. “Hampir 2 tahun tidak bisa berkomunikasi, telepon pun dibatasi,” terang Ida.
Mantan suaminya, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Wali Kota Magelang dinyatakan bersalah dalam kasus KDRT pada 2014. Namun baru dihukum selama 45 hari tiga tahun berselang. Sementara kasus yang menjerat Ida tidak kunjung berakhir. Ia masih berstatus sebagai tersangka. “Kasus saya tidak jelas,” lanjutnya.
Korban lain, Stella Monica juga ikut berbicara. Ia dijerat pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Kota Surabaya pada 7 Oktober 2020. Kisahnya bermula saat mengeluhkan perawatan wajah di salah satu klinik kecantikan di Surabaya lewat akun Instagram-nya. Alih-alih meminta maaf atas layanan tersebut, pihak klinik malah mensomasi Stella. Ia diminta untuk menyampaikan permintaan maaf di media cetak nasional di Surabaya. “Biaya yang dibutuhkan Rp 800 juta,” kata Stella.
Selama menjalani proses hukum, Stella tidak bisa tidak tertekan. Ia mengaku hampir melakukan bunuh diri karena statusnya sebagai tersangka. “Tersangka itu adalah sebuah status yang sangat hina. Saya harus difoto membawa status tersangka,” ungkap Stella berurai air mata.
Baca juga: Tak Terkira Parahnya Dampak UU ITE
Pengalaman Vivi Nathalia tak jauh berbeda dengan Stella. Guru piano yang juga berpengalaman sebagai pembawa acara ini mengaku sulit untuk menghilangkan trauma selama menjalani proses hukum. Apalagi ketika ia melakukan sesi foto dengan membawa papan bertuliskan tersangka. “Rasanya sangat menyakitkan. Karena saya korban. Saya diperlakukan seperti penjahat,” ungkap Vivi.
Sejak saat itu, Vivi mengaku sulit mendapatkan pekerjaan. Hubungan dengan suaminya pun sempat memburuk. Bahkan ia sempat pisah rumah dengan suaminya selama 2 tahun. “Banyak kontrak kerja yang dibatalkan karena kasus ini. Masalah keluarga juga,” imbuh Vivi.
Sementara salah satu jurnalis yang juga menjadi korban jeratan UU ITE adalah Mohammad Sadli—jurnalis Liputanpersada.com di Kabupaten Buton Tengah. Ia harus menjalani bui di Lapas Kelas II Baubau pada 17 Desember 2019 lantaran memberitakan pembangunan jalan yang menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Pelapornya ialah Kepala Bagian Hukum Pemkab Buton.
Dalam kasus ini, Kepolisian Buton Tengah dianggap telah mengabaikan nota kesepahaman antara Polri – Dewan Pers. Oleh Majelis Hakim PN Pasarwajo, Sadli diputus bersalah dengan vonis 2 tahun. “Hak saya atas keadilan dibabat habis saat itu. Rumah mertua saya dikepung 3 mobil polisi, saya sudah ditarget untuk dibunuh,” terangnya dengan suara yang gemetar.
Akibat dari kasus ini, Sadli mengaku mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) setelah ia melakukan tes psikologi di Yayasan Pulih. “Selama 8 bulan ini saya tidak kerja, ini yang saya lakukan untuk healing keluarga saya, anak istri saya. Oleh karena itu saya berharap bapak ibu dewan, ini (pasal karet) membahayakan sekali pak, bukan hanya saya sendiri, tapi anak, keluarga,” ujar Sadli.
Dari perjalanan kasus yang dicatat Southeast Asia Freedom of Expression Network pada 2021 terdapat 38 orang yang terjerat kasus UU ITE dengan pelbagai latar belakang. Sejak 2008 SafeNET mencatat 380 orang yang dijerat pasal karet. Sebagian besar korban dikenakan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik.
Dalam riset penelusuran putusan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) diketahui sepanjang 2016 hingga hingga Februari 2020 terdapat 768 perkara di seluruh Indonesia yang menggunakan Pasal 27-29 UU ITE, sebanyak 286 menggunakan pasal pencemaran nama.
Berdasarkan kesaksian korban dan banyaknya kasus, Ketua Paguyuban UU ITE, Muhammad Arsyad meminta DPR untuk segera merevisi UU ITE dengan membentuk panitia khusus. “Harapan besar kami adalah pemerintah dan DPR segera melakukan revisi UU ITE dan menghapus pasal-pasal bermasalah yang ada di UU ITE. Pasal-pasal dalam UU ITE menjadi alat untuk penguasa, pemodal, maupun oknum penegak hukum, yang memanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan, menekan, membungkam hak masyarakat sipil yang telah dijamin UUD 45,“ ujar Arsyad.
Baca juga: Satu Gelanggang Beda Perlakuan
Menanggapi kesaksian korban, pimpinan sidang yang saat itu dipimpin oleh Willy Aditya menyatakan akan menanyakan Surat Presiden (Surpres) terkait revisi UU ITE kepada pimpinan DPR. Willy meminta agar Surpres tersebut dibacakan dalam rapat paripurna. “Surpresnya sudah turun tetapi belum pernah dibacakan. Nanti kita akan coba konfirmasi ke Biro Pimpinan. Posisi supresnya di mana,” kata Willy.
Ia menjelaskan bahwa beleid tersebut sudah masuk program legislasi nasional atau prolegnas prioritas. Namun pembahasan akan dilakukan pada masa sidang berikutnya. Mengingat DPR sudah memasuki masa reses pada 7 Juli. “Masa sidang ini tinggal beberapa hari. Kalau masih ada Badan Musyawarah (Bamus) tentu akan disampaikan ke Bamus dan dibacakan di rapat Paripurna. Jadi kami akan berusaha secepatnya,” ujarnya saat memimpin rapat audiensi di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (5/7/2022).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menyampaikan telah mengirimkan Surpres ke DPR. Menurutnya, Presiden Jokowi serius merevisi UU ITE. Hal itu dituangkan dalam Surat Presiden Nomor R-58/Pres/12/2021. “Telah mengirim surat presiden atau Supres kepada DPR tentang atau yang dilampiri rancangan UU tentang perubahan kedua atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ditandatangani oleh Presiden pada 16 Desember 2021,” kata Mahfud melalui keterangan tertulis yang diterima Jaring.id pada, Jum’at, 24 Desember 2021.
Nur Fadilah dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyampaikan bahwa FPKB telah bersepakat mendukung revisi UU ITE. “Jujur saya miris sekali, mendengar kisah bapak ibu (korban). Jadi saya setuju sekali jika harus ada revisi di UU ITE, dan jika ada yang perlu dipertegas, yakni di KUHP,” terangnya.
Romo H.R Muhammad Syafi’i, mewakili Fraksi Gerindra pun berpendapat serupa. Menurutnya, apa yang menimpa korban adalah cerminan dari ketidakadilan hukum. “Hari ini kita menyaksikan tidak diterapkannya fungsi hukum yang sudah ditetapkan, dari semua yang memberikan kesaksian semua menunjukkan ketidakadilan dan tidak kepastian hukum. Karena itu saya, sangat sependapat dan akan terus follow up dengan koridor yang disampaikan oleh pak ketua tadi,” kata Romo.
Ketua Baleg, Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa DPR, alat kelengkapan dewan, Komisi I dan Komisi III telah menyetujui revisi UU ITE. Ia mendorong pemerintah untuk membahas revisi secara komprehensif dan dituangkan dalam naskah akademik. Sebab revisi, kata kader Gerindra ini, merupakan inisiasi pemerintah. “Atensi pemerintah bersama DPR cukup tinggi. Terhadap kasus yang menimpa semua (korban) itu menjadi atensi kami di Baleg begitu juga di Komisi I dan Komisi 3,” kata Supratman.
Meski begitu, Supratman mengklaim, pihaknya tidak bisa memenuhi kepentingan semua pihak dalam revisi UU ITE. Hal itu juga berlaku dalam pembuatan rancangan undang-undang yang lain.“Tapi meminimalisir dampak yang ditimbulkan menjadi tanggung jawab moral kami di parlemen,” ujarnya.
Baca juga: Semua Bisa Kena
Anggota Komisi I yang ikut hadir dalam rapat Baleg, Mukhlis Basri menyampaikan bahwa seluruh anggota komisi yang membidangi komunikasi dan informatika ini berkomitmen mendorong revisi UU ITE. Namun, proses pembahasan belum bisa dilakukan karena Komisi I sedang membahas Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. “Saat ini konsentrasi ke RRU PDP,” ujarnya.
Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti meminta DPR memberikan bukti alih-alih tanggapan normatif. Korban, menurut dia, sangat membutuhkan kepastian hukum bukan sekadar empati dari anggota DPR. “Perlu penegakan hukum yang secara komprehensif tidak hanya normatif dengan menyatakan pro terhadap situasi yang ada pada hari ini. Perlu dibuktikan dengan revisi,” ujar Fatia yang turut hadir dalam audiensi tersebut.
Menurut Fatia, DPR seharusnya bisa lebih cepat melakukan pembahasan karena Surpres dari pemerintah telah diserahkan dan revisi UU ITE pun masuk prolegnas. “Seharusnya sudah bisa langsung disahkan,” pungkas Fatia yang juga korban UU ITE karena dilaporkan oleh Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Padjaitan.