Operasi militer dan kontak senjata di Papua tak henti menimbulkan korban jiwa. Teranyar, Pendeta Yeremia dibunuh. Lebih dari itu, ribuan penduduk juga terpaksa mengungsi lantaran didera ketakutan tak henti. Namun, pemerintah bersikukuh menjadikan cara ini sebagai solusi untuk Bumi Cenderawasih.
Pemakaman Pendeta Yeremia Zanambani pada Minggu, 20 September 2020 berlangsung cepat. Setelah dievakuasi dari kandang babi—lokasi di mana Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) tersebut ditemukan kritis karena kehabisan darah—sekitar Pukul 07.45 WIT, jenazah hanya sebentar disemayamkan di rumah klasis Hitadipa, Intan Jaya, Papua.
“Apa salah Bapak Pendeta sampai dia dibunuh?” ungkap Miriam Zoani, isteri dari mendiang Yeremia kepada Jaring.id melalui sambungan telepon, Selasa, 3 November 2020.
Rode Zanambani, anak dari Pendeta Yeremia mempertanyakan hal yang sama. Sehari setelah ayahnya dibunuh, pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) hilir mudik merangsek ke kampung-kampung.
“Ada rasa takut. Warga beranggapan hamba Tuhan cukup terkenal saja bisa ditembak,” ujar Rode kepada Jaring.id.
Prosesi pemakaman berjalan tak seperti biasa. Tidak ada acara pembuatan peti mati, pun sanak saudara pun tak sempat memberikan penghormatan terakhir. Warga yang menghadiri pemakaman juga tak lebih dari 30 menit berada di lokasi. Mereka buru-buru meninggalkan Distrik Hitadipa bersama ribuan orang lain untuk mengungsi.
Lokasi pengungsian yang dituju salah satunya adalah Distrik Agisiga yang masih berada di wilayah Kabupaten Intan Jaya. Menurut Rode, jarak antara Agisiga dengan Hitadipa dapat ditempuh dengan waktu satu sampai dua hari perjalanan kaki. Selain Agisiga, ada sebagian warga yang memilih mengungsi hingga Timika, Kabupaten Mimika dan turun hingga ke wilayah pantai di Nabire. “Pengungsi lari ke sana,” ungkapnya.
Salah satu warga, Agium (bukan nama sebenarnya) menyaksikan bagaimana kampung-kampung mulai ditinggalkan. Dari total 16.129 penduduk, hanya tersisa puluhan orang di Distrik Hitadipa. Mereka terdiri dari perempuan dan anak-anak yang tidak punya pilihan lain selain berada dekat dengan gereja di wilayah tersebut.
“Laki-laki pergi semua. Banyak warga sudah mengungsi,” ujar Agium dihubungi Jaring.id melalui telepon, Selasa, 3 November 2020.
Selain takut menjadi korban, warga di Distrik Hitadipa, merasa tidak nyaman dengan keberadaan pasukan TNI-Polri di sekitar mereka. Tentara dan polisi telah menduduki Sekolah Dasar YPPGI kependekan dari Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Gereja Indonesia, serta sekolah menengah pertama Hitadipa guna merealisasikan pembangunan Koramil Hitadipa.
“Kami meminta agar TNI-Polri harus keluar dari sini. Sepanjang mereka di sana, pengungsi tidak akan kembali,” kata Agium.
Jangankan masyarakat, keluarga korban pun sampai saat ini belum mendapatkan rasa aman dari pemerintah. Permohonan perlindungan yang dilayangkan keluarga korban kepada tim TGPF dan Komnas HAM tidak kunjung diberikan.
“Keluarga trauma. Kami sudah meminta (perlindungan-red) tapi sampai saat ini belum ada,” ujar Rode.
***
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi LPSK baru akan menuju ke lokasi kejadian dalam beberapa hari mendatang. Padahal, tragedi pembunuhan Pendeta Yeremia sudah berlangsung hampir sebulan.
”Dalam Minggu ini kita ke sana,” kata Edwin saat dihubungi Jaring.id, melalui telepon, Selasa, 3 November 2020.
Perlindungan pun perlu proses pendahuluan. LPSK akan mengukur tingkat ancaman terhadap saksi maupun korban. Setelah itu, mereka akan melakukan pemeriksaan medis dan psikologis. Hasil pemeriksaan tersebut yang kemudian dijadikan salah satu tolok ukur penilaian LPSK.
“Ukuranya apakah dalam keadaan terancam keselamatan jiwanya atau tidak,” ujarnya.
Edwin yang juga tergabung di tim TGPF bentukan pemerintah ini menjelaskan bahwa terdapat beberapa opsi perlindungan saksi dan korban yakni perlindungan fisik dengan menempatkan di rumah aman, menerjunkan anggota untuk mengamankan saksi dan korban selama 24 jam, atau upaya melakukan monitoring dari jarak jauh melalui pemantauan kamera pengawas (CCTV).
“Dalam situasi normal kita bisa taruh CCTV dan melakukan monitoring secara berkala di tempat terlindung,” kata Edwin.
LPSK memperkirakan sejumlah hambatan dalam perlindungan saksi dan keluarga korban pembunuhan Pendeta Yeremia. Antara lain lokasi yang merupakan daerah konflik bersenjata dan kendala bahasa. “Kami punya tantangan cukup sulit, kita sedang pikirkan bagaimana mengatasinya,” kata Edwin.
Sepanjang 2017-2020 terdapat empat gelombang pengungsian massal yang disebabkan oleh konflik bersenjata antara TNI-TPNPB. Pada November 2017 tercatat sebanyak 13 ribu warga di Tembagapura mengungsi. Setahun berselang, tepatnya Desember 2018, 37 ribu warga Nduga meninggalkan kampung halamannya. Sedangkan September tahun lalu, sekitar 1.500 warga di Kabupaten Puncak Jaya memilih untuk tidak kembali ke rumah. Dan ribuan warga yang tinggal di area eksploitasi PT. Freeport Indonesia juga mengungsi pada Maret 2020.
***
Delapan jam sebelum penyiksaan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani terjadi pada Sabtu 19 September 2020, ia mengajak istrinya, Miriam Zoani ke kebun yang berjarak sekitar 800 meter dari rumah. Di sana Yeremia hendak membetulkan pagar kandang babi yang rusak, sementara isterinya mencabut sejumlah ubi siap panen.
Belum selesai pagar dibuat, rentetan suara tembakan terdengar dari pos persiapan Koramil di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Dor! Dor! Dor! Pendeta Yeremia Zanambani bersama istrinya tersentak. Mereka tergopoh-gopoh masuk ke dalam kandang untuk berlindung. Dalam situasi yang kian mencekam, Pendeta Yeremia meminta Miriam untuk pulang lebih awal. Sementara itu, Yeremia memilih untuk bertahan lantaran babi peliharaannya belum kembali.
“Bunyi tembakan berhenti sekitar Pukul 15.00 WIT,” ujar Rode Zanambani (26), anak Pendeta Yeremia, menceritakan ulang cerita ibunya kepada Jaring.id saat dihubungi melalui telepon, Selasa, 3 November 2020.
Di tengah jalan, Miriam, bertemu dengan rombongan serdadu Koramil Hitadipa yang dipimpin oleh Alpius selaku Wakil Danramil Hitadipa. Kata Rode, ibunya beradu pandang dengan para serdadu yang mengenakan seragam loreng, lengkap dengan senjata laras panjang.
“Mama sepanjang jalan ada lihat orang kah?” tanya Alpius yang diceritakan ulang oleh Miriam melalui Rode.
“Tidak,” sahut Miriam.
Dengan suara lebih tinggi, Alpius menanyakan hal yang sama untuk kedua kalinya.
“Tidak ada satu pun sepanjang jalan. Tadi cuma saya dan bapa pendeta di kandang babi, tapi babi belum pulang. Mama diminta bapa pulang lebih awal.”
Alpius mengulangi penyataan Miriam dengan pertanyaan “,Jadi bapa masih ada di kadang babi?”
Selepas menjawab pertanyaan Alpius, Miriam mempercepat langkah meninggalkan para serdadu. Setibanya di rumah, ia cepat-cepat menutup pintu.
Satu jam berselang sekitar Pukul 18.00 WIT, Pendeta Yeremia tak kunjung menyusul. Sementara dari halaman rumah samar-samar ia melihat pintu kandang babi terbuka. Kondisi itu yang kemudian membikin Miriam heran dan memutuskan untuk kembali ke kandang. Tak dinyana, perempuan Suku Moni ini malah mendengar rintihan suaminya dari balik kandang. Tubuh Yeremia terkulai di lantai yang terbuat dari kayu. Ada luka menganga di tangan kiri dan tengkuk yang mengakibatkan darahnya terkuras habis.
“Arah kepala di kandang babi, kakinya di pintu utama,” kata Rode.
Sambil menangis, Miriam berusaha mengangkat tubuh Yeremia yang saat itu masih bernapas. Ia mencoba untuk memberikan pertolongan pertama. Namun, karena hanya seorang diri, Miriam tak sanggup membopong pulang satu-satunya pria lulusan teologi di Hitadipa tersebut. Pada malam sakaratul maut tersebut, Yeremia sempat mengutarakan siapa pelaku yang menyiksanya.
“Orang yang biasa kasih kita makan. Tentara yang bertugas di Hitadipa. Rombongan Alpius datang, saya angkat tangan. Saya ini hamba Tuhan lalu mereka tembak lengan tangan kiri, lalu tikam leher pakai pisau sangkur,” kata Rode menceritakan ulang pesan Yeremia kepada istrinya.
***
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap hasil investigasi tim pemantauan dan tim penyelidikan terhadap kematian pendeta Yeremia Zanambani di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, 19 September 2020 lalu. Yeremia diduga meninggal karena kehabisan darah setelah mendapat siksaan senjata tajam dan tembakan jarak dekat tak lebih dari 1 meter. Luka tembak pada lengan kiri korban menganga sebesar 5 – 7 cm dengan panjang sekitar 10 cm. Komisioner Komnas HAM, Khoirul Anam menduga korban disiksa dalam keadaan berlutut.
“Dibuktikan dengan jejak abu tungku yang terlihat pada lutut kanan korban. Diduga terdapat kontak fisik langsung antara korban dengan terduga pelaku,” ungkapnya pada 2 November lalu.
Menurut Anam, sejumlah bukti dan kesaksian yang dikumpulkan tim sampai saat ini mengarah pada keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“Diduga bahwa pelaku Alpius, Wakil Danramil Hitadipa sebagaimana pengakuan langsung korban sebelum meninggal dunia kepada 2 (dua) orang saksi dan juga pengakuan saksi-saksi lainnya yang melihat Alpius berada di sekitar TKP pada waktu kejadian,” tegasnya.
Dalam simpulannya, Komnas HAM menangkap kejanggalan dari tempat kejadian perkara. Anam mensinyalir adanya upaya pengaburan fakta dengan cara mengumbar 19 tembakan acak di 14 titik berbeda. Tembakan tersebut kecil kemungkinan dilakukan pasukan TPNPB. Sebab mereka jarang sekali memuntahkan banyak peluru. Belum lagi jarak tembak tembakan acak tersebut diperkirakan hanya 9 – 10 meter dari luar kandang.
“Kami menduga kuat adanya unsur kesengajaan dalam membuat arah tembakan yang acak dan tidak mengarah pada sasaran. Hal tersebut untuk mengaburkan fakta peristiwa penembakan yang sebenarnya,” kata Anam.
Dugaan tersebut diperkuat dengan raibnya beberapa proyektil peluru.
“Terdapat barang bukti berupa pengambilan proyektil peluru dari lubang kayu balok di TKP yang tidak diketahui keberadaannya saat ini,” tambahnya.
Oleh sebab itu, Komnas HAM meminta agar Kepolisian untuk memeriksa Alpius beserta seluruh anggota TNI yang saat itu melakukan penyisiran ke tengah pemukiman penduduk.
”Hingga ke struktur komando,” ujar Anam.
Komnas HAM menginginkan agar pelaku diseret ke Pengadilan Koneksitas sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
***
Keluarga korban menolak kasus pembunuhan Pendeta Yeremia dibawa ke peradilan militer. Putri Yeremia, Rode mengaku tidak percaya hakim militer dapat mengungkap kebenaran sekaligus memberi keadilan kepada keluarga korban. Pihak keluarga korban lebih memilih untuk menyidangkan kasus pembunuhan Yeremia lewat pengadilan HAM ad hoc.
“Kami telah melihat banyak pengalaman proses peradilan militer atas kasus-kasus lain di Papua tidak memberikan keadilan bagi para korban. Kami tidak mau mengalami praktik buruk yang sama seperti kasus-kasus sebelumnya,” ungkap keluarga dalam keterangan tertulis.
Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI, Mayjen Achmad Riad saat dikonfirmasi irit bicara. Menurutnya, TNI sampai saat ini masih menunggu simpulan tim TGPF bentukan pemerintah.
“Sementara ini kita kita gunakan Polhukam. Silahkan bentuk apapun, tapi lembaga resmi Menkopolhukam. Serahkan kepada negara, negara akan melakukan dengan profesional,” kata Achmad Riad saat dihubungi Jaring.id melalui telepon.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menyatakan bahwa temuan Komnas HAM serupa dengan temuan TGPF yang ia bentuk.
”Ada beberapa temuan yang sama,” kata Mahfud, usai menerima kunjungan Komnas HAM di kantornya, Rabu, 4 November 2020
Salah satunya ialah bukti yang didapat dari tempat kejadian perkara. Dihubungi terpisah, Ketua TGPF, Benny Mamoto menyatakan bahwa barang bukti berupa pintu kandang di mana terdapat serpihan proyektil sudah diserahkan ke Kepolisian.
“TGPF tidak menyampaikan ke publik secara detail karena akan mengganggu jalannya penyelidikan dan penyidikan. TGPF menghormati asas praduga tak bersalah,” kata Benny, saat dihubungi Jaring.id melalui WhatsApp, Selasa, 3 November 2020.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen (Pol) Awi Setiyono menyatakan pihaknya masih melakukan penyelidikan. Sampai saat ini, Kepolisian sudah memeriksa 24 orang saksi, termasuk memeriksa petinggi TNI di Koramil Hitadipa. Pengujian balistik terhadap proyektil juga tengah dilakukan. Pemeriksaan ini, menurut Awi, dilakukan untuk mengetahui jenis kaliber peluru dan senjata yang digunakan pelaku menghilangkan nyawa Pendeta Yeremia.
“Tidak ada saksi yang melihat langsung. Kita tidak bisa mengatakan seseorang menuduh seseorang tanpa ada bukti permulaan yang cukup. Kita masih membutuhkan itu,” kata Awi saat memberikan keterangan pers di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Selasa, 31 Oktober 2020.
Amnesty International Indonesia menilai bukti dan keterangan yang dikumpulkan TGPF dan Komnas HAM lebih dari cukup untuk menjerat pelaku pembunuhan. Peneliti Amnesty Indonesia, Ari Pramuditya mendesak agar Kepolisian bekerja professional, independen dan imparsial.
“Kalau bisa sampai ke pelaku atasan yang mengetahui peristiwa,” ujar peneliti Amnesty Indonesia, Ari Pramuditya saat dihubungi Jaring.id melalui telepon, Selasa, 3 November 2020.
***
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD telah merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melengkapi stuktur keamanan di beberapa wilayah Papua. Hal itu dikatakannya setelah menerima hasil investigasi TGPF Intan Jaya yang telah bekerja selama kurang lebih 17 hari sejak 1 Oktober 2020 lalu.
“Dengan temuan ini, Menko Polhukam pun merekomendasikan kepada pemerintah, kepada presiden, kepada TNI-Polri agar daerah-daerah yang masih kosong dari aparat pertahanan dan keamanan yang sifatnya organik supaya segera dilengkapi,” kata Mahfud dalam konferensi pers di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu, 21 Oktober 2020.
Menurut Mahfud, Presiden Joko Widodo sudah menyetujui pembangunan markas militer. Terlebih saat ini, tidak sedikit pos polisi yang merangkap koramil.
“Kompolnas juga sudah pernah menyampaikan itu pada Presiden dan Presiden setuju,” kata Mahfud.
Amnesty International Indonesia mengkritik rencana tersebut. Peneliti Amnesty, Ari Pramuditya menilai mobilisasi militer akan memperburuk kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Sepanjang 2010-2018, sudah tercatat sebanyak 69 kasus dengan jumlah korban meninggal mencapai 95 orang. Sementara pada periode 2018-2020 terdapak 49 kasus pembunuhan di luar hukum atau unlawfull killing dengan jumlah korban sebanyak 98 orang.
“Siklus kekerasan meningkat dalam waktu dua tahun,” kata Ari Pramuditya.
Senada dengan Ari, peneliti Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth menyarankan agar pemerintah mengurungkan niat memperluas pos militer. Menurutnya, hal itu tidak mendesak untuk saat ini. Sekalipun hal itu dilakukan, maka pemerintah mesti berkomunikasi dengan pemerintah daerah, termasuk tokoh adat, agama dan masyarakat sekitar.
“Kalau ada penambahan pos keamanan pasti akan ada kekerasan lagi,” kata Adriana.
Ketimbang memperluas pos militer, Adriana menyarankan agar Presiden Joko Widodo fokus untuk merealisasikan Papua Road Map (PRM) 2009. Dalam peta jalan tersebut, peneliti LIPI menyimpulkan empat akar masalah kekerasan yang harus dituntaskan. Di antaranya diskriminasi ras, pemerataan pembangunan dan minimnya dialog politik.
“Untuk menghentikan kekerasan harusnya mencari sumber kekerasan,” ungkapnya.
Selain itu, penyembuhan trauma akibat konflik bersenjata juga menjadi faktor penting untuk dilakukan pemerintah. Tanpa itu, sulit untuk menghindari kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.
“Ini traumatik. Tidak bisa dianggap sepele. Kalau traumanya tidak disembuhkan mereka khawatir penambahan justru akan mereproduksi kekerasan di Papua,” pungkas Adriana.